Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | arif rahman
World Population Day / Hari Kependudukan Sedunia

Hari Kependudukan Sedunia (World Population Day) merupakan salah satu agenda rutinan yang diperingati pada tanggal 11 Juli setiap tahunnya. Penetapan hari tersebut dipelopori oleh pengurus United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1989 dengan latar belakang perhatian masyarakat terhadap Hari Lima Miliar pada 11 Juli 1987. Di mana pada hari tersebut diperkirakan populasi dunia mencapai lima miliar orang.

Adapun tujuan peringatan Hari Kependudukan Sedunia adalah untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian seluruh masyarakat dunia terhadap permasalahan kependudukan dunia, seperti hak asasi manusia (HAM), pengangguran, kemiskinan, kesehatan ibu dan anak, dan sebagainya.

Jumlah penduduk Indonesia dan tantangannya

Berdasarkan data BPS, pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia mencapai angka 237 juta jiwa. Kemudian pada tahun 2019 telah mencapai 267 juta jiwa. Artinya dalam kurun waktu 9 tahun, jumlah penduduk Indonesia telah bertambah 30 juta jiwa. Pada tahun 2020, jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 270 juta jiwa dan pada 2030 mencapai 294 juta jiwa.

Pertumbuhan penduduk yang pesat ini sebagian besar didorong oleh meningkatnya jumlah orang yang bertahan hidup hingga usia reproduksi. Selain itu, pertumbuhan tersebut juga disertai dengan perubahan besar dalam tingkat kesuburan, peningkatan urbanisasi, dan percepatan migrasi.

Pada tahun 2019, lebih dari setengah penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa yang luasnya hanya 6,74 persen dari Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan perbedaan yang cukup mencolok antara pembangunan di Pulau Jawa dan luar Jawa. Kondisi ini juga yang menyebabkan kontribusi wilayah terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sebagian besar masih disumbang oleh Pulau Jawa.

Selain dari sisi ekonomi, jumlah penduduk yang besar juga menyebabkan masalah-masalah sosial diantaranya pengangguran, kemiskinan, kekerasan berbasis gender, dan sebagainya.

Salah satu isu sosial yang cukup ramai dibahas di dunia saat ini adalah kekerasan terhadap perempuan. Di Indonesia sendiri, menurut Komnas Perempuan kasus kekerasan terhadap perempuan selalu bertambah setiap tahunnya. Bahkan berdasarkan catatan tahunan 2020, kekerasan terhadap perempuan meningkat hingga 792 persen selama 12 tahun terakhir.

Hal ini jugalah yang melatarbelakangi tema yang diangkat untuk memperingati Hari Kependudukan Sedunia tahun 2020 yaitu “Menjaga Kesehatan serta Hak-hak Wanita dan Anak Perempuan”. Terlebih karena adanya pandemi covid-19 ini, banyak tenaga medis perempuan yang menjadi garda terdepan dalam penanganan pandemi covid-19.

Mengapa fokus pada wanita dan anak perempuan

Sebuah penelitian oleh United Nations Population Fund (UNFPA) yang dirilis tanggal 27 April 2020 mencatat bahwa 47 juta perempuan di negara berpenghasilan rendah dan menengah kemungkinan tidak dapat mengakses atau membeli kontrasepsi modern. Hal tersebut mengakibatkan adanya 7 juta kehamilan yang tidak diinginkan.

Kondisi ini juga dialami oleh Indonesia yang dikabarkan mengalami ledakan kehamilan baru. Menurut BKKBN, ada lebih dari 400.000 kehamilan baru yang tak direncanakan. Hal itu karena selama masa pandemi covid-19 telah diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang menyebabkan sejumlah klinik kesehatan dan kandungan ditutup sehingga masyarakat sulit mengakses alat kontrasepsi.

Hasil penelitian UNFPA juga melaporkan setidaknya ada sebanyak 31 juta kasus tambahan kekerasan berbasis gender selama masa pandemi covid-19. Hal itu juga sejalan dengan yang dialami oleh Indonesia. Menurut laporan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Komnas Perempuan telah terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 75 persen sejak pandemi Covid-19.

Oleh karena itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama dengan UNFPA menetapkan protokol penanganan kasus kekerasan berbasis gender yang dapat digunakan sebagai protokol bersama dalam penanganan kekerasan. Dengan demikian, korban tetap terlayani dan lembaga penyedia layanan tetap bisa memberikan penanganan kasus dengan merujuk pada protokol yang ada.

Protokol penanganan kasus kekerasan berbasis gender selama pandemi Covid-19

Menurut dr. Reisa, selaku duta adaptasi kebiasaan baru Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, pada situasi pandemi ini pelayanan penanganan kasus kekerasan berbasis gender tetap dibuka dengan mengutamakan protokol kesehatan. Menurutnya, paling tidak ada tiga protokol penanganan kasus kekerasan berbasis gender selama pandemi covid-19 yang perlu diperhatikan yaitu:

Pertama, korban bisa melapor ke pemerintah setempat dengan menghubungi layanan call center yang tersedia untuk melayani pengaduan kasus kekerasan. Selain itu, korban juga bisa menghubungi nomor kontak pusat pelayanan pada lampiran lembar protokol yang bisa diunduh di laman Satgas Covid-19.

Kedua, mintalah bantuan dari orang yang dapat dipercaya untuk mendapatkan bantuan psikis dan medis.

Ketiga, bagi masyarakat umum, bersuaralah. Pastikan untuk mengatakan “Tidak pada setiap kekerasan dalam bentuk apapun” dan berikan dukungan ke para korban. Masyarakat juga bisa bergabung dengan kelompok antikekerasan berbasis gender.

Penulis: Arif Rahman, Statistisi Ahli Pertama di BPS Kabupaten Sekadau

arif rahman