Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Ilustrasi disabilitas dan pendidikan (istockphoto)

Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Pada prosesnya, pembangunan di suatu negara tidak terlepas dari pengaruh sumber daya manusia yang ada di dalamnya. Keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan sangat tergantung pada peran serta seluruh penduduk, tanpa terkecuali.

Tak dapat dipungkiri bahwa berhasil tidaknya pembangunan suatu bangsa sangat erat hubungannya dengan seberapa besar kontribusi pemuda dalam pembangunan negara. Menurut definisinya, pemuda adalah penduduk berusia 16 hingga 30 tahun yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan (Undang-Undang No. 40 tahun 2009).

Dalam kacamata demografi, kelompok umur pemuda masuk sebagai usia produktif, yaitu usia yang dalam perhitungan beban ketergantungan memiliki posisi sebagai penanggung beban penduduk usia tidak produktif.

Namun, sebelum menunjukkan kontribusi pemuda dalam pembangunan di suatu negara, salah satu yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kualitas hidup pemuda di dalamnya. Kualitas hidup pemuda dapat dilihat melalui banyak hal, salah satunya dari aspek pendidikan.

Sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 31, bahwa setiap warga negara termasuk pemuda berhak untuk mendapatkan pendidikan. Melalui pendidikan, maka SDM pemuda dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, investasi pada pendidikan pemuda harus menjadi fokus pembangunan nasional untuk menciptakan generasi pemuda yang berdaya saing sebagai modal menuju Indonesia maju. 

Capaian Pendidikan Pemuda Disabilitas

Sebagai bentuk pemenuhan prinsip SDGs “no one left behind”, pemerintah telah berupaya untuk meminimalisir terjadinya kesenjangan antar kelompok masyarakat. Pada beberapa kelompok masyarakat, upaya tersebut terlihat sudah berjalan baik, akan tetapi tidak demikian halnya dengan yang terjadi pada para penyandang disabilitas khususnya pemuda.

Masih terdapat kesenjangan yang cukup signifikan antara pemuda penyandang disabilitas dengan pemuda yang bukan penyandang disabilitas, tak terkecuali dalam aspek pendidikan.

Kesenjangan pendidikan antara pemuda penyandang disabilitas dengan pemuda bukan penyandang disabilitas terlihat dari capaian beberapa indikator pendidikan, seperti kemampuan baca tulis, partisipasi sekolah, pendidikan tertinggi yang ditamatkan, serta rata-rata lama sekolah.

Berdasarkan kemampuan baca tulis, BPS mencatat bahwa di antara 100 pemuda dengan disabilitas, masih terdapat setidaknya 5 pemuda yang buta huruf pada tahun 2019. Angka tersebut masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan pemuda yang tidak menyandang disabilitas,  yang hanya terdapat 3 orang yang buta huruf dari 1000 pemuda.

Menurut data BPS tahun 2019, masih terdapat 21,62 persen pemuda penyandang disabilitas yang belum pernah bersekolah. Angka ini juga masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan pemuda bukan penyandang disabilitas yang hanya terdapat 0,65 persen. Selain itu, perbedaan yang cukup besar juga terlihat dari sisi Angka Partisipasi Sekolah (APS). APS pemuda bukan penyandang disabilitas jauh lebih tinggi dibandingkan APS pemuda penyandang disabilitas (26,79 persen berbanding 17,91 persen).

Ditinjau dari pendidikan tertinggi yang ditamatkan, pada tahun 2019 persentase pemuda bukan penyandang disabilitas yang menamatkan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi bahkan besarnya 3 kali lipat lebih besar dibanding pemuda penyandang disabilitas yang tamat Perguruan Tinggi (10,04 persen berbanding 3,36 persen).

Sementara itu, kesenjangan yang cukup besar juga terlihat dari sisi rata-rata lama sekolah. Menurut BPS, rata-rata lama sekolah pemuda penyandang disabilitas hanya sebesar 6,89 tahun pada tahun 2019. Hal tersebut menunjukkan bahwa rata-rata pemuda penyandang disabilitas menyelesaikan pendidikan hanya sampai dengan kelas 6 SD/sederajat. Kondisi ini berbeda jauh dibanding pemuda bukan penyandang disabilitas yang telah menyelesaikan pendidikan sampai dengan kelas 10 SMA/sederajat (10,67 tahun).

Saran untuk Pemerintah

Melihat capaian pendidikan pemuda penyandang disabilitas, maka pelaksanaan pendidikan inklusi untuk masyarakat penyandang disabilitas di Indonesia perlu ditingkatkan lagi, sehingga semua kalangan memiliki kesempatan berpendidikan yang sama. Hal ini tentu harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah Indonesia, karena sesuai dengan pasal 31 UUD 1945, setiap warga negara termasuk penyandang disabilitas berhak untuk memperoleh pendidikan.

Pemerintah sudah semestinya terus berupaya untuk menekan angka buta huruf yang terjadi pada kelompok pemuda penyandang disabilitas agar cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa” bisa tercapai. Upaya lain juga harus dilakukan agar pemuda dengan disabilitas lebih terfasilitasi dalam keaksaraan fungsional karena mereka memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang layak.

Selain itu, pemerintah juga harus lebih mengembangkan sekolah inklusi di setiap jenjang pendidikan dengan didukung oleh tenaga pengajar yang terlatih menangani penyandang disabilitas, sehingga partisipasi penyandang disabilitas dalam bersekolah dapat ditingkatkan. Disisi lain, untuk mengurangi kesenjangan APS menurut status disabilitas, akses dan fasilitas setiap jenjang pendidikan bagi pemuda penyandang disabilitas perlu semakin ditingkatkan.

Oleh: Arif Rahman, Statistisi Ahli Pertama BPS