Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Ilustrasi minuman keras (Shutterstock).

Belakangan ini Indonesia mulai ramai dengan adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (Minol) yang munia banyak pro dan kontra. Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol ini diusulkan oleh 21 anggota DPR yang terdiri dari 18 orang dari Fraksi PPP, 2 orang dari fraksi PKS, dan 1 orang dari fraksi Gerindra.

RUU tersebut menuai pro dan kontra baik bagi masyarakat, pengusaha, hingga sektor pariwisata. Dikutip dari Kompas.com RUU ini diketahui diusulkan pertama kali sejak 2015 lalu namun terus mengalami penundaan hingga kemudian masuk kembali dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020 sebagai usul dari inisiatif DPR RI. Dengan kata lain RUU tersebut diusulkan kembali dengan memeprtimbangkan kriminalitas yang terjadi akibat mengkonsummsi Minol.

Jika dilihat dari pola pikir usulan anggota DPR yang mempertimbangkan kriminalitas akibat dari konsumsi Minuman Beralkohol, di sahkannya RUU ini akan setidaknya dapat mengurangi tingkat kriminalitas akibat Minol.

Tetapi jika melihat lebih luas lagi, dampak dari RUU tersebut ketika sudah di sahkan justru akan lebih banyak terjadi. Dlam pengesahan RUU tentu saja perlu adanya pertimbangan secara menyeluruh dari berbagai aspek.

Menurut Herman Manheim, ada tiga aspek yang seharusnya diperhatikan ketika mengkriminalisasi suatu perbuatan, Pertama, adanya sikap yang sama dari masyarakat atau mendapat dukungan luas dari masyarakat. Hal inilah yang akan mengindikasikan bahwa perbuatan yang dikrimalisasikan harus merupakan perbuatan yang dianggarp merugikan masyarakat kalangan luas.

Kedua, Tidak sulit dalam teknis pelaksanaannya baik dalam konteks infrastrujtur penegakan hukumnya maupun dalam aspek pembuktiannya.

Kemudian yang ketiga, sesuai dengan Objek hukum pidana, artinya perbuatan yang dikriminalisasi harus sesuai dengan sasaran hukum pidana atau tidak mencampuri urusan yang sifatnya privat. Maka perlu diperhatikan kembali ketika mempertimbngkan suatu tindakan yang dianggap merugikan atau tidaknya.

Terkait dengan regulasi yang dilayangkan oleh RUU Larangan Minuman Beralkohol,produsen hingga penjual minuman beralkohol dapat terancam pidana dalam RUU Larangan Minuman Beralkohol. Ketentuan ini diatur dalam pasal 18 hingga Bab IV tentang ketentuan pidana dalam Draf RUU Larangan Minuman Beralkohol menyebutkan bahwa RUU ini melarang setiap orang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan dan/atau menjual minuman beralkohol diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah jika RUU Larangan Minuman Beralkohol ini disahkan, maka secara tidak akan mengurangi pendapatan negara. Kementrian Keuangan mengumumkan bahwasannya minuman beralkohol menyumbangkan sekitar Rp.7,3 Triliun pada penerimaan cukai negara tahun 2019 lalu. Jumlah ini menurut Stefanus disebut sebagai penerimaan yang besar bagi negara.

Felippa Amanta, peneliti lembaga the Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), mempertanyakan urgensi DPR membahas RUU itu. Merujuk data WHO, Felippa mengatakan Indonesia adalah salah satu negara dengan konsumsi alkohol paling sedikit di dunia.

"Menurut kami, RUU ini sama sekali tidak ada urgensinya karena angka konsumsi alkohol di Indonesia sangat rendah, salah satu terendah di dunia. Berdasarkan data WHO, beberapa tahun belakangan ini, Indonesia konsumsinya sekitar 0,8 liter per kapita. Kalau kita bandingkan dengan Asia Tenggara, yang angkanya 3,4 liter per kapita, kita juga masih jauh lebih rendah," ujar Felippa.

Ia menambahkan alih-alih melarang, pemerintah lebih baik mengatur dan mengawasi distribusi minuman keras. Pasalnya, pelarangan minuman beralkohol akan berujung pada meningkatnya jumlah konsumsi minuman oplosan, sebagaimana yang diamatinya terjadi di Bandung pada tahun 2018.

Mematikan atau melarang minuman keras secara menyeluruh bukan berarti akan memberhentikan seluruh orang untuk mengkonsumsi minuman beralkohol tersebut. Indikasi yang akan terjadi adalah akan banyaknya penjual minuman beralkohol sejara illegal (Black Market). Penjualan dengan cara ini tentu saja tidak akan lebih baik, pasalnya konsumen dapat saja membeli secara berlebihan baik untuk dikonsumsi maupun sebagai stock.

Pada dasarnya, negara tidak perlu melarang peredaran minuman beralkohol. Negara hanya perlu mengawasi dari segi aturan pemakaian, aturan penjualan dan tempat bagi konsumen karena jika melakukan pelarangan hanya karena dari sudut pandang kriminalitas, mereka hanya perlu diawasi dari ketiga aspek tersebut.

Mereka yang melakukan kriminalisasi adalah mereka yang mengkonsumsi secara tidak senonoh (berlebihan, sembarangan, tidak sesuai tempat) dan juga melakukan pengoplosan.

Maka RUU Larangan Minuman Beralkohol ini justru tidak akan bisa menghilangkan konsumsi minuman beralkohol dan justru akan menimbulkan overkriminalisasi yang merugikan masyarakat luas.