Kondisi damai, dan harmonis merupakan sebuah kondisi yang diidamkan oleh semua manusia di muka bumi tidak terkecuali di Indonesia. Kondisi damai dapat digambarkan sebagai keadaan yang tenang, aman dan tentram tanpa adanya pertikaian sehingga menimbulkan perasaan bahagia bagi manusia. Sayangnya dikarenakan manusia dikodratkan sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dengan manusia lain, terjadinya sebuah pertentangan (konflik) tidak bisa dihindari.
Menurut kamus Oxford, kata conflict dapat didefinisikan sebagai keadaan ketidaksepakatan yang serius, dan berlangsung secara berlarut-larut. Sedangkan menurut kamus Webster kata conflict didefinisikan sebagai sebuah perjuangan, peperangan antara beberapa pihak.
Pruitt&Rubin mendefinisikan konflik sebagai persepsi mengenai kepentingan yang berbeda, atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Berdasarkan berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik adalah sebuah keadaan pertentangan yang terjadi sebagai akibat ketidaksepakatan antara satu pihak dengan pihak yang lain.
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki tingkat kemajemukan tinggi, baik itu dari segi ras, suku, dan agama, melebihi Amerika Serikat yang mencitrakan diri sebagai negara multikultur. Kemajemukan Indonesia tersebut ibarat sebuah pisau bermata ganda, di satu sisi kemajemukan tersebut bisa menjadi sebuah bekal menjadikan Indonesia sebagai negara yang besar, namun di sisi lain kemajemukan tersebut juga menjadi salah satu penyebab berbagai konflik yang selama ini terjadi.
Jika diruntut dari sejarah Indonesia semenjak memproklamirkan kemerdekaannya, berbagai konflik baik antar golongan, antar suku, dan antar agama terus mewarnai perjalanan Indonesia selama 72 tahun ini. Berbagai contoh konflik itu seperti konflik bentuk negara Komunis (PKI) versus Pancasila, Islam (DI/TII, GAM) versus Pancasila, kemudian konflik suku antara Dayak versus Madura (2001) dan Lampung versus Bali Pendatang (2009), kemudian konflik agama yakni peristiwa Poso (Islam versus Kristen) tahun 1998-2001, serta masih banyak lagi konflik yang pernah mewarnai perjalanan negara Indonesia.
Pancasila terdiri dari kata panca dan sila, sila adalah asas atau dasar, sedangkan panca adalah lima, menurut Soekarno, Pancasila merupakan 5 dasar nilai yang mendirikan negara Indonesia kekal dan abadi. Dalam pandangan Soekarno, angka lima mempunyai simbolisme yang kuat dalam antropologi masyarakat Indonesia. Urutan-urutan kelima sila disebutkan oleh soekarno memiliki urutan sequetial, bukan urutan prioritas, namun merupakan kesatuan yang terdiri dari keragaman elemen (Yudi Latif,2011: 29).
Pasca reformasi di tengah pergantian rezim, perubahan sosio kultural dan gejolak sosial, Pancasila ditantang oleh keadaan untuk kembali menunjukkan eksistensinya sebagai dasar falsafah hidup. Paradoks yang terjadi di Indonesia adalah bagaimana falsafah yang digali dari kekayaan khasanah multikultural kebangsaan tidak bisa ditemukan dalam standart operasional pengentasan gejolak sosial itu sendiri. Penulis melakukan asosiasi sederhana bahwa gejolak sosial ini adalah konflik, sparatisme dan kekerasan massa.
Indonesia sesungguhnya telah memiliki sebuah sistem nilai, moral, dan dasar yang dapat dijadikan pedoman dalam menengahi berbagai permasalahan yang terjadi di Indonesia, yakni Pancasila. Pancasila semenjak awal dirumuskan dan disahkan pada 1 Juni 1945 merupakan kesepakatan bersama antara berbagai kelompok agama dan suku untuk mencapai sebuah negara yang ideal.
Senjak awal dirumuskan, para pendiri bangsa telah menyadari bahwa seluruh aspirasi dari berbagai kelompok, suku, dan agama harus diwadahi dan terhindar dari permasalahan yang dapat menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sayangnya penerimaan dan penerapan nilai-nilai pancasila hingga kini masih terus mengalami dinamika.
Pancasila sejatinya sudah menjadi sistem negara yang final dan tidak boleh dipertanyakan lagi mengenai kecocokan dengan kondisi negara Indonesia, dikarenakan Pancasila sudah dirumuskan sedemikian rupa untuk pas dengan kemajemukan masyarakat Indonesia.
Seperti diungkapkan oleh KH. Marzuki Mustamar dalam sebuah ceramah bahwa Pancasila ibaratkan sebuah air putih yang mampu untuk diminum oleh orang sehat maupun orang sakit, berbeda dengan berbagai minuman lain seperti kopi, teh, susu, dan variasi lainnya yang diibaratkan sebagai ideologi-ideologi lain yang belum tentu bisa diminum (diterima) oleh masyarakat lain.
Menerima dan menerapkan Pancasila sebagai idelogi dan falasah hidup bangsa dalam kehidupan keseharian sebagai upaya juru damai dan menetralisir konflik sesungguhnya tidak semudah dalam teori. Pengalaman masa lampau yang pernah salah dalam menafsirkan Pancasila hanya untuk digunakan sebagai sebuah doktrin justru malah menimbulkan konflik lebih lanjut.
Di masa kini semua pihak harus mengingat jika Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka yang mana nilai mutlak yang tak boleh diganggu gugat adalah Pancasila dalam nilai dasar sedangkan Pancasila dalam nilai praksis (penerapan keseharian) haruslah lebih luwes dan mampu dimaknai terbuka oleh semua pihak supaya tidak berpotensi disalahgunakan untuk memeperteguh kekuasaan semata yang kemudian semakin memperbesar api konflik di negeri ini.
Kesimpulannya konflik merupakan sebuah keniscayaan dalam perjalanan kehidupan setiap bangsa, karena di sisi positifnya konflik bisa memperkuat kesatuan sebuah bangsa, namun juga memiliki sisi negatif ketika tidak mampu ditangani. Salah satu solusi damai dan penyelesaian konflik khususnya yang berkaitan dengan konflik SARA di negeri ini adalah penerimaan secara multak Pancasila sebagai sistem nilai dasar final, namun penerimaan final tersebut hanya pada tataran nilai dasar dan nilai instrumental, sedangkan pada tataran praksis haruslah selalu luwes dan bebas ditafsirkan oleh seluruh warga negara Indonesia.
Daftar Rujukan
Merriam-Webster Incorprated. 1995. Merriam-Webster’s Pocket Dictionary.Massachusetts: Merriam-Webster Incorporated.
Oxford University Press. 2005. Oxford Learner’s Pocket Dictionary. Oxford: Oxford University Press
Pruitt, Dean G & Rubi, J.Z. 2009. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tongat. 2012. Pancasila Sebagai Dasar Falsafah Negara dan Makna Filosofinya Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Online), (https://media.neliti.com > publication), diakses 24 Januari 2018.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
ICW Curigai Loyalis Ganda, KPK Era Setyo Budiyanto Bisa Picu Konflik Kepentingan Imbas Diisi Polisi, Jaksa hingga Hakim?
-
Soroti Konflik di Timur Tengah, Prabowo ke Menlu AS: Bagaimana dengan Palestina, Apakah Anda Bisa Lakukan Sesuatu?
-
Masuk Lingkaran Istana, Keluarga Sultan Andara jadi Sorotan Karena Rangkap Jabatan
-
Di Tengah Perang Gaza, Ribuan Pasien Kanker Berjuang untuk Hidup hingga ke Yordania
-
Israel Serang Iran: Timur Tengah di Titik Paling Berbahaya Dalam Beberapa Dekade
News
-
See To Wear 2024 Guncang Industri Fashion Lokal, Suguhkan Pengalaman Berbeda
-
Harumkan Indonesia! The Saint Angela Choir Bandung Juara Dunia World Choral Championship 2024
-
Usaha Pandam Adiwastra Janaloka Menjaga, Mengenalkan Batik Nitik Yogyakarta
-
Kampanyekan Gapapa Pakai Bekas, Bersaling Silang Ramaikan Pasar Wiguna
-
Sri Mulyani Naikkan PPN Menjadi 12%, Pengusaha Kritisi Kebijakan
Terkini
-
Makna Perjuangan yang Tak Kenal Lelah di Lagu Baru Jin BTS 'Running Wild', Sudah Dengarkan?
-
Ulasan Buku 'Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, di Mana Saja', Bagikan Tips Jago Berkomunikasi
-
Puncak FFI 2024: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Sapu Bersih 7 Piala Citra
-
Polemik Bansos dan Kepentingan Politik: Ketika Bantuan Jadi Alat Kampanye
-
Ditanya soal Peluang Bela Timnas Indonesia, Ini Kata Miliano Jonathans