Novel Life and Death Are Wearing Me Out karya Mo Yan menjadi sebuah kisah yang tak hanya menarik, tapi juga menyimpan kritik sosial.
Tokoh utamanya, Ximen Nao, seorang tuan tanah yang dihukum mati saat Revolusi Agraria, bereinkarnasi menjadi berbagai hewan dalam siklus kehidupan yang tak kunjung usai.
Kita diajak melihat sejarah modern Tiongkok dari mata manusia yang bereinkarnasi menjadi hewan seperti sapi, babi, keledai, anjing, dan sebagainya.
Dengan gaya bertutur yang penuh warna dan absurditas khas Mo Yan, kisah ini bergerak antara satir dan spiritualitas. Tidak hanya tentang sejarah, tapi kisah ini bisa ditampilkan dengan suasana tawa, sedih, kasihan dengan caranya sendiri.
Setiap reinkarnasi menjadi jendela bagi kita untuk menyaksikan bagaimana kekuasaan dan penderitaan terus berulang dalam wujud yang berbeda.
Reinkarnasi dalam novel ini bukan dalam artian penebusan, tapi lebih kea rah kutukan yang lama-lama menyadarkan akan hal yang selama ini banyak dilakukan.
Ximen Nao tidak pernah benar-benar bisa lepas dari dunia manusia, meski ia berkali-kali menjadi makhluk lain. Ia menyaksikan sahabat-sahabat lamanya berubah oleh waktu, oleh ambisi, oleh luka yang diwariskan zaman.
Mo Yan menghadirkan humor yang tidak sekadar lucu, tapi juga mengandung kepahitan yang dalam.
Ada bagian lucu ketika membayangkan keledai berevolusi. Tapi dibalik itu semua, ada sebuah ironi yang tidak bisa dilupakan.
Dunia yang digambarkan dalam novel ini tidak pernah sepenuhnya masuk akal—dan justru di situlah letak kebenarannya.
Di tengah absurditas itu, ada pula momen-momen yang begitu manusiawi: rasa cinta, iri, kehilangan, dan kesetiaan yang tidak pernah pudar.
Bahkan ketika hidup sebagai seekor anjing, Ximen Nao tetap bisa merasakan hangatnya cinta dan pedihnya pengkhianatan, seolah ia tak pernah benar-benar lepas dari sisi manusianya. Ia terus mencintai tanah kelahirannya, keluarganya, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi dari ingatannya.
Life and Death Are Wearing Me Out bukan sekadar kisah tentang hidup setelah mati, melainkan refleksi tentang bagaimana manusia menghadapi sejarah yang terus berulang dalam berbagai rupa.
Setiap tokohnya memikul luka dan harapan dari zamannya masing-masing, tapi mereka tetap mencoba bertahan, dengan cara yang mereka tahu, seberapapun rapuhnya.
Novel ini bukan ingin memberi pelajaran, melainkan ingin kita berhenti sejenak dan merenung.
Dengan latar belakang perubahan besar di Tiongkok, dari Revolusi Kebudayaan hingga era kapitalisme, Mo Yan menyuguhkan kisah yang terasa sangat hidup dan dinamis.
Ia tidak menghakimi tokohnya. Sebab di dunia rekaan Mo Yan, tak ada tokoh yang sepenuhnya hitam atau putih, hanya manusia yang terus berusaha bertahan di tengah arus sejarah yang tak menentu.
Kekuatan novel ini justru terletak pada caranya menghadirkan sosok-sosok yang tampak remeh, namun berhasil menyentuh sisi paling lembut dari empati kita.
Seekor babi yang merasa cemburu, seekor sapi yang mengenang cinta lamanya, semua memiliki suara yang ingin kita dengar. Semua itu membawa kita lebih dekat dengan sisi manusia.
Bahasa yang digunakan Mo Yan mengalir seperti sungai yang tenang tapi dalam.
Ia tahu bagaimana membuat kita tertawa, lalu tiba-tiba diam karena kalimat terakhir di paragrafnya memukul tepat di dada.
Tak heran jika novel ini menjadi salah satu karya terbaik dari peraih Nobel Sastra tersebut.
Pada akhirnya, novel ini adalah perayaan kehidupan, dengan segala kekacauan dan keindahannya yang tak bisa dijelaskan dengan logika semata.
Dan ketika halaman terakhir ditutup, kita tahu bahwa ada sesuatu yang sudah berubah dalam diri kita.
Baca Juga
-
Belajar Self-Love dari Buku Korea 'Aku Nggak Baper, Kamu Yang Lebay'
-
Novel Stranger, Kisah Emosional Anak dan Ayah dari Dunia Kriminal
-
Potret Kekerasan Ibu-Anak dalam Novel 'Bunda, Aku Nggak Suka Dipukul'
-
Novel The Prodigy: Menemukan Diri di Tengah Sistem Sekolah yang Rumit
-
The Killer Question: Ketika Kuis Pub Berubah Jadi Ajang Pembunuhan
Artikel Terkait
Ulasan
-
Review Film Now You See Me: Now You Don't, Kritik Tajam ke Dunia Korup
-
Perjuangan Melawan Kemiskinan dan Tradisi Kaku dalam Novel Bertajuk Kemarau
-
Review Film Ozora: Penganiayaan Brutal Penguasa Jaksel, Kritik Pedas Buat Sistem Hukum
-
Ulasan Buku "Brothers", Kenangan Kecil untuk Mendiang Sang Adik
-
Ulasan Novel Pachinko, Kisah Tiga Generasi Keluarga Korea di Jepang
Terkini
-
Bukan Sekadar Anak Nakal: Kupas Luka Psikologis di Balik Pelaku Bullying
-
Workplace Bullying: Perundungan yang Dianggap Normal di Kantor, Relate?
-
Lesti Kejora Tetap Aktif Walau sedang Hamil, Billar Alami Couvade Syndrome?
-
KPK setelah Revisi: Dari Macan Anti-Korupsi Jadi Kucing Rumahan?
-
Tren Zero Post Gen Z: Memilih Diam, Tapi Tetap Bersuara di Dunia Digital