Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Aisha Wai Yasmi
Virus corona berdampak pada turunnya jumlah order bis pariwisata. (Suarajogja.id/Putu Ayu Palupi)

Pandemi Covid-19 telah membuat dunia krisis dan mengalami banyak perubahan signifikan baik dari sektor bisnis, pariwisata termasuk perilaku masyarakat dan konsumen. Masa pandemi ini pun tidak lepas dalam merubah perilaku sektor kehumasan yang sangat erat kaitannya dengan pariwisata. Fungsi humas yang merupakan bagian besar dari sektor jasa dan pelayanan berbanding lurus dengan keadaan ekonomi negara.

Bisnis hotel sudah merasakan dampak dari Covid-19 sejak awal tahun 2020 karena pengunjung hotel berasal dari berbagai negara yang merupakan target utama oleh Kemenpar yaitu wisatawan mancanegra (wisman). Pada bulan Febuari 2020 rata-rata okupansi hotel bintang 5-3 di Yogyakarta hanya mencapai 20% dan hanya mengandalkan wisatawan nusantara (wisnus).

Setelah pemerintah resmi mengumumkan Covid-19 telah memasuki Indonesia kondisi tingkat hunian pada hotel semakin menurun. Bulan Maret-April 2020 rata-rata okupansi hunian hanya mencapai sekitar 10% per harinya atau dalam beberapa kasus hotel hanya ada 1-2 kamar hunian per hari dari ratusan kamar yang dimiliki oleh hotel.

Kondisi tersebut membuat Persatuan Hotel Restaurant Indonesia di Yogyakarta (PHRI) beserta Himpunan Humas Hotel Yogyakarta (H3Y) dengan 66 Hotel di Yogyakarta mengadakan gerakan “From Jogja with Love” sebagai tanda berkabungnya dan kepedulian sektor pariwisata saat krisis pandemi pada tanggal 5 April 2020. 

Pada akhirnya pertengahan bulan tersebut perlahan 95% hotel di Yogyakarta tutup untuk sementara waktu karena tidak ada pengunjung hotel sama sekali. Hal tersebut berdampak sangat besar terhadap hotelier karena dengan terpaksa harus dirumahkan dan hilangnya mata pencaharian.

Atas dasar kebutuhan manusia, perlahan beberapa hotel di Yogyakarta mencoba membuka kembali hotelnya dengan berbagai macam penerapan protokol kesehatan sesuai dengan anjuran dari Kemenkes. Berbagai cara telah dilakukan oleh hotel untuk menciptakan image aman dari Covid-19 untuk mengembalikan tingkat hunian pada hotel dan pada akhirnya sekitar 20 hotel buka pada bulan Mei-Juni 2020.

Seperti yang telah disampaikan perilaku masyarakat dan konsumen pun kian berubah seiring dengan jenuhnya seseorang yang disebabkan ketidakpastian berakhirnya krisis Covid-19 yang tentunya membatasi aktifitas. Jenuh akhirnya tak acuh terhadap pandemi yang telah dirasakan dilampiaskan ketika long-weekend saat Maulid Nabi Muhamamd SAW.

Tingkat hunian meningkat secara drastis hingga mencapai 100% dan banyak wisatawan kehabisan kamar dihotel yang diharapkan. Namun tak disangka, hal tersebut mengakibatkan peningkatan kasus positif beberapa pekan setelahnya.

Selain libur Idul Fitri, tahun baru dan Natal merupakan angin segar bagi sektor pariwisata sejak dahulu. High season tentunya untuk sektor tersebut dan tentunya moment tersebut dinanti-nanti setelah ladang lama tidak menuai banyak hasil.

Akhir tahun semakin ditunggu, pada awalnya pemerintah memindahkan libur Idul Fitri  ke akhir tahun sebagai ganti libur yang ditiadakan karena diterapkannya lockdown saat libur lebaran. Namun hal tersebut menjadi pupus ketika Covid-19 hingga sekarang tidak kunjung usai dan libur lebaran tidak diberikan seperti yang diharapkan untuk mengantisipasi lonjakan-lonjakan kasus yang tidak diinginkan. Berlindung dengan “menaati protokol kesehatan” masyarakat seolah-olah tutup mata dan telinga untuk tetap merealisasikan rencana melepaskan penat dan stress dengan kembali berwisata.

Gejolak tersebut banyak menimbulkan banyak isu yang beredar dimasyarakat terutama kota-kota pariwisata seperti Bandung, Bali, Solo hingga Yogyakarta. Berbagai isu yang beredar seperti kota akan di lockdown dan tidak menerima wisatawan hingga diperketatnya berbagai peraturan. Banyak pesan berantai yang tidak dapat dipertanggung jawabkan beredar dan mulai menyentil dunia pariwisata.

Hoax tersebut satu persatu ditepis oleh yang bersangkutan. Salah satunya adalah kota Solo mengklarifikasi bahwa isu lockdown hanya hoax dan Bali mempertegas statusnya dengan dikeluarkannya SE dari pemerintah daerah mengenai syarat berkas rapid/swab antigen bagi wisatawan untuk masuk wilayah Bali.

Isu-isu yang beredar memberikan dampak yang sangat serius. Persatuan Hotel dan Restaurant Indonesia (PHRI) mengungkapkan jumlah transaksi pengembalian (refund) tiket wisatawan yang hendak berkunjung ke Bali mencapai Rp 317 miliar yang berasal dari 133 ribu tiket pesawat.

PHRI DIY menambahkan dengan dipangkasnya libur akhir tahun oleh Presiden Joko Widodo banyak tamu yang membatalkan reservasi penginapan. Bahkan, untuk bulan Desember, terjadi penurunan reservasi hingga 30%. Kondisi yang tersengal-sengal yang sudah dilalui oleh bisnis perhotelan sejak 10 bulan yang lalu berharap sektor ekonomi dan kesehatan berjalan beriringan.

Tidak hanya Bali, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X mengeluarkan statement yang diunggah diakun resmi @humasjogja di Instagram bahwa berdasarkan kebijakan pusat, bagi siapapun yang melaksanakan perjalanan (dari dan menuju DIY) wajib melakukan rapid/swab antigen.  Tentunya pernyataan yang dilontarkan oleh Gubernur sangat berdampak kepada pertimbangan pemilihan keputusan dari konsumen dalam berpergian.

Regulasi ini bukannya tanpa solusi, Yogyakarta International Airport Kulonprogo (YIAK) memberikan fasilitas test rapid/swab antigen dengan harga yang relatif terjangkau Rp 170.00. Informasi serta kebijakan resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah seharusnya dapat membantu humas dalam mempertahankan tamu dalam mengambil keputusan dalam berpergian. Informasi-informasi dari akun resmi pemerintah seperti Bandara YIAK maupun Humas Jogja menjadi pegangan bagi humas perhotelan. Tentunya sense sebagai seorang PR harusnya sangat peka dan jeli dalam mengumpulkan data agar dapat melangkah dengan benar.

Isu menjadi lebih serius dengan pernyataan Sri Sultan Hamengkubuono mengenai penutupan hotel dan random check kelengkapan surat menyurat kesehatan tamu. Ketika di temukan cluster baru karena tidak menerapkan protokol sesuai peraturan pemerintah Gubernur DIY tersebut akan menutup kembali hotel tersebut. Salah satu contoh yang sudah dilakukan penutupan paksa di Yogyakarta adalah Cafe Platinum di kawasan pusat kota karena masih nekat menggelar pesta dan memicu kerumunan. Sempat mendapatkan surat peringatan hingga 3 kali, akhirnya cafe ini ditutup sementara.

Fungsi manajemen isu yang seharusnya dijalankan seorang humas hotel menjadi tombak bisnis tersebut. Dengan adanya manajemen isu akan berdampak pada tingkat kepercayaan oleh konsumen terhadap hotel ataupun destinasi wisata karena merasa aman dan tetap  bisa menjalankan perjalanan. Howard Chase tokoh Corporate Public Relations yang pertama kali menemukan model manajemen isu pada tahun 1077. Ia mengatakan di dalam buku Tim Coombs bahwa manajemen isu adalah reaksi terhadap perubahan regulasi. Pada kasus ini adalah regulasi dalam memperketat protokol kesehatan bagi wisatawan luar kota tujuan dan pemangkasan libur bersama. Humas dari hotel atau bisnis pariwisata harus sangat peka dan tanggap terhadap situasi tersebut agar tidak mengambil salah langkah agar isu tersebut tidak menjadi krisis.

Menurut Chase ada beberapa tahap yang harus dilakukan seorang humas dalam mengelola isu tersebut. Yang pertama merupakan Identifikasi isu-isu tersebut dengan mengumpulkan berbagai data yang berdampak langsung terhadap organisasi agar dapat mengidentifikasi trend yang ada. Mencari kebenaran isu serta regulasi yang sudah beredar merupakan kunci dalam mengidentifikasi isu tersebut. Apakah informasi hanya dari pesan berantai yang tidak bertanggung jawab? Atau memang peraturan resmi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.

Pentingnya identifikasi tentunya membantu dalam menciptakan urutan prioritas terhadap isu tersebut. Tentunya para PR dan Humas hotel sudah mengidentifikasi sejak awal ketika para tamu mulai mengkhawatirkan simpang siur informasi regulasi tersebut dan menanyakan kebenarnya kepada pihak hotel.

Munculnya isu juga dapat diidentifikasi dari meningkatnya refund maupun reschedule kamar atau tiket pesawat yang sudah dipesan. Meningkatnya pertanyaan-pertanyaan dari calon tamu mengenai protokol kesehatan termasuk kelengkapan surat kesehatan yang ditetapkan pihak hotel seharusnya juga menjadi kecurigaan bagi pihak hotel. Ketika isu mulai muncul kepermukaan dan dapat diidentifikasi Chase menyebutkan untuk beranjak pada tahap selanjutnya. 

Tahap kedua yang disampaikan oleh Chase adalah isu yang muncul harus di analisis berdasarkan pengumpulan data riset valid yang sudah tersedia. Hal ini sangat berguna untuk mengetahui siapa yang terlibat dengan isu dan stakeholder yang terkait. Pada tahap ini humas atau Public Relations harus menganalisis dengan jeli apakah informasi yag beredar berdampak terhadap tamu yang akan datang. Tentunya pemeran utama dalam isu ini adalah pemerintahan dalam penyampaian berbagai informasi dan penetapan regulasi yang berdampak kepada salah satunya perhotelan. Pada tahapan analisis, menjadi pijakan utama dalam menentukan sikap dan keputusan dalam menanggapi isu. Semakin lengkap data yang dimiliki akan semakin banyak opsi dalam menanggapi isu yang telah beredar. Tahapan ini bisa dilakukan dengan melakukan riset secara kuantitaf maupun kualitatif sebagai metode pengumpulan data yang valid.  

Ketika analisis telah selesai dilakukan ada tiga opsi yang dapat dilakukan oleh Humas atau PR hotel dalam menanggapi isu tersebut. Menurut Chase opsi yang pertama adalah reactive yang merupakan sebuah strategi untuk tidak melakukan apa-apa. Opsi ini dilakukan dengan tujuan untuk tidak memengaruhi keadaan isu tersebut. Walaupun terkesan pasif, strategi ini diambil pada umumnya ketika isu masih dalam tahap belum ada kepentingan terhadap perusahaan ataupun tidak teridentifikasi akan berdampak langsung terhadap perusahaan.

Isu umum yang biasanya ditaklukan dengan strategi reaktif adalah seperti isu lingkungan terhadap sektor pariwisata atau perhotelan. Tidak seperti perusahaan tambang yang umumnya dikaitkan dengan isu lingkungan yang tentunya memiliki kaitan yang sangat erat.

Pada kasus isu ketidakpastian informasi mengenai libur akhir tahun dengan segala regulasinya, yang telah dipaparkan stretegi reactive belum dapat diaplikasikan PR Hotel. Dilain pihak, walaupun ada beberapa isu yang belum berdampak langsung tehadap bisnis seorang humas atau PR harus tetap waspada dan aware karena perubahan isu akan sangat dinamis perubahanya.

Opsi kedua adalah adaptive dimana PR mengambil tindakan dan memberikan usaha untuk mengubah isu tersebut. Opsi ini diambil ketika situasi regulasi masih dalam tahap pembentukan dan berbagai alternatif masih dapat terjadi sebelum peraturan benar-benar telah diputuskan. PR dapat membuat berbagai pilihan dalam menanggapi isu tersebut selagi keputusan resmi belum dikeluarkan.

Opsi ini telah dilakukan beberapa hotel di Yogyakarta. Hingga hari ini 20 Desember 2020 pemerintah belum mengeluarkan Surat Edaran (SE) secara resmi untuk tamu hotel harus menggunakan surat kesehatan berbasis rapid/swab antigen. Pernyataan yang telah dilontarkan berupa mengikuti peraturan pusat dan belum ada kepastian penyeragaman terhadap peraturan tersebut.

Berbeda dengan keadaan Bali dimana SE sudah diedarkan dan secara tegas menyampaikan bahwa rapid antibodi tidak dapat digunakan sebagai surat tanda sehat. Dalam menanggapi situasi ini, Tahapan adaptive sedang diterapkan beberapa hotel di Yogyakarta. Ada beberapa hotel yang meminta tamu untuk menunjukan surat kesehatan sesuai anjuran pemerintah yaitu berbasis antigen untuk tamu luar kota.

Ada beberapa hotel yang cukup menunjukan surat kesehatan dengan tidak ada spesifikasi khusus antigen ataupun antibodi. Namun ada beberapa hotel belum meminta tamunya menunjukkan surat kesehatan namun wajib mengisi self assasesment form mengenai track record kesehatan dan perjalanan tentunya diiringi dengan mengedukasi tamu mengenai beberapa peraturan pemerintah.

Tentunya hotel-hotel tersebut telah menerapkan CHSE solusi dari Kemenparekraf untuk membangkitkan sektor pariwisata. Usaha nyata untuk memutuskan penyebaran Covid-19  dan tidak dipungkiri agar terciptanya trust tamu dalam memilih hotel. CHSE adalah singkatan dari Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Enviroment (Ramah lingkungan).

Perhotelan berharap dengan adanya sertifikasi yang telah dikeluarkan oleh Kemenparekraf dapat menjadi solusi atas pupusnya pariwisata dalam waktu 10 bulan ini. Bukti nyata yang telah diterapkan sejak awal pandemi seperti disediakan tempat cuci tangan serta sabun dan handsanitizer, pembersihan ruang dan barang publik dengan disinfektan/cairan pembersih, pemeriksaan suhu tubuh, wajib memakai APD yaitu masker dan seterusnya.

Pastinya dengan ada standarisasi sertifikasi CHSE pelaku pariwisata semakin ketat dalam menjalankan protokol kesehatan. Penerapan CHSE sebenarnya sejak awal dirasa sudah cukup dalam mengantisipasi isu tersebut agar kesehatan dan ekonomi dapat berimbang.

Opsi yang terakhir adalah dynamic merupakan strategi dengan sikap yang proaktif terhadap isu. Tujuan strategi dynamic agar dapat membentuk peraturan yang tadi pada awal mulanya banyak opsi regulasi yang akan ditetapkan hingga digiring sesuai dengan keinginan. Pada strategi ini juga dapat dikatakan sebagai penyanggah atau membantah terhadap regulasi yang akan dibentuk atau ditetapkan oleh pemerintah dengan memunculkan isu yang lebih penting atau  isu yang dapat dipertimbangkan.

Organisasi Persatuan Hotel Restauran Indonesia (PHRI) DIY berusaha menyampaikan kekecewaan terhadap regulasi pemangkasan libur dengan mengangkat isu ekonomi. Deddy Ketua PHRI DIY mengatakan menyayangkan keputusan tersebut karena sudah sepakati jangan sampai ada yang terkapar ekonominya dan terpapar kesehatannya, sehingga jangan sampai kenaikan kasus pada akhirnya sektor pariwisata yang menjadi kambing hitam ungkapnya.

Deddy juga memperkuat dengan menyatakan bahwa pelaku pariwisata sudah sangat ketat dalam mendisiplinkan tamu dalam protokol kesehatan dan tentunya melakukan sertifikasi CHSE dari Kemenparekraf. Isu ekonomi dan isu kesehatan menjadi dilematika yang tidak bekesudahan dalam menanggapi krisis Covid-19.

Strategi ini pun diperkuat oleh sekretaris jendral PHRI Maulana Yusran dengan menekankan kompensasi dari pemerintah agar industri pariwisata tetap bisa bergulir normal pada periode liburan. Ada baiknya ketika rapid/swab antigen semestinya mendapat bantuan dana agar turis tidak berfikir dua kali dalam membatalkan reservasi atau  melakukan perjalanan, sehingga tidak membunuh sektor pariwisata. Maulana merasa dengan pemerintah mengeluarkan kebijakan, beban yang menanggung adalah sektor pariwisata.

Solusi yang ia tawarkan adalah dengan beriringnya diputuskan kebijakan test swab/rapid antigen maka subsidi sangat diharapkan. Kebijakan yang berubah-rubah dan  mendadak ketika ditetapkan mendekati libur panjang tentunya berakibat terhadap keterbatasan antisipasi situasi. Selama sepuluh bulan perhotelan tidak dapat menghasilkan secara maksimal, momentum yang ditunggu-tunggu raib.

Sebelum isu ini mengusik perhotelan lebih jauh, secara maksimal banyak strategi yang telah diterapkan agar bisnisnya tetap bisa hidup. Mulai paket Work From Hotel yang merupakan paket menginap dengan waktu yang lama di hotel dan dapat dibandrol dengan harga yang cukup miring.

Umumnya paket tersebut tersedia menginap selama satu minggu hingga dua minggu dihotel dengan fasilitas lengkap untuk bekerja seperti internet, working space dan tentunya hotel berbintang empat dan lima menyediakan fasilitas kolam renang, gym dan spa sebagai aktifitas penghilang penat. Perhotelan tidak dapat mengharapkan tamu dari wisatawan sehingga kreatifitas dalam memikat market yang sudah ada seperti masyarakat lokal namun jenuh berkerja dirumah pun menjadi pilihan.

Tidak hanya tamu menginap, event seperti seminar, pernikahan menjadi andalan perhotelan sebagai active income. Dengan jelas kegiatan-kegiatan tersebut mengumpulkan massa dalam satu kegiatan. Solusi pun ditawarkan perhotelan dengan physical distancing yang sangat diperkatat dari segi jumlah masa yang dapat berkumpul hingga tempat duduk yang benar-benar harus diatur.

Tidak hanya dalam ruangan namun di restaurant saat break ISHOMA ataupun coffeebreak sangat diatur. Trend intimate weeding pun muncul karena terbatasnya undangan pernikahan yang diatur oleh pihak hotel. Hingga beberapa hotel memberlakukan nasi box sebagai suguhan pernikahan agar terhindarnya penggunaan alat makan bersama. Tidak hanya itu, panggung pelaminan pun tidak dapat dijangkau oleh tamu undangan menghindari aktifitas saling bersalaman.

Solusi selanjutnya adalah kegiatan staycation untuk keluarga didaerah hotel tersebut. Tidak hanya menginap dihotel, berbagai kegiatan telah disediakan ketika tamu menginap. Diantaranya membuat batik, belajar menari tradisional, meracik jamu khas yogyakarta, memanah, bermain golf, yoga, zumba hingga kegiatan untuk anak-anak seperti belajar memasak sambil bermain bersama pastry chef, berenang, mini playground, kegiatan menggambar dan mewarnai dan banyak lagi.

Kegiatan-kegiatan ini terus dikembangkan agar ketika tamu menginap tidak berkumpul pada satu destinasi wisata secara bersamaan dan akhirnya mengakibatkan kerumunan. Solusi ini telah ditawarkan agar tetap dapat berlibur namun tidak mengakibatkan kerumunan. Permasalah sesungguhnya bukan terletak pada liburan. Namun, perilaku tak acuh terhadap protokol kesehatan seperti menjaga jarak, berkerumun, tidak memakai masker dan jarang cuci tangan yang menjadi permasalahan utama.

Perubahan perilaku dalam mengkonsumsi media juga salah satu efek dari Covid-19. Semua informasi dapat diakses dengan mudahnya melalui internet baik dari media sosial ataupun protal berita online. Jam layar dari seseorang meningkat dua kali lipat sebelum pandemi melanda.

Masyarakat yang hanya berkegiatan dirumah otomatis memiliki ruang gerak terbatas sehingga dan waktu yang banyak dalam menatap layar.  Perubahan perilaku tersebut mendorong PR untuk lebih inovatif dalam mengelola akun-akun media sosial, website maupun media relations.

Kampanye dengan berbagai hastag, video ataupun selebaran digital selalu dilakukan oleh dunia perhotelan dari awal muncul Covid-19 hingga saat ini. Kampanye kebersihan seluruh fasilitas publik maupun fasilitas dikamar. Mengkomunikasikan mengenai peraturan-peraturan kesehatan dan persyaratan-persyaratan berpergian. Selain diserukan pada lini media hotel, tentunya staff reservasi ataupun front office selalu menginformasikan kelengkapan surat menyurat kesehatan yang harus dipatuhi.

Kepedulian masyarakat atas aspek CHSE meningkat sehingga brand secara tidak langsung terdorong untuk berdaptasi dan berinofasi dalam menyampaikan pesan. Konten-konten yang dibuat tidak hanya bersifat kompetitif dan profitable namun sangat diperlukan etika dan tanggung jawab. Ketika mengambil langkah yang salah maka reputasi dari organisasi akan menjadi taruhan.

Segala cara sudah dilakukan agar dapat bertahan, namun pada akhirnya tidak dapat dipungkiri perhotelan mendapatkan imbas yang cukup menohok dalam pengambilan keputusan dari pemerintah dalam pemangkasan libur Natal dan akhir tahun ditambahnya berlaku pemeriksaan Covid-19 berlandaskan antigen yang biayanya tidak sedikit.

Namun dilain pihak, pemerintah mengalami pertimbangan dan pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman terdahulu ketika adanya long weekend terbukti meningkatkan kasus positif dari Covid-19. Perilaku masyarakat yang belum dapat seutuhnya menerapkan protokol seperti perilaku 3 M (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak) menjadi salah satu alasan kuat hingga harus diterapkannya regulasi ini.

Isu ini ditanggapi berbeda dengan Ibu Kota Jakarta yang tidak merasakan dampak yang signifikan terhadap peraturan pemangkasan libur dan penerapan surat antigen. Ada harapan yang sangat besar dengan diterapkan regulasi ini segera memulihkan keadaan dan berdampak pada kurva kasus positif Covid-19.

Ketua PHRI Pusat menyatakan dengan dipangkasnya beberapa hari dari semestinya janji dari Presiden RI tidak akan berpengaruh banyak terhadap perekonomian. Beliau mengatakan dengan bersabar sedikit agar tahun yang akan datang dapat menuai hasil yang maksimal tanpa harus khawatir berlebihan mengenai isu kesehatan.

Perhotelan Ibu Kota memang tidak bergantung sepenuhnya terhadap wisatawan yang ingin berlibur namun lebih mengandalkan tamu-tamu dalam kota yang ingin melakukan staycation dan penat terhadap pekerjaanya. Selagi Jakarta belum menerapkan PSBB secara total pemangkasan cuti tidak akan berdampak besar terhadap perhotelan. Dengan berberlakukannya PSBB maka mall yang menjadi satu dengan hotel terpaksa ikut tutup dan akhirnya menurunkannya okupasi hunian dimana mall menjadi daya tarik tersendiri bagi tamu yang ingin menginap. Selain dari tamu yang ingin staycation, perhotelan di Jakarta banyak berharap pada market pembisnis dengan tujuan MICE yang tentunya kegiatan tersebut tidak terpusat pada libur akhir tahun.

Dengan sikap yang optimis berharap dengan diperketatnya peraturan dan adanya pemangkasan regulasi segera menyelesaikan permasalahan global Covid-19 di Indonesia dan menjadi tombak awal mula dari perhotelan.

Alangkah lebih baiknya, pemerintah dapat mengantisipasi isu dengan peraturan atau informasi yang  tegas sejak awal dan jauh-jauh hari karena tentunya hal ini berpengaruh besar terhadap kepercayaan publik terhadap pemerintah (publik trust) yang terkesan memiliki keputusan yang berubah-rubah mengakibatkan ketidakpastian informasi. Disisi yang lain, tentunya perhotelan dapat mengelola isu lebih baik ketika ada kepastian. Kekecewaan sektor pariwisata hingga masyarakat seharusnya dapat diantisipasi.

Optimisme menghadapi 2021 dari Agung Laksamana Ketua Umum Perhumas Indonesia menjadi angin segar bagi sektor kehumasan yang berkaitan sangat erat dengan sektor pariwisata. Agung Laksamana menyatakan bahawa pertumbuhan industri humas bagian dari sektor jasa dan pelayanan berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi.

Sehingga pelemahan ekonomi yang terjadi pada 2020 tentunya berdampak juga terhadap kehumasan. Proyeksi pertumbuhan 5% oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai pemulihan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua hingga ketiga 2021 tentunya menjadi angin segar bagi humas dan sektor pariwisata, sehingga kita harus melihat kedepannya lebih optimis!

Optimisme ini juga terasa dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Wishnutama Kusubandio yang mengatakan bahwa sektor ini akan mengalami rebound yang signifikan di tahun 2021 karena masyarakat sudah sangat jenuh dengan Work Form Home (WFH) dan ada keyakinan serta perkiraan Covid-19 berakhir pada awal tahun 2021. Semua orang ingin keluar, semua orang ingin menikmati kembali keindahan-keindahan yang ada. Dengan manajemen isu yang baik dan pengelolaan krisis yang tepat diharapkannya humas dan PR Hotel dapat mempersiapkan diri lebih baik lagi untuk menghadapi tantangan menarik di tahun 2021.  

Aisha Wai Yasmi

Baca Juga