Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Sutan Yudistira
Ilustrasi Cyber Ethics (istockphoto)

Indonesia merupakan salah satu negara dengan pengguna internet yang cukup banyak di dunia. Bila kita melihat dari data yang diungkapkan oleh Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad M. Ramly, tercatat bahwa jumlah pengguna internet pada tahun 2020 di Indonesia mencapai sekitar 175,5 juta jiwa dari total populasi sebanyak 268.583.016 penduduk atau sekitar 64% di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah ini meningkat sekitar 25.000.000 pengguna atau 17% dibandingkan pada tahun 2019.

Meningkatnya jumlah pengguna internet tentunya membuktikan bahwa fasilitas untuk mengakses jaringan internet di Indonesia sudah mulai lebih berkembang lagi dari tahun-tahun sebelumnya serta semakin banyak pula masyarakat yang mulai paham dengan dunia Internet.

Dengan adanya internet, para masyarakat tentunya semakin dimudahkan dalam berbagai hal seperti komunikasi serta mencari informasi. Dalam hal berkomunikasi, kini kita bisa lebih mudah untuk menghubungi keluarga jauh, mudah dalam berkomunikasi dalam masa sekolah maupun kuliah online dan semakin mudah juga dalam berdiskusi secara online dengan orang lain tanpa terkendala waktu dan tempat.

Lebih tepatnya bisa dikatakan bahwa “kini lebih fleksibel”. Begitu pula dalam hal mencari informasi. Apabila kita ingin mencari hal-hal atau informasi yang berkaitan tentang pendidikan, teknologi, tempat rekreasi, berita terkini, politik dan lain-lain, kita bisa mencarinya dengan sangat mudah dan dengan waktu yang singkat.

Internet memang membuat kita bisa bebas melakukan maupun mencari apapun yang kita inginkan. Namun, di dalam dunia internet tentu juga ada etikanya, tidak hanya bebas begitu saja. Etika di dalam dunia internet itulah yang disebut dengan istilah Cyber Ethics. Cyber Ethics merupakan aturan yang tidak tertulis, yang berisi tentang etika dan nilai-nilai di dalam dunia cyber atau internet.

Walaupun cyber ethics merupakan aturan yang tidak tertulis, namun harus diterapkan dan dipatuhi oleh siapapun yang menggunakan internet. Tujuannya apa? Agar kita mendapatkan manfaat positif dari internet. Apabila banyak orang yang tidak mematuhi cyber ethics, tentunya akan berdampak negatif bagi kita seperti terjadinya pertengkaran di dunia maya, kejahatan cyber, penipuan, termakan berita-berita bohong (hoax), dan hal-hal negatif lainnya yang merugikan kita sebagai pengguna internet.

Hal-hal negatif inilah yang masih banyak terjadi di Indonesia, terutama dalam hal politik. Tidak hanya banyak saja, namun telah seringkali terjadi. Padahal dalam hal berpolitik di dunia internet, tentu kita juga perlu untuk mempunyai etika yang baik atau biasa disebut political ethics. Political ethics ini yang terlihat masih sangat kurang di negara kita ini. Terbukti dengan masih banyaknya berita-berita hoax politik yang tersebar dimana-mana, lalu pertengkaran di sosial media yang berujung saling menjatuhkan, serta ujaran-ujaran kebencian maupun provokasi. Semua hal tersebut tentu membahayakan persatuan Indonesia.

Dimulai dari berita-berita hoax. Fenomena Hoax kini terlihat semakin merajalela di dunia maya bahkan di media sosial juga. Pembuat berita hoax pasti memiliki tujuan atau niat tertentu, bahkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi karena berita-berita hoax ini pasti akan cepat viral sehingga banyak masyarakat yang datang ke situs tersebut untuk membacanya. Karena banyak yang mengunjungi, maka situs tersebut akan menjadi popular. Berita hoax ini tentu akan membawa sebuah “kerancuan informasi”.

Hal ini tentu akan memicu keributan, keresahan dan bahkan perselisihan antar masyarakat. Masyarakat yang percaya dengan berita hoax tersebut akan beradu argument dengan masyarakat yang tidak mempercayainya. Tidak hanya adu argumen saja, namun seringkali berlanjut hingga ke pertengkaran yang saling menjatuhkan dan munculnya ujaran-ujaran kebencian serta provokasi. Pembuat hoax tidak akan mempedulikan hal itu karena yang dia pikirkan hanyalah keuntungan pribadi saja. Sedangkan orang-orang saling bertengkar sendiri.

Tidak hanya berita hoax saja, namun pertengkaran juga eringkali terjadi  karena adanya beda pendapat. Mungkin kita dapat melihatnya di akun-akun seperti Instagram, twitter, line maupun media sosial lainnya yang mana akun tersebut membahas tentang politik. Adanya oknum-oknum atau orang yang memanas-manasi membuat situasi di sosial media tersebut menjadi semakin ricuh. Kata-kata berupa caci maki, kata-kata kotor, hingga ujaran kebencian pun bermunculan. Padahal sebenarnya boleh saja kita saling beradu argumen, namun tentunya dengan cara yang baik pula. Oknum-oknum yang seperti itu yang seharusnya mendapatkan peringatan, atau bahkan hukuman karena menjadi aktor yang membuat situasi dan kondisi menjadi panas.

Undang-undang ITE mengenai Cyber Ethics sebenarnya sudah ada. Namun sepertinya hukum saja masih kurang cukup untuk mengantisipasi apabila kita juga tidak paham serta tidak peduli akan pentingnya cyber ethics itu sendiri. Segala bentuk pelanggaran cyber ethics pasti memberikan dampak yang buruk dan bisa sampai merugikan pihak manapun yang terlibat di dalamnya. Mungkin diperlukan juga hukum yang lebih tegas untuk mengantisipasi oknum-oknum penyebar hoax dan siapapun yang melanggar cyber ethics.

Jadi Cyber Ethics sendiri merupakan hal yang sangat penting dan harus dipatuhi oleh para pengguna internet. Tidak hanya pada dimensi political ethics saja, tetapi juga pada dimensi cyber ethics lainnya seperti cultural ethics, life ethics, community ethics, environmental ethics dan economic ethics.

Oleh: Sutan Alifdaffa Yudistira (Mahasiswa Prodi Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang).      

Sutan Yudistira

Baca Juga