Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Hayuning Ratri
Ilustrasi Siswa Mengerjakan Ujian Nasional (pixabay)

Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan menyebabkan dampak pada berbagai sektor kehidupan, tidak terkecuali pendidikan. Ujian Nasional yang biasa diterapkan setiap tahun sudah ditiadakan sejak tahun 2020 dan akan digantikan oleh Asesmen Nasional (AN) pada tahun 2021. Akan tetapi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memutuskan untuk memundurkan jadwal asesmen nasional hingga bulan September, artinya pada tahun ajaran ini tidak ada ujian yang diselenggarakan secara nasional.

Baru-baru ini, Mendikbud Nadiem Makarim menerbitkan Surat Edaran (SE) Mendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang Peniadaan Ujian Nasional (UN), Ujian Kesetaraan, dan Ujian Sekolah Dalam Masa Darurat Covid-19. Berdasarkan isi surat tersebut, maka kelulusan peserta didik tingkat akhir jenjang SD, SMP, dan SMA dilihat dari tiga ketentuan berikut ini:

  1. Menyelesaikan program pembelajaran di masa pandemi Covid-19 yang dibuktikan dengan rapor tiap semester.
  2. Memperoleh nilai sikap/perilaku minimal baik.
  3. Mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan (sekolah).

Lebih lanjut, ujian yang dapat dilaksanakan oleh sekolah mencakup empat bentuk antara lain:

  1. Portofolio berupa evaluasi atas nilai rapor, nilai sikap/perilaku, dan prestasi yang diperoleh sebelumnya (penghargaan, hasil perlombaan, dan sebagainya).
  2. Penugasan.
  3. Tes secara luring atau daring.
  4. Bentuk kegiatan penilaian yang ditetapkan oleh satuan pendidikan.

Kebijakan peniadaan Ujian Nasional dan Ujian Kesetaraan ini dianggap sebagai langkah terbaik mengingat penyebaran Covid-19 yang masih mengkhawatirkan. Kesehatan dan keselamatan adalah hal yang wajib diutamakan untuk saat ini. Dengan kebijakan tersebut, pihak sekolah menjadi lebih fleksibel dalam menentukan kelulusan, mengingat lulus atau tidaknya siswa dikembalikan pada pihak sekolah.

Di lain sisi, muncul persoalan baru dari kebijakan tersebut. Standar yang akan diukur untuk menentukan kelulusan masih belum jelas, sehingga dapat menimbulkan persoalan di kemudian hari. Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi menyatakan perlunya standar pencapaian hasil yang jelas beserta indikatornya.

Ia mengungkapkan kekhawatirannya jika kebijakan seperti ini dapat menyebabkan guru berpotensi dijadikan kambing hitam apabila mutu pendidikan memburuk. Jika standar ini tersedia, maka hal ini menjadi angin segar karena dapat digunakan sebagai pegangan bagi guru di satuan pendidikan dan daerah untuk meluluskan peserta didik.

Hayuning Ratri