Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Andhika Putra
Free Fire. (Garena)

Free Fire atau yang biasa kita dengar dengan kata EPEP atau FF, merupakan sebuah game online yang biasa dimainkan oleh anak-anak. Game ini dirilis pertama kali pada 2017. Kala itu, free fire sangat banyak. Bahkan hampir seluruh Indonesia memainkan game ini.

Game bertemakan battle royal ini sangat digemari oleh banyak orang terutama kalangan anak-anak karena sangat mudah didapatkan. Hanya bermodalkan sinyal WiFi yang kuat dan ponsel yang mendukung, game ini sudah siap dimainkan. Tidak perlu repot untuk membeli console tambahan seperti playstation ataupun xbox

Saya sebenarnya merupakan orang yang tidak terlalu tertarik dengan dunia mobile game, walaupun dulu pernah bermain permainan players unknown battleground atau PUBG. Namun, itu sudah beberapa tahun yang lalu dan belum seramai sekarang.

Seiring berjalannya waktu, game-game tersebut terus berkembang. Belakangan, game free fire ini menarik perhatian masyarakat Indonesia. Muncul sebuah fenomena dikalangan anak kecil atau “bocil” di mana fenomena tersebut menyangkut game free fire ini. Fenomena yang ramai tersebut biasa disebut dengan fenomena “bocil freestyle”.

Freestyle yang dimaksud adalah gerakan di mana kita berdiri menggunakan tangan (mirip gerakan handstand), namun kepala kita masih menjadi tumpuan tubuh. Gerakan tersebut dianggap keren oleh bocil-bocil sekarang karena gerakan sama dengan gerakan yang ada di game free fire. Pertanyaannya adalah, bagaimana sebuah game bertemakan battleground ini dapat mempengaruhi bocil zaman sekarang untuk melakukan hal serupa?

Salah satu cara untuk mendapatkan jawabannya adalah melihat lewat teori agenda setting yang dicetuskan oleh McCombs dan Shaw. Dalam teorinya, McCombs dan Shaw menyebutkan bahwa media massa memang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi bahkan membentuk pola pikir audience yang terkena terpaan informasinya.

Hal ini berarti terpaan dari game free fire ini memang meng-influence anak-anak kecil untuk melakukan gerakan freestyle karena banyak dari penggemar game ini merupakan anak kecil atau bocil.

McCombs dan Shaw menerangkan lebih lanjut bahwa media massa mempunyai kemampuan untuk membuat masyarakat menilai sesuatu yang penting berdasarkan apa yang disampaikan media, dengan kata lain "we judge as important what the media judge as important".

Dari sini, kita bisa paham mengapa gerakan freestyle dianggap oleh bocil sebagai gerakan yang keren. Mayoritas bocil yang melakukan gerakan freestyle pasti meniru teman-temannya yang lebih dahulu meniru gerakan tersebut dari game dan mereka posting di media sosial, sehingga gerakan tersebut akhirnya viral serta diikuti oleh bocil lainnya.

Dalam fenomena ini, menurut teori agenda setting, yang menjadi agenda setter ialah anak-anak yang pertama kali melakukan gerakan freestyle tersebut dan mengunggahnya di media sosial seperti Tiktok atau Instagram.

Siapa yang terpengaruh dengan unggahan tersebut? Yang terpengaruh tidak lain dan tidak bukan merupakan anak-anak sepantaran yang bermain game free fire. Mereka akhirnya ikut-ikutan melakukan gerakan tersebut. Padahal gerakan tersebut dapat dikategorikan sebagai gerakan yang cukup berbahaya. 

Gerakan freestyle yang harus bertumpu dengan kepala dan tangan tersebut harus dilakukan dengan cara yang benar. Salah sedikit saja dapat berbahaya dan mengakibatkan beberapa cedera, seperti cedera tulang leher, cedera di tangan, atau bahkan dapat menimpa orang lain.

Pada akhirnya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa gerakan freestyle yang dilakukan oleh bocil merupakan gerakan yang cukup berbahaya dilakukan, apalagi oleh anak-anak seumuran mereka, sehingga kita harus bisa memberitahu dengan cara yang benar agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Andhika Putra

Baca Juga