Scroll untuk membaca artikel
Farah Nabilla | Agus Siswanto
Achmad Soebardjo (sumber: ikpn.or.id)

Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, terjadi drama semalam menjelang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Salah satu pelakunya adalah Achmad Soebardjo. Tokoh tua yang berhasil mengurai Peristiwa Rengasdengklok dengan baik.

Pasca kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, perubahan di Kawasan Asia Tenggara terjadi begitu cepat. Demikian pula di Indonesia. Tuntutan golongan muda terhadap Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sangat kuat.

Alasan yang diusung golongan muda di bawah Chaerul Saleh dan Sukarni jelas. Mereka melalui radio BBC telah mendengar berita kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Berita ini diartikan dengan Indonesia telah bebas dari penguasaan siapa pun.

Berbekal dari situasi ini, mereka menghadap Soekarno-Hatta untuk segera mengambil langkah. Kesempatan ini dianggap sebagai momen terbaik untuk memerdekakan diri.

Menghadapi tuntutan ini, Soekarno-Hatta tetap teguh dengan pendiriannya. Kedua tokoh ini baru saja pulang dari Dalat, Vietnam. Di tempat itu, kedua tokoh tersebut dan Radjiman Wediodiningrat telah menyepakati tanggal kemerdekaan dengan Pemerintah Pendudukan Jepang.

Kesepakatan inilah yang dipegang Soekarno-Hatta. Selain itu kedua tokoh tua tersebut belum menerima pemberitahuan langsung dari Pemerintah Pendudukan Jepang tentang berita tersebut. Sehingga keduanya memilih menunggu pemberitahuan resmi dari Jepang.

Selain itu, untuk memutuskan tanggal proklamasi, bukan wewenang dua tokoh ini sepenuhnya. Seharusnya dilakukan melalui rapat PPKI yang saat itu sudah terbentuk.

Berbagai alasan yang disampaikan Soekarno-Hatta tidak memuaskan golongan muda. Karena golongan tua tetap ngotot dengan pendapatnya, golongan muda memutuskan ‘menculik’ dua tokoh tersebut untuk dibawa ke Rengasdengklok.

Peristiwa yang terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 jam 4 pagi inilah yang nantinya akan membawa Achmad Soebardjo sebagai negosiator yang ulung. Sebab karena kepandaiannya dalam menengahi pertikaian, kedua belah pihak mau mengendorkan urat lehernya.

Achmad Soebardjo sendiri pada 16 Agutus 1945 pagi hari sempat dibuat terkejut dengan ‘hilangnya’ Soekarno-Hatta dari Jakarta. Kedatangannya untuk mengajak kedua tokoh itu untuk melakukan rapat PPKI harus menemui ruang kosong.

Setelah melakukan investigasi dengan menggunakan kedekatannya pada semua pihak, dipastikan bahwa Soekarno-Hatta tengah diasingkan di Rengasdengklok. Berbekal informassi tersebut, Achmad Soebardjo meluncur ke lokasi pengasingan.

Achmad Soebardjo sendiri termasuk golongan tua, namun dalam pemikirannya tidak sekaku Soekarno-Hatta. Dengan kemampuan diplomasinya, dia berhasil meyakinkan kedua belah pihak. Pada golongan muda, dijanjikan bahwa proklamasi tetap dilaksanakan pada 17 Agustus 1945.

Sedangkan pada Soekarno-Hatta, Achmad Soebardjo mengajak keduanya untuk menghadap pimpinan Pemerintah Pendudukan Jepang di Jakarta. Sebagai orang yang dekat dengan Kaigun, Angkatan Laut Jepang, Achmad Soebardjo mempunyai banyak hubungan.

Akhirnya ketiga tokoh tersebut ke Jakarta untuk menemui Mayor Jendral Nishimura. Wakil Pemerintah Pendudukan Jepang di Jakarta. Tujuan kunjungan adalah minta izin untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Namun meski tidak secara tegas, Mayor Jendral Nishimura menolak rencana tersebut. Dengan alasan Pemerintah Pendudukan Jepang harus mempertahankan status quo di Indonesia sampai datang pasukan Sekutu, permintaan tersebut ditolak.

Bagi ketiga tokoh tersebut, penolakan itu tidak ditanggapi. Lagi-lagi melalui berbagai kontak di Pemerintah Pendudukan Jepang, Achmad Soebardjo mendekati Laksamana Maeda untuk meminjamkan rumahnya untuk penyusunan teks proklamasi.

Akhirnya setelah melalui serangkaian perdebatan, teks proklamasi pun terwujudkan. Atas usulan Sukarni, penanda tangan  teks tersebut adalah Soekarno-Hatta. Setelah segala persiapan cukup, pada pagi harinya jam 10 pagi WIB tanggal 17 Agustus 1945, teks proklamasi pun dibacakan.

Momen ini selanjutnya menjadi momen lahirnya Indonesia sebagai bangsa merdeka. Diakui atau tidak, campur tangan Achmad Soebardjo terlihat sekali dalam rangkaian peristiwa ini. Kepandaiannya berdiplomasi membuat semua pihak mau saling menerima.

Agus Siswanto