Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yayang Nanda Budiman
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra usai mendatangi kediaman Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Kertanegara, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]

Belakangan ini tengah ramai menjadi bahan perbincangan publik di media sosial usai Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa peristiwa kekerasan dan kerusuhan pada tahun 1998 tidak termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat

Hal ini disampaikan Yusril saat menjawab pertanyaan wartawan di Istana Negara, Jakarta, menjelang pelantikan menteri Kabinet Merah Putih, pada Senin (21/10/2024).

"Tidak (adanya pelanggaran HAM berat terkait tragedi 1998)," kata Yusril. Ia juga menambahkan bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Setelah pengumuman kabinet pada Minggu (20/10/2024), Yusril mengungkapkan bahwa ia masih menunggu arahan dari Presiden Prabowo Subianto mengenai penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. Ia berpendapat bahwa pemerintah sebaiknya fokus ke depan, karena kasus pelanggaran HAM masa lalu sulit untuk diungkap.

Menanggapi pernyataan Yusril, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menekankan bahwa pernyataan pejabat pemerintah tentang hak asasi manusia seharusnya akurat. 

Usman mengingatkan bahwa pemahaman tentang pelanggaran HAM berat harus sesuai dengan Pasal 104 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 dan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000.

Ia menyatakan bahwa pernyataan tersebut mengabaikan laporan resmi dari tim pencari fakta dan penyelidikan Komnas HAM yang menyimpulkan adanya pelanggaran HAM berat, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pelanggaran HAM berat mencakup lebih dari sekadar genosida dan pembersihan etnis. Dalam hukum internasional, terdapat empat kejahatan serius: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Statuta Roma.

Ia menambahkan bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM sudah disampaikan kepada Jaksa Agung, dan fakta-fakta ini tidak dapat dibantah kecuali oleh pengadilan yang adil.

Usman juga menilai bahwa pernyataan Yusril tidak hanya tidak akurat secara historis dan hukum, tetapi juga menunjukkan kurangnya empati terhadap korban.

Tragedi Mei 1998 meninggalkan luka mendalam bagi mereka yang kehilangan orang-orang terkasih akibat kekerasan, perkosaan, dan pembunuhan yang menargetkan kelompok etnis tertentu, khususnya komunitas Tionghoa.

Pernyataan Yusril di hari pertama kerjanya sebagai Menko dapat dilihat sebagai sinyal dari pemerintahan baru yang mengabaikan tanggung jawab negara dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Usman menegaskan bahwa kewenangan untuk menentukan apakah suatu peristiwa merupakan pelanggaran HAM berat tidak ada pada presiden atau menteri, melainkan pada pengadilan HAM, yang harus didasarkan pada rekomendasi Komnas HAM.

Pengertian pelanggaran HAM berat, menurut Pasal 104 Ayat (1) UU HAM, mencakup pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, dan diskriminasi sistematis.

Sementara itu, Pasal 7 UU No. 26/2000 menjelaskan bahwa pelanggaran HAM berat mencakup kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pelapor Khusus PBB untuk kebenaran, keadilan, dan reparasi juga menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk menyelidiki dan menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, sesuai dengan hukum internasional dan hak atas ganti rugi yang efektif dalam Pasal 2 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Menanggapi pernyataan Menko Yusril tersebut tampak bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Komnas HAM sebagaimana dikutip dari website resminya bahwa di Indonesia terdapat 17 kasus pelanggaran HAM berat yang tercatat, antara lain Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius (1982-1985), Talangsari (1989), Trisakti, Semanggi I dan II, Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa (1997-1998), Wasior (2001-2002), Wamena (2003), Pembunuhan Dukun Santet (1998), Simpang KAA (1999), Jambu Keupok (2003), Rumah Geudong (1989-1998), Timang Gajah (2000-2003), dan Kasus Paniai (2014). Semua peristiwa ini telah diselidiki oleh Komnas HAM.

Dari sekian banyak peristiwa yang telah diteliti, Semendawai selaku  Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM menyebutkan bahwa empat di antaranya—Timor-Timur, Tanjung Priok, Abepura, dan Paniai—sudah memiliki putusan pengadilan. Namun, hasil tersebut belum memberikan keadilan yang memadai bagi para korban.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Yayang Nanda Budiman