Scroll untuk membaca artikel
Hernawan
Aktivitas para penyintas di momen peringatan Hari Kusta Sedunia di Kampung Kusta, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Banten, Minggu (29/1/2023). [SuaraSerang/Wawan Kurniawan]

Kamriah (34 tahun) jijik dengan dirinya. Perempuan asal Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan itu menemukan luka di sekujur tubuhnya segera setelah ia menyelesaikan pengobatan Multi Drugs Therapy (MDT) di tahun 2010. MDT adalah pengobatan yang biasa diterima oleh pasien kusta selama satu tahun. Reaksi yang muncul pascapengobatan berbeda pada setiap orang.

Reaksi yang muncul pada Kamriah terjadi karena ia terlalu berlebihan memikirkan masa depan yang muram pascadidiagnosa kusta. Bagaimana tidak, Kamriah didiagnosa kusta hanya selang 1 bulan setelah ia melahirkan anak pertamanya. Ketakutan soal kemungkinan ia menulari anaknya dan bagaimana ia mesti mengurus anaknya agar tidak tertular benar-benar menghinggapinya.

Selama tujuh tahun Kamriah menjalani pengobatan dan melawan berbagai reaksi yang muncul pascapengobatan. Pengobatan MDT terakhir membawanya mengurung diri di rumah karena luka-luka yang menutupi hampir seluruh  tubuhnya. "Meski sebagian  tetangga tidak menjauh, tetapi saya terus merasa malu dan jijik pada diri sendiri," kata Kamriah saat diwawancara melalui video call, 30 November 2024 lalu.

Kamriah saat itu mengaku putus asa, rendah diri, dan merasa tidak akan bisa merawat anaknya sendiri. Setelah sembuh dari luka,  Kamriah juga masih mengalami reaksi parah yang membuat saraf tangannya melemah dan harus di-gips.

Pihak keluarga  menyarankan Kamriah pergi  ke RSUP Dr.  Tadjuddin Chalid di Makassar untuk dirawat. Di rumah sakit tersebut, Kamriah dirawat selama 1 bulan.  Setelah kondisi tangannya membaik dan gipsnya dilepas, Kamriah diperbolehkan pulang, tetapi tetap harus berobat jalan.

Di rumah, Kamriah tetap belum bisa tenang. Ia masih sulit menerima mengapa ia harus menjadi pasien kusta. Ia bahkan mencoba bunuh diri. Namun suaminya selalu setia menyemangatinya dan mengingatkannya bahwa ada anak yang masih membutuhkan ibunya. Hal ini menyadarkan Kamriah. Ia sadar bahwa alih-alih menyelesaikan masalah, bunuh diri justru menjadi masalah bagi  anak dan suaminya. Terlebih ia melihat kesabaran dan kegigihan suaminya yang selalu mengingatkan ia untuk minum obat teratur dan selalu ada di sisinya.

Kamriah pun mulai bangkit dari keterpurukannya. Ia mulai minum obat dengan teratur dan mencoba menerima diri bahwa dia orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK). Ucapan dokter yang memintanya tidak khawatir dan menegaskan bahwa anaknya tidak akan tertular membuat Kamriah menjadi jauh lebih tenang.

Kamriah juga mulai mengubah pola hidupnya menjadi lebih sehat, menjaga asupan makanan bergizi, serta menghindari stres berlebihan. Hal-hal tersebut menjadi bagian penting dari perjuangannya menghadapi kusta. Kamriah juga rajin berolahraga dan mengikuti pengobatan medis serta saran dokter secara teratur.

Setelah tujuh tahun menjalani perjalanan yang penuh liku, Kamriah akhirnya berhasil melewati masa reaksi pascapengobatan yang lama dan menyakitkan.

Tanpa Reaksi

Sedangkan Pitriana (20 tahun), mahasiswa asal Kabupaten Barru yang juga seorang OYPMK punya cerita yang berbeda dari Kamriah. Pitriana berhasil menjalani pengobatan tanpa mengalami reaksi. Ia menyadari pentingnya menjaga daya tahan tubuh sebagai upaya pencegahan dan secara disiplin menerapkan pola hidup sehat, mengonsumsi makanan bergizi, beristirahat cukup, serta rutin berolahraga. Pitriana juga menjaga kebersihan diri dan lingkungannya dengan teliti, yang menurutnya turut berperan dalam menjaga kesehatannya.

Pitriana menyadari pentingnya menjaga daya tahan tubuh sebagai bentuk pencegahan agar tidak mengalami reaksi. Ia menjalani pengobatan kusta selama enam bulan tanpa hambatan berkat pola hidup sehat yang diterapkannya. Kedisiplinan dalam mengonsumsi makanan bergizi, beristirahat cukup, serta menjaga kebersihan diri dan lingkungan telah menjadi rutinitas yang tak terpisahkan dari kesehariannya.

"Saya selalu percaya bahwa tubuh yang sehat akan membantu saya terhindar dari reaksi," kata Pitriana. Selain itu, ia juga memperhatikan kondisi psikologisnya agar tetap positif dan bebas dari stres, yang ia yakini sebagai kunci utama dalam menjaga kesehatannya. Meski dirinya telah bebas dari penyakit kusta, Pitriana berkomitmen untuk terus mempertahankan kebiasaan hidup sehat sebagai bentuk pencegahan terhadap risiko reaksi di masa depan.

Pitriana dan Kamriah mengakui bahwa  dukungan keluarga memainkan peran besar bagi OYPMK dalam menghadapi tantangan reaksi kusta. Di tengah isolasi mental dan fisik yang kerap dialami, dorongan dan semangat dari orang-orang terdekat mampu menjadi sumber kekuatan yang membantu mereka untuk terus berjuang.

"Semangat itu muncul ketika saya melihat anak dan suami yang selalu mendukung," kata Kamriah. "Saya bertekad untuk sembuh, untuk kembali menikmati kehidupan tanpa rasa takut terhadap reaksi,” ungkapnya. (Arpiah)