Bimo Aria Fundrika
Ilustrasi PT Gudang Garam. [Dok. Antara]

Gudang Garam, salah satu ikon industri rokok kretek Indonesia, kini kembali jadi sorotan publik. Bukan karena produknya, melainkan keputusan perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan pekerja. Kebijakan itu menjadi babak baru dalam perjalanan panjang perusahaan yang didirikan lebih dari enam dekade lalu oleh seorang perantau asal Tiongkok, Surya Wonowidjojo.

Perusahaan ini berdiri pada 26 Juni 1958 di Kediri, Jawa Timur. Pendiri Gudang Garam lahir dengan nama Tjoa Ing-Hwie pada 15 Agustus 1923. Ia datang ke Indonesia saat berusia tiga tahun bersama keluarganya dan pertama kali menetap di Sampang, Madura.

Sejak muda, Surya akrab dengan dunia rokok. Ia bahkan pernah bekerja di pabrik rokok Tjap 93 milik pamannya, Tjoa Kok Jiang, hingga dipercaya menjadi direktur. Namun, perselisihan internal membuatnya keluar pada 1956.

Dua tahun kemudian, dengan tekad dan pengalaman yang matang, Surya mendirikan usaha rokok sendiri. Bermula dari skala rumahan dengan hanya 50 karyawan, ia memproduksi rokok bermerek “Inghwie”.

Ilustrasi foto pabrik Gudang Garam Kediri, Jawa Timur (Foto: Beritajatim)

Tak lama, namanya berubah menjadi Perusahaan Rokok Tjap Gudang Garam, terinspirasi dari sebuah mimpi yang diyakini membawa keberuntungan.

Kerja keras Surya membuahkan hasil. Pada 1966, Gudang Garam telah menjelma menjadi produsen rokok kretek terbesar di Indonesia, mampu memproduksi hingga 50 juta batang per bulan. Kendati sempat terpukul akibat krisis politik pertengahan 1960-an, ia berhasil bangkit kembali. Tahun 1971, perusahaan ini resmi berbadan hukum sebagai PT. Sembilan belas tahun kemudian, Gudang Garam melantai di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya, mempertegas posisinya sebagai raksasa industri.

Produk Gudang Garam dikenal luas karena citra mereknya yang kuat. Kretek buatan perusahaan ini menjadi bagian dari budaya konsumsi masyarakat Indonesia. Hingga awal 2000-an, Gudang Garam mempekerjakan lebih dari 40 ribu buruh dengan enam pabrik besar di atas lahan 100 hektare. Kontribusi pajak dan cukainya pun mencapai ratusan miliar rupiah setiap tahun.

Namun, di tengah citra kejayaan itu, tantangan baru terus muncul. Industri rokok kini menghadapi tekanan ganda: regulasi yang makin ketat, perubahan perilaku konsumen, hingga persaingan dengan produk alternatif.

Akibatnya, Gudang Garam, yang kini dipimpin generasi kedua, Susilo Wonowidjojo, mengumumkan langkah efisiensi melalui PHK massal.

Keputusan ini menimbulkan ironi. Perusahaan yang lahir dari semangat membangun usaha kecil menjadi raksasa industri, kini harus mengurangi tenaga kerja yang dulu menjadi tulang punggung pertumbuhannya.

Surya Wonowidjojo sendiri telah berpulang pada 28 Agustus 1985 di Auckland, Selandia Baru.

Namun warisan usahanya tetap berdiri sebagai simbol perjalanan bisnis lokal yang mampu mendunia. Kini, nasib ribuan pekerja Gudang Garam sedang menanti arah baru perusahaan di tengah guncangan industri rokok yang tak lagi sama seperti masa kejayaan pendirinya.