Sekar Anindyah Lamase | Mira Fitdyati
Tangkap layar penjelasan Ega Prasutia salah satu anggota Basarnas (Instagram/egaprasutiaa)
Mira Fitdyati

Tim Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) memberikan penjelasan mengenai alasan evakuasi korban runtuhnya bangunan Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, belum menggunakan crane maupun alat berat. Publik sempat menilai proses evakuasi terkesan lambat karena masih dilakukan secara manual.

Melalui unggahan video di akun Instagram pribadinya pada Selasa (30/9/2025), anggota Basarnas Ega Prasutia menjelaskan bahwa kondisi reruntuhan yang tidak stabil membuat penggunaan alat berat berpotensi menimbulkan bahaya.

Mengapa Tidak Gunakan Alat Berat?

Ega langsung menanggapi rasa penasaran publik, mempertanyakan mengapa alat berat seperti crane tidak digunakan padahal seharusnya bisa mempercepat pekerjaan. Ia menyadari banyak orang bertanya-tanya mengapa tidak menggunakan alat berat saat proses evakuasi berlangsung.

“Sebelum kita membahas kenapa sih enggak pakai crane? Kita harus tahu dulu ada beberapa jenis reruntuhan, di antaranya ada lean-to, pancake, v-shape, dan cantilever. Nah, bangunan runtuh yang ada di Pesantren Al Khoziny, pola runtuhannya yaitu pancake,” jelas Ega.

Ia menerangkan, pada pola runtuhan pancake, material satu menimpa material lain sehingga kestabilannya sangat rendah.

Jadi bangunannya enggak stabil nih. Udah runtuh, runtuhannya itu enggak stabil. Jadi dibutuhkan shoring atau penopang untuk menstabilkan material-material bangunan itu, sebelum dilakukan evakuasi,” ujarnya.

Menurut Ega, jika material langsung dipindahkan dengan alat berat, dikhawatirkan akan memicu runtuhan susulan yang memperburuk kondisi.

Jika dilakukan pemindahan material dikhawatirkan akan memicu reruntuhan susulan yang memperburuk kondisi korban atau bisa membuat korban tersebut yang harusnya selamat jadinya tidak selamat karena tertimpa reruntuhan bangunan,” ungkapnya.

Golden Time dalam Operasi SAR

Operasi pencarian dan pertolongan dilakukan terus menerus dengan sistem rolling. Hal ini karena petugas mengejar masa krusial yang disebut golden time, saat peluang korban untuk bertahan hidup masih terbuka.

Evakuasi ini dilakukan dengan alat-alat yang khusus, dengan penuh pertimbangan baik untuk keselamatan korban maupun keselamatan petugas di lapangan yang sedang melakukan evakuasi,” kata Ega.

Melansir laman Halodoc, golden time atau golden hour adalah istilah medis untuk menggambarkan periode kritis, biasanya satu jam pertama (60 menit), setelah seseorang mengalami cedera serius atau serangan jantung. Pada masa ini, penanganan cepat sangat penting untuk meningkatkan peluang hidup pasien.

Konsep golden hour pertama kali diperkenalkan oleh Dr. R. Adams Cowley pada tahun 1975. Ia menekankan bahwa semakin cepat pasien trauma mendapat perawatan, semakin besar kemungkinan mereka untuk bertahan hidup dan pulih.

Dalam kasus runtuhnya bangunan Pesantren Al Khoziny, Tim SAR Surabaya menetapkan golden time selama 72 jam, terhitung sejak Senin (29/9/2025) hingga Kamis (2/10/2025).

Selama periode ini, crane dan alat berat tidak digunakan agar tidak memicu reruntuhan baru yang berpotensi membahayakan korban maupun petugas.

Ega menegaskan bahwa setiap langkah dalam operasi evakuasi diputuskan dengan penuh pertimbangan demi keselamatan bersama. Ia juga mengajak masyarakat untuk turut mendoakan kelancaran proses penyelamatan.

Mari kita doakan semoga korban dapat segera dievakuasi dan petugas yang melaksanakan evakuasi di sana diberikan keselamatan dan kemudahan tanpa kekurangan apa pun,” pungkas Ega.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS