Agatha Vidya Nariswari | Thedora Telaubun
Poster Marsinah dan Soeharto pada Aksi Kamisan di Jakarta 8 Mei 2025 (Amnesty International Indonesia)
Thedora Telaubun

Amnesty International Indonesia menolak pencalonan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional yang diusulkan pemerintah melalui Kementerian Sosial. Penolakan itu disampaikan pada Oktober 2025 melalui siaran pers resmi organisasi tersaebut di Jakarta. 

Amnesty International menilai langkah pemberian gelar itu berpotensi mengabaikan tanggung jawab negara atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi selama masa pemerintahan Soeharto, serta melukai semangat reformasi yang lahir sejak 1998.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa usulan pemberian gelar kepada Soeharto tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan. 

“Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto memimpin dengan otoriter melalui rezim Orde Baru yang mengekang kebebasan berekspresi, membungkam oposisi, dan menormalisasi praktik pelanggaran HAM secara sistematis,” tegas Usman, dilansir dari Suara.com. 

“Pemerintah harus mengeluarkan Soeharto dari daftar nama-nama yang diusulkan untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional. Soeharto tidak layak berada di daftar itu, apalagi diberi gelar pahlawan. Hentikan upaya pemutarbalikkan sejarah ini,” tandasnya.

Dalam siaran pers, organisasi tersebut merinci sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi selama rezim Orde Baru, antara lain pembunuhan massal 1965-1966, penembakan misterius (Petrus) pada 1980-an, tragedi Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, serta berbagai kasus kekerasan di Aceh, Timor Timur, dan Papua. 

Hingga kini, para korban dan keluarga mereka belum memperoleh kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Amnesty menilai bahwa pemberian gelar justru akan “menghapus ingatan kolektif atas penderitaan korban” dan melemahkan upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Sementara itu, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyampaikan pandangan berbeda. Ia menilai tidak ada hambatan politik maupun hukum bagi Soeharto untuk memperoleh gelar pahlawan nasional. Bamsoet menjelaskan bahwa nama Soeharto telah melalui kajian Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP). 

Ia juga menyebut pencabutan nama Soeharto dari Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 sebagai titik balik dalam upaya rekonsiliasi sejarah nasional.

Menurut Bamsoet, selama kepemimpinannya, Soeharto berjasa dalam swasembada pangan, pembangunan infrastruktur, serta stabilitas ekonomi nasional. 

Namun bagi Amnesty, catatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa Orde Baru tidak dapat diabaikan dalam penentuan gelar kehormatan negara.

Perdebatan ini memperlihatkan bahwa gelar pahlawan nasional bukan sekadar bentuk penghargaan, melainkan juga refleksi tentang cara bangsa menilai masa lalunya. 

Di tengah perbedaan pandangan antara penghargaan atas jasa dan tuntutan atas keadilan, masyarakat diingatkan bahwa setiap penghormatan yang diberikan negara selalu membawa tanggung jawab moral dan sejarah.