Sekar Anindyah Lamase | Thedora Telaubun
Presiden Prabowo Subianto (Tim Media Presiden Prabowo)
Thedora Telaubun

Usulan Presiden Prabowo Subianto agar bahasa Portugis diajarkan di sekolah-sekolah memunculkan perdebatan tentang arah kebijakan pendidikan bahasa asing nasional. 

Wacana ini, yang disampaikan Prabowo dalam salah satu agenda kenegaraan, dinilai sebagai langkah memperluas diplomatik dengan negara-negara berbahasa Portugis seperti Brazil, Portugal, dan Timor Leste. 

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, menyambut baik gagasan tersebut namun memberikan catatan penting. Ia menegaskan perlunya kajian mendalam sebelum diterapkan di sekolah. 

“Prinsipnya, kami mendukung kebijakan pendidikan yang memperkuat daya saing global pelajar Indonesia, selama dilakukan dengan perencanaan matang dan tetap menjaga prioritas bahasa Indonesia serta bahasa daerah sebagai identitas bangsa,” tegasnya, dikutip dari Suara.com pada Jumat (24/10/2025). 

Meski ide memperkenalkan bahasa Portugis dianggap sebagai visioner dalam konteks diplomasi, sejumlah pihak menilai bahasa Mandarin lebih relevan secara praktis.

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) melalui koordinator Nasionalnya, Satriwan Salim, menyatakan bahwa pengajaran bahasa asing seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan global dan dunia kerja. 

Menurut Satriwan, bahasa Mandarin jauh lebih bermanfaat karena Tiongkok memiliki pengaruh besar di bidang ekonomi dan menjadi mitra dagang utama Indonesia. 

Dalam konteks globalisasi dan ekonomi, pandangan P2G ini memiliki dasar yang kuat. Bahasa Mandarin telah menjadi salah satu bahasa paling banyak digunakan di dunia bisnis, teknologi, dan industri manufaktur. 

Ribuan perusahaan Tiongkok kini beroperasi di Indonesia, sehingga kemampuan berbahasa Mandarin membuka peluang kerja dan jejaring profesional yang luas. 

Sebaliknya, bahasa Portugis memiliki relevansi yang kecil di bidang ekonomi, meskipun  berpotensi memperkuat soft diplomacy dengan negara-negara sahabat seperti Timor Leste. Namun, manfaatnya akan lebih terasa di level diplomasi dan kebudayaan internasional, bukan dalam kegiatan ekonomi sehari-hari. 

Dari sisi kurikulum, kedua usulan menghadapi tantangan yang sama: beban kurikulum siswa yang sudah padat. Jika penambahan bahasa asing tidak dibarengi dengan persiapan yang matang, hal ini justru akan membebani kegiatan belajar-mengajar. 

Dengan demikian, wacana pengajaran bahasa Portugis membuka ruang diskusi penting tentang arah strategis pendidikan bahasa asing di Indonesia. Apakah negara ingin memperkuat sisi diplomatiknya di kancah global atau fokus pada kesiapan tenaga kerja di pasar internasional?

Dalam konteks ini, bahasa Portugis relevan untuk diplomasi, sementara bahasa Mandarin unggul untuk kebutuhan ekonomi dan karier. Keduanya sama-sama bernilai, namun pada akhirnya bergantung pada prioritas nasional. 

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS