M. Reza Sulaiman | Budi Prathama
Ilustrasi Media Sosial. (Pixabay/@Pixelkult)
Budi Prathama

Belakangan ini, tayangan di Trans7 menuai banya kritik tajam karena dianggap telah merendahkan pesantren dan para Kiai. Tayangan tersebut dianggap tidak hanya merusak cerminan pendidikan, tetapi juga telah merusak tatanan etika yang sudah lama menjadi dasar kehidupan pesantren. Kritik ini membuka sebuah pertanyaan besar.

Lantas, bagaimana media populer, dengan segala tuntutan hiburan dan sensasi, bisa mengomunikasikan kedalaman tradisi yang penuh makna seperti yang ada di pesantren?

Dalam dunia yang semakin terobsesi dengan kecepatan dan hiburan instan, pesantren berdiri sebagai sebuah lembaga yang penuh dengan nilai-nilai luhur. Etika pesantren, yang bukan hanya sekadar aturan moral tetapi sistem nilai yang dalam, sering kali sulit dijelaskan dalam bahasa media yang lebih sederhana.

Etika yang dimaksud di sini bukanlah aturan perilaku yang umum dipahami, tetapi sebuah panduan hidup yang mendalam, yang mencakup adab, penghormatan terhadap guru, serta tanggung jawab moral dan spiritual. Ketika pesantren dilecehkan, itu bukan hanya serangan terhadap sebuah lembaga pendidikan, melainkan terhadap sistem nilai yang melandasi seluruh cara hidup para santri dan Kiai.

Antara Moralitas dan Etika: Fondasi Hidup Pesantren

Sering kali orang menganggap moral dan etika sebagai dua hal yang setara, padahal keduanya memiliki perbedaan mendalam. Moral lebih terkait dengan aturan yang mengatur perilaku baik atau buruk dalam masyarakat, sedangkan etika lebih berkaitan dengan prinsip dasar yang menjadi landasan dari perilaku tersebut. Etika adalah filsafat kehidupan, yang menjelaskan bagaimana seseorang dapat menjalani kehidupan yang benar, baik, dan penuh makna.

Di pesantren, etika ini membentuk dasar dari seluruh kehidupan. Ia hadir dalam setiap gerakan santri, dari cara mereka menghormati guru, berperilaku sehari-hari, hingga menjalani kehidupan spiritual yang tidak bisa dipahami dengan logika material. Nilai-nilai ini, yang berkembang dari pengalaman spiritual dan hubungan antara guru dan murid, sering kali tidak bisa dijelaskan dengan bahasa rasional atau teori akademik biasa.

Namun, media seperti Trans7, yang berorientasi pada hiburan dan sensasi, sering kali kesulitan menangkap kedalaman makna yang terkandung dalam tradisi pesantren.

Barokah: Makna Spiritual yang Tak Terjangkau oleh Logika

Salah satu contoh paling mencolok dari kedalaman tradisi pesantren yang sulit dijelaskan adalah konsep barokah. Dalam Islam, barokah biasanya dimaknai sebagai bertambahnya kebaikan dalam kehidupan, baik itu rezeki, waktu, ilmu, atau amal yang memberi manfaat berkelanjutan.

Namun, di pesantren, barokah tidak hanya sebatas hal-hal tersebut. Ia lebih dari sekadar kebaikan yang meningkat, melainkan sebuah energi spiritual yang mengalir melalui hubungan antara Kiai dan santri.

Dalam tradisi pesantren, barokah bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan dengan logika sebab-akibat yang biasa kita pahami. Barokah adalah dimensi transenden yang terwujud dalam hubungan batin antara guru dan murid. Para santri, dalam pengabdian mereka, merasakan barokah ini dalam setiap langkah mereka, dari mengikuti ajaran Kiai hingga melaksanakan ritual-ritual keagamaan dengan penuh keikhlasan. Ini adalah sesuatu yang hanya bisa dirasakan, tidak bisa dijelaskan sepenuhnya dalam bahasa rasional.

Kebudayaan Populer vs Kebijaksanaan Pesantren

Namun, media seperti Trans7 yang lebih mengutamakan hiburan daripada pendalaman pemahaman, sulit untuk menangkap makna yang terkandung dalam tradisi pesantren. Tayangan-tayangan yang dirancang untuk menarik perhatian dan mempertahankan rating, sering kali menyederhanakan atau bahkan mereduksi kompleksitas tradisi pesantren menjadi sekadar tontonan semata. Pesantren, dengan seluruh kedalaman spiritual dan intelektualnya, menjadi tersisih dalam dunia yang lebih memuja hiburan instan.

Jika kita merujuk pada teori budaya dari Theodor Adorno tentang high culture dan low culture, pesantren dapat dianggap sebagai high culture, sebuah tradisi yang mempertahankan nilai-nilai luhur, kebijaksanaan, dan refleksi mendalam terhadap kehidupan.

Di sisi lain, media seperti Trans7 lebih berorientasi pada low culture, yang mudah dikonsumsi tetapi miskin kedalaman reflektif. Ketika nilai-nilai luhur pesantren dipaparkan dalam format hiburan yang dangkal, kedalaman tersebut hilang, dan kita hanya melihat representasi permukaan yang jauh dari esensi asli.

Dampak Distorsi: Ketika Media Merusak Makna

Ketika dunia pesantren yang kaya akan simbol, pengalaman spiritual, dan nilai etika disajikan dalam kerangka hiburan, dampaknya bisa sangat merugikan. Bukan hanya membuat masyarakat tidak memahami pesantren dengan benar, tetapi juga memunculkan kesalahpahaman yang berpotensi merusak citra dan makna sejati dari tradisi ini.

Media yang dangkal dapat mengaburkan perbedaan antara kebijaksanaan yang mendalam dan sekadar hiburan yang konsumtif, sehingga kita semakin kehilangan kemampuan untuk menghargai kearifan yang telah teruji oleh waktu.

Kesimpulan: Menjaga Keutuhan Tradisi dalam Dunia Hiburan

Dunia media modern memang seringkali terperangkap dalam logika sensasi dan hiburan. Namun, untuk benar-benar memahami kedalaman tradisi pesantren, kita perlu lebih dari sekadar tampilan permukaan. Kita membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam, yang tidak hanya mengandalkan rasionalitas tetapi juga mengapresiasi dimensi spiritual yang terkandung dalam setiap laku kehidupan di pesantren.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga agar tradisi pesantren tetap utuh, bukan hanya dalam wujudnya yang tampak, tetapi dalam nilai-nilai luhur yang melandasi seluruh kehidupan di dalamnya.