Menjadi perempuan di zaman modern itu seperti punya smartphone canggih, tapi sinyalnya tetap Edge. Dari luar terlihat maju, tapi realitas sosial masih sering ngelag. Di brosur peradaban, perempuan digambarkan punya kesempatan luas: bisa sekolah setinggi mungkin, bisa kerja di mana saja, bisa memimpin kalau mau.
Tapi begitu perempuan benar-benar mencoba membuka pintu kesempatan itu, muncullah suara-suara masyarakat yang seakan diproduksi massal: “Jangan terlalu pintar,” “Jangan terlalu ambisius,” “Jangan terlalu mandiri.” Persis seperti iklan yang menjanjikan banyak fitur, tapi syarat dan ketentuannya diam-diam membatasi semuanya.
Akar dari segala keriuhan ini tentu saja norma gender yang diwariskan oleh sejarah panjang patriarki—norma yang sayangnya masih dianggap suci oleh sebagian orang, padahal umurnya sudah lebih tua dari kabel telepon tembaga.
Norma ini membagi peran dengan sangat rapi: perempuan ditempatkan di ruang domestik, laki-laki direstui tampil di panggung publik. Dan karena sudah lama dipraktikkan, banyak orang menganggap pembagian ini bukan lagi pilihan, tapi takdir semesta. Maka ketika ada perempuan yang mencoba menembus batas itu, reaksinya sering berlebihan, seperti melihat seseorang berani makan martabak manis pakai sambal.
Perempuan yang ingin lanjut kuliah lebih tinggi, misalnya, sering diberi motivasi unik: “Nanti kalau terlalu pintar, laki-laki malah takut.” Yang mengejar karier dituduh mengabaikan rumah, seolah multitasking hanya berlaku kalau sedang disuruh buat minum teh sambil momong anak.
Bahkan mahasiswi yang rajin mengikuti organisasi bisa dicap “terlalu sibuk” atau “terlalu aktif,” padahal kalau laki-laki yang aktif, langsung dielu-elukan sebagai “calon pemimpin masa depan.” Standar gandanya kentara sekali, bisa kelihatan dari Saturnus.
Yang lebih kocak—kalau mau dianggap lucu—adalah komentar-komentar halus yang dibungkus sebagai nasihat orang tua dan tetangga. Kalimat seperti “Jangan capek-capek, nanti susah dapat jodoh,” atau “Perempuan itu jangan terlalu sukses, nanti cowok minder,” sering diucapkan dengan nada lembut seakan mereka peduli.
Padahal kalau dipikir-pikir, itu sebenarnya bentuk kontrol sosial yang halus, seperti sugar coating untuk pil pahit yang tidak ada gunanya selain membuat perempuan meragukan dirinya sendiri.
Di satu sisi, katanya perempuan harus pintar, tapi tidak boleh lebih pintar dari laki-laki. Perempuan harus sukses, tapi jangan sampai kesuksesannya terlihat jelas. Singkatnya: boleh maju, tapi jangan terlalu.
Saat ada perempuan yang benar-benar memberanikan diri keluar dari kotak ini, reaksinya lebih dramatis lagi. Perempuan yang jadi pemimpin sering dijadikan sasaran kritik, dianggap merebut peran laki-laki. Seolah jabatan itu adalah warisan nenek moyang yang hanya boleh diambil oleh pemilik kumis.
Mahasiswi yang aktif di organisasi dianggap buang-buang waktu karena “nggak penting buat perempuan.” Orang-orang yang memberikan komentar macam itu biasanya juga tidak punya prestasi apa-apa selain rajin menilai hidup orang lain.
Padahal, ambisi perempuan bukanlah ancaman negara. Tidak ada catatan sejarah yang mengatakan bahwa peradaban runtuh karena perempuan kebanyakan belajar atau terlalu mandiri. Ambisi itu justru wujud seseorang yang ingin bertumbuh, belajar, dan memberi kontribusi.
Tapi sayangnya, sebagian masyarakat lebih takut melihat perempuan sukses daripada menghadapi masalah nyata yang sebenarnya lebih mendesak.
Yang perempuan butuhkan bukan izin masyarakat, melainkan ruang aman untuk berkembang. Ruang untuk mencoba, gagal, bangkit lagi, dan sukses tanpa harus dihantui pertanyaan seputar jodoh, kodrat, atau komentar-komentar yang lebih mirip tugas akhir mata kuliah “Kontrol Sosial 101.”
Selama masyarakat masih memelihara ketakutan bahwa perempuan sukses itu ancaman, maka perubahan akan jalan di tempat. Namun begitu perempuan berani melangkahi batas-batas tersebut, pelan-pelan lahirlah tatanan sosial yang lebih adil, yang tidak hanya hidup di seminar dan poster Hari Kartini.
Baca Juga
-
Saat Generasi Z Lebih Kenal Algoritma daripada Sila-sila Pancasila
-
Ketika Pendidikan Kehilangan Hatinya: Sebuah Refleksi Kritis
-
Toleransi Rasa Settingan: Drama Murahan dari Pejabat yang Kehabisan Akal
-
Lingkaran Setan Upah Minimum: Tertinggal dari Tetangga, Tergerus Inflasi
-
Ancaman Hoaks dan Krisis Literasi Digital di Kalangan Pelajar Indonesia
Artikel Terkait
Kolom
-
Suara Pesisir yang Padam: Hak Perempuan Nelayan yang Masih Terabaikan
-
Mencari yang Dicintai di Antara Lumpur dan Air Mata
-
Cyberbullying Bisa Lebih Kejam daripada Bullying Biasa, Mengapa?
-
Learned Helplessness: Saat Korban Bullying Sulit Melawan, Stop Menghakimi!
-
Sering Tak Dianggap, Ini Dampak Bullying Bagi Bystander
Terkini
-
Review Film Wasiat Warisan: Komedi Keluarga dengan Visual Danau Toba
-
Ogah Pusing, Max Verstappen Anggap Gelar Juara Dunia Tidak Terlalu Penting
-
Aliando Tegaskan Series Pernikahan Dini Gen Z Bukan Glorifikasi Nikah Muda
-
Cara Mudah dan Efektif Mengembalikan Laptop ke Pengaturan Awal
-
Ma Dong Seok, Lisa BLACKPINK, dan Lee Jin Uk Bersatu di Film Baru Netflix!