Hayuning Ratri Hapsari | Budi Prathama
Ilustrasi toleransi. (Pixabay.com/@phangpanung)
Budi Prathama

Di negeri +62, toleransi itu sering diperlakukan seperti kue ulang tahun, dipamerkan meriah, difoto dari lima sudut, lalu setelah itu tidak pernah dimakan. Toleransi bukan lagi nilai, bukan lagi prinsip, tetapi sudah menjelma jadi properti syuting demi pencitraan murahan.

Pejabat kita rasanya semakin mandek ide sampai-sampai hal paling suci pun dijadikan konten demi menyelamatkan citra yang bocor seperti genteng rumah tua.

Kalau dulu pejabat berebut narasi pembangunan, inovasi, dan visi negara maju, sekarang mereka berebut pose paling dramatis tentang kerukunan lintas iman.

Bukan karena mereka cinta damai, tapi karena algoritma suka yang wholesome-wholesome. Dan di dalam budaya politik yang makin teaterikal, toleransi pun berubah menjadi semacam gimmick, layaknya adegan sinetron ketika tokoh utama pura-pura koma untuk membuat penonton bersimpati.

Cium Tangan Pendeta: Episode Baru dari Sinetron Pejabat Mencari Panggung

Ambil contoh aksi viral Nasaruddin Umar, yang tiba-tiba mencium tangan seorang pendeta Kristen. Aksi itu mungkin diniatkan sebagai pesan toleransi, tapi yang terjadi justru publik mengira sedang menonton parodi politik.

Pendetanya santai, biasa saja, mungkin dalam hati bergumam, “Lho kok mendadak begini? Saya ketinggalan briefing apa?” Sementara pejabatnya tampil bak aktor utama yang baru saja memenangkan penghargaan Festival Film Pencitraan Nasional.

Kalau toleransi punya rating, aksi itu tidak masuk kategori A, B, atau C. Langsung D minus, bahkan mungkin E, karena terlalu kentara kalau itu adalah “aksi yang tidak ada yang minta, tapi tetap dipaksa untuk viral.”

Yang paling ironis, publik tidak lagi terpukau. Mereka justru bertanya: “Pak, Anda ini mempromosikan kerukunan, atau sedang audisi buat main di sinetron Ramadan?

Rakyat Sudah Kebal, Pak-Vaksinnya Bernama Kekecewaan Kolektif

Masalahnya sederhana: rakyat Indonesia ini sudah fully booster dalam mendeteksi ketidaktulusan pejabat. Mereka jadi ahli membaca gesture politik karena terlalu sering dikecewakan.

Setiap kali melihat pejabat mendadak toleran, mendadak merakyat, mendadak memeluk minoritas, otomatis radar sinisme aktif.

Survei LSI sudah menegaskan: kepercayaan publik itu lebih rendah dari sinyal WiFi di hutan lindung. Janji-janji politik yang tidak ditepati, korupsi yang merajalela, dan nepotisme yang tak ada habisnya membuat rakyat akhirnya memiliki “akal sehat kolektif” yang tajam sekali dalam menilai motif.

Jadi ketika ada pejabat mendadak tampil penuh cinta dan kedamaian, publik tidak melihat itu sebagai inspirasi. Publik melihat itu sebagai strategi menaikkan elektabilitas. Atau minimal, usaha menyelamatkan karir politik yang mulai karatan.

Korupsi dan Nepotisme: Dua Rasa Utama dari Basi-nya Pertunjukan Toleransi

Sulit percaya toleransi akting dari pejabat yang rekam jejaknya penuh bumbu skandal. Indonesia masih bertahan di papan tengah Indeks Persepsi Korupsi, mirip murid sekolah yang prestasinya stagnan tapi tetap maksa ikut lomba matematika. Nepotisme pun makin vulgar: anak, menantu, keponakan, Pokoknya semua family pack bisa dapat jabatan.

Di tengah realitas ini, setiap aksi toleransi dari pejabat terasa seperti odol dicampur sambal, tidak nyambung dan bikin mual.

Publik tahu ada “utang kredibilitas” yang begitu besar, dan tidak bisa dibayar hanya dengan cium tangan pendeta, selfie dengan tokoh agama, atau ucapan manis bertema kerukunan.

Seperti kata Frankfurt, banyak tindakan pejabat itu bukan bohong, tapi bullshit, bukan peduli benar atau salah, yang penting tampil meyakinkan.

Toleransi yang Tulus Tidak Butuh Lighting Studio

Kabar baiknya: rakyat Indonesia bukan anti toleransi. Mereka cuma muak dengan versi setting-an yang terasa seperti iklan politik berkedok aksi sosial.

Toleransi tidak butuh sutradara, tidak butuh kameramen, dan tidak butuh pose dramatis.

Yang dibutuhkan yakni: kebijakan yang adil untuk semua, hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, anggaran dialokasikan tanpa lobi gelap, dialog antaragama yang tulus, bukan yang dipoles demi trending, dan tentu saja, pemberantasan korupsi bukan hanya di pidato, tapi di kerja nyata.

Selama itu semua tidak dilakukan, setiap aksi simbolis akan terus dianggap sekadar:
Sandiwara. Basa-basi. Setting-an. Dan kadang, maaf, memalukan.

Karena pada akhirnya, yang basi itu bukan toleransinya. Yang basi itu aktor-aktor yang terus memainkan drama murahan ini.