Sekar Anindyah Lamase | Thedora Telaubun
Yakob Sayuri (Instagram/yassa_sayuri22)
Thedora Telaubun

Sorakan di stadion yang seharusnya menjadi bentuk dukungan justru mengarah pada tindakan rasis terhadap Yakob Sayuri

Insiden tersebut terjadi saat winger Malut United itu menghadapi Persita pada Minggu (23/11/2025) di Stadion Indomilk Arena, Kabupaten Tangerang.

Namanya kembali disebut, bukan karena performa, melainkan karena perlakuan diskriminatif yang ia terima saat bertanding.

Peristiwa tersebut memicu reaksi keras dari mantan pemain Timnas Indonesia, Oktovianus Maniani. 

“Saya, Okto Maniani, mengecam semua bentuk tindakan rasisme dan berharap kepada federasi, PSSI, bertindak tegas,” kata Okto, dikutip dari Suara.com pada Rabu (10/12/2025). 

Rasisme kerap muncul dalam bentuk yang sama, seperti teriakan dari tribun, hinaan bernuansa identitas, lalu mereda tanpa tindak lanjut. 

Pola ini membuat pelaku merasa aman, sementara korban dipaksa untuk tetap bermain seolah tidak terjadi apa-apa.

Fenomena ini sejalan dengan temuan Jamie Cleland dan Ellis Cashmore dalam jurnal Fans, Racism and British Football in the Twenty-First Century: The Existence of a Colour-Blind Ideology

Melalui penelitian terhadap ribuan suporter di Inggris, mereka menemukan bahwa banyak pihak menganggap rasisme sudah tidak lagi menjadi masalah serius di sepak bola

Pandangan colour-blind inilah yang justru berbahaya karena ketika masalah dianggap selesai, tindakan rasis yang masih terjadi menjadi mudah diabaikan.

Dalam konteks Indonesia, anggapan serupa juga kerap muncul. Rasisme sering diredam dengan alasan tidak perlu membesarkan sebuah masalah. 

Seperti yang ditunjukkan penelitian Cleland dan Cashmore, minimnya pengakuan dan sanksi tegas justru membuat diskriminasi terus menemukan ruangnya. 

Kasus Yakob Sayuri menjadi contoh nyata bagaimana ideologi semacam itu bekerja di lapangan hijau. Yakob adalah pesepak bola profesional yang kontribusinya seharusnya diukur dari kerja dan prestasi. 

“Sebagai pemain nasional, Yakob Sayuri sudah memberikan segala-galanya untuk Indonesia. PSSI bukan sekadar menyumbarkan kampanye. Yakob adalah salah satu korban di antara banyak korban rasisme di sepak bola Indonesia. Tolong diperhatikan,” kata Okto.

Ketika identitas menjadi bahan serangan, sepak bola kehilangan esensinya sebagai ruang yang adil. 

Seruan Okto kepada PSSI bukan sekadar pembelaan pada satu pemain, melainkan tuntutan agar federasi menunjukkan keberpihakan yang jelas.

Jika rasisme masih dibiarkan tanpa konsekuensi nyata, sepak bola Indonesia akan terus mengulang cerita lama. Lapangan hijau akan tetap jauh dari kata aman dan setara.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS