M. Reza Sulaiman | Aldhie Alzanuar
Ilustrasi ekosistem mangrove yang pulih mencegah abrasi (Unsplash/Dileesh Kumar)
Aldhie Alzanuar

Di pesisir utara Sikka, Nusa Tenggara Timur, matahari seolah tak pernah lelah membakar tanah yang kering kerontang. Di sanalah laut pernah menjadi monster yang menakutkan bagi warga Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda.

Ingatan tentang gempa dan tsunami dahsyat tahun 1992 masih menyisakan trauma yang mendalam. Peristiwa itu meninggalkan luka yang tak terlihat, namun terasa perih setiap kali ombak pasang menghantam bibir pantai di malam hari. Suara gemuruh ombak bukan lagi nyanyian alam yang menenangkan, melainkan peringatan akan bahaya yang sewaktu-waktu bisa kembali merenggut kedamaian.

Namun, di tengah ketakutan yang mencekam dan kepasrahan banyak orang, seorang lelaki tua memilih jalan sunyi. Ia tidak lari mencari tempat aman di ketinggian. Ia justru menanamkan kakinya kuat-kuat di lumpur pesisir.

Victor Emanuel Rai, atau yang lebih akrab disapa Baba Akong, bukanlah seorang pejabat, politisi, atau akademisi dengan gelar mentereng. Ia hanyalah seorang warga biasa. Kulitnya legam terbakar matahari, tangannya kasar oleh kerja keras. Namun, hatinya tergerak hebat melihat kerusakan parah di lingkungan tempat tinggalnya.

Ketika ancaman abrasi perlahan menggerus tanah desa dan air laut mulai merayap masuk ke permukiman warga, Baba Akong memutuskan untuk melakukan sesuatu. Sesuatu yang kala itu dianggap gila dan sia-sia oleh banyak orang.

Ia mulai menanam mangrove, satu demi satu, dengan tangannya sendiri yang mulai keriput dimakan usia.

Hari-harinya dihabiskan dalam kesunyian lumpur pantai. Ia berjalan tertatih, terkadang lumpur menghisap kakinya hingga sebatas lutut. Di bawah terik matahari yang menyengat, ia membawa bibit mangrove yang dikumpulkannya sendiri, lalu membenamkannya ke dalam tanah basah dengan penuh harap.

Tidak ada tepuk tangan yang menyambut usahanya kala itu. Tidak ada sorotan kamera wartawan atau dukungan dana. Sebaliknya, ia justru sering dianggap kurang waras. Tetangga mencibirnya karena menghabiskan waktu dan sisa tenaga tuanya untuk menanam pohon di tempat yang dianggap mustahil untuk tumbuh.

Tantangan alam pun tak kalah kejam. Tak jarang bibit yang baru saja ia tanam di pagi hari dirusak oleh ternak yang lewat atau mati diterjang ombak pasang di malam harinya. Rasanya tentu menyakitkan melihat jerih payah hilang dalam sekejap. Namun, Baba Akong tak pernah berhenti. Ia menghapus keringatnya, menelan kecewanya, dan terus kembali ke pantai esok harinya dengan bibit baru.

Perjuangan sunyi itu berlangsung selama puluhan tahun. Baba Akong percaya bahwa alam tidak membutuhkan kata-kata manis atau janji politik, melainkan bukti nyata kasih sayang manusia.

Waktu akhirnya menjawab doa dan keringatnya. Perlahan tapi pasti, bibit-bibit kecil itu mulai tumbuh membesar. Akar-akarnya yang kokoh mulai menjulur, mencengkeram bumi dengan kuat, seolah menahan daratan agar tidak diculik oleh lautan. Hutan mangrove yang ia bangun dengan tetesan keringat dan air mata kini telah menjelma menjadi benteng hijau raksasa. Benteng hidup yang melindungi desa dari ancaman abrasi yang tak kenal ampun.

Kini, pesisir Magepanda yang dulunya gersang, panas, dan menakutkan telah berubah wajah menjadi lorong hijau yang menyejukkan.

Ekosistem yang dulu mati kini hidup kembali. Burung-burung pesisir kembali bersarang dan berkicau riang. Ikan, kepiting, dan udang menemukan rumah baru di sela-sela akar bakau yang rapat. Angin laut yang berembus ke permukiman tak lagi membawa debu asin yang merusak tanaman pertanian warga, melainkan membawa kesejukan oksigen yang murni.

Apa yang dulunya dicemooh sebagai kegilaan, kini diakui sebagai keajaiban nyata yang menyelamatkan kehidupan banyak orang. Baba Akong telah membuktikan sebuah kebenaran sederhana: bahwa satu orang yang peduli sudah cukup untuk membuat perubahan besar, asalkan ia memiliki keteguhan hati seluas samudra.

Kisah Baba Akong adalah pengingat sekaligus tamparan lembut bagi kita semua, bahwa menjadi pahlawan lingkungan tidak harus menunggu jabatan, seragam, atau pengakuan dunia. Ia mengajarkan kita bahwa mencintai bumi adalah tentang konsistensi merawat kehidupan, meskipun harus berjalan sendirian dalam sepi dan cemoohan.

Di bawah rimbunnya hutan bakau yang ia tanam, tersimpan pesan abadi untuk generasi mendatang, bahwa setiap batang pohon adalah doa yang dipanjatkan untuk masa depan anak cucu. Sebuah warisan hijau yang jauh lebih berharga daripada emas permata.

Baca Juga