Di ujung utara Pulau Bintan, tepatnya di Desa Pengudang, laut menyimpan sebuah rahasia yang selama ini luput dari pandangan mata awam. Ketika banyak orang sibuk membicarakan keindahan hutan bakau yang menjulang gagah di pesisir, ada pahlawan iklim lain yang bekerja dalam sunyi di dasar air.
Namun, beberapa tahun lalu keindahan itu menyimpan kesedihan mendalam karena di dasar air yang tak terlihat mata, sebuah kehidupan perlahan mati. Warga desa mulai kehilangan jejak sang legenda laut mereka, Dugong. Hilangnya mamalia laut raksasa yang ramah dan sering dikaitkan dengan mitos putri duyung itu bukan sekadar soal hewan yang pergi. Hal tersebut menjadi tanda bahaya bahwa laut sedang sakit parah.
Kerusakan akibat baling-baling kapal yang tidak terkontrol dan endapan lumpur dari daratan telah menghancurkan rumah mereka. Tanpa disadari, rusaknya ekosistem ini membawa dampak buruk karena ikan karang kehilangan tempat bertelur, sehingga laut menjadi sepi seolah kehilangan jiwanya.
Di tengah situasi yang menyedihkan itu, muncullah seorang pemuda biasa yang memilih untuk tidak tinggal diam menunggu bantuan turun dari langit.
Namanya Iwan Winarto, yang bukan seorang ilmuwan bergelar tinggi maupun pejabat pemerintah. Ia hanyalah seorang anak pesisir yang tumbuh besar dengan aroma garam yang lekat, namun hatinya terasa perih melihat hutan di bawah laut desanya hancur berantakan. Ia menyadari bahwa menunggu orang lain bergerak adalah kesia-siaan belaka.
Ketika orang lain sibuk membicarakan hal besar di daratan, Iwan justru memutuskan melakukan hal yang dianggap aneh. Ia memilih merawat padang lamun atau hamparan rumput laut yang selama ini sering dianggap sampah bahkan tanaman pengganggu bagi para perenang.
Padahal, fakta sains berbicara sebaliknya karena padang lamun mampu menyerap karbon hingga 35 kali lebih cepat daripada hutan hujan tropis. Mereka adalah penyedot racun udara yang paling efisien, namun paling sering diabaikan.
Perjuangan Sunyi yang Menumbuhkan Harapan
Mulailah ia bergerak dengan langkah sunyi, merangkul para pemuda desa dan tetua adat untuk kembali menengok ke laut. Tantangannya sungguh berat, bahkan lebih sulit daripada menanam pohon di darat. Meyakinkan orang untuk menjaga sesuatu yang tidak terlihat dari permukaan air membutuhkan kesabaran yang luar biasa.
Hari demi hari dihabiskan untuk meyakinkan orang lain. Mulai dari warung kopi hingga pertemuan warga, ia berusaha menjelaskan betapa pentingnya rumput laut. Sayangnya, tidak ada tepuk tangan yang menyambutnya kala itu karena Iwan justru sering dipandang sebelah mata. Banyak yang mencibir dan merasa usahanya sia-sia karena dianggap kurang kerjaan mengurusi rumput di air.
Meskipun begitu, Iwan tidak menyerah. Bersama Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) yang ia bentuk, ia tetap menetapkan zona perlindungan. Mereka memasang tanda batas agar kapal nelayan tidak melintas sembarangan di area dangkal.
Ia menanamkan pemahaman baru bahwa menjaga lamun berarti menjaga "dapur" ikan, yang pada akhirnya akan menjaga periuk nasi para nelayan itu sendiri. Perjuangan sunyi itu berjalan cukup lama karena Iwan yakin bahwa alam tidak butuh janji manis, tetapi butuh tindakan nyata.
Jawaban Alam untuk Ketulusan
Akhirnya, waktu menjawab ketulusan Iwan. Perlahan tapi pasti, jenis lamun Enhalus acoroides yang berdaun panjang mulai tumbuh lebat kembali di dasar pasir putih. Hutan bawah air itu kembali rimbun dan melambai, seolah menari menyambut kehidupan yang kembali.
Kabar bahagia itu akhirnya datang ketika para nelayan mulai melihat kembali Dugong yang sedang asyik makan di perairan dangkal Pengudang. Raksasa lembut itu akhirnya pulang ke rumah karena makanan dan tempat tinggalnya sudah tersedia lagi. Kembalinya Dugong bukan sekadar fenomena alam, melainkan simbol kemenangan kecil melawan krisis kepunahan.
Kini Desa Pengudang tidak hanya dikenal karena keindahan batuan granitnya, tetapi juga sebagai tempat perlindungan (santuari) bagi padang lamun.
Iwan Winarto telah mengajarkan kita hal sederhana namun mendalam: bahwa pahlawan lingkungan tidak harus orang terkenal. Terkadang, pahlawan sejati adalah mereka yang mau menunduk merawat hal kecil yang tak terlihat demi masa depan bumi yang lebih baik.
Artikel Terkait
-
Pesisir dan Keberlanjutan yang Tumbuh dari Relasi
-
Belajar dari Pesisir Sidoarjo: Nyadran, Kupang, dan Kesadaran Merawat Laut
-
Monumen Tsunami Pancer, Pengingat Asa Dikala Bencana Melanda
-
Laut yang Menyadarkan Batas Keserakahan Manusia
-
Kehidupan Pesisir dan Belajar Mengalah dari Laut: Tak Semuanya Harus Menang
News
-
Akui Kesalahan, Ridwan Kamil Minta Maaf dan Doakan Atalia Praratya
-
4 Micellar Water Madecassoside Berikan Efek Calming pada Kulit Kemerahan
-
PD IPARI Karanganyar Gelar Aksi Bersih-Bersih Rumah Ibadah Lintas Agama Berbasis Ekoteologi
-
Dari Ide ke Aksi, Tourvex 2025 Season 2 Jadi Panggung Kreativitas Generasi Muda
-
5 Mix and Match Outfit Basic ala Jane Ramida untuk Tampil Modis Kekinian
Terkini
-
Mashle, DaDaDan, dan Haikyuu!! Umumkan Proyek Baru di 2027, Apa Saja?
-
Masyarakat Adat Serawai dan Perlawanan Sunyi di Pesisir Seluma
-
Ahmad Dhani dan Irwan Mussry Kembali Bertemu, Netizen Singgung Polemik Lama
-
Pesisir dan Keberlanjutan yang Tumbuh dari Relasi
-
Belajar dari Pesisir Sidoarjo: Nyadran, Kupang, dan Kesadaran Merawat Laut