Masifnya bencana hidrometeorologi dan kerusakan ekologi di berbagai wilayah Sumatera menegaskan satu hal, krisis iklim bukan lagi ancaman masa depan, melainkan realitas yang sedang berlangsung dan terus memakan korban.
Banjir bandang, longsor, hingga lumpuhnya infrastruktur yang merenggut ratusan nyawa tidak bisa semata dipahami sebagai dampak perubahan iklim global.
Tragedi ini juga merupakan akibat langsung dari buruknya tata kelola lingkungan, eksploitasi ruang tanpa kendali, serta kebijakan negara yang gagal menempatkan keselamatan warga dan keberlanjutan ekosistem sebagai prioritas.
Di kawasan perkotaan, krisis iklim hadir dalam bentuk yang berbeda namun sama merusaknya. Gelombang panas ekstrem, kemarau basah, musim yang kian tak menentu, banjir rutin, hingga rob menunjukkan rapuhnya sistem kota dalam menghadapi krisis.
Dampaknya terasa nyata: tekanan kesehatan meningkat, ekonomi rumah tangga terguncang, dan kecemasan, terutama di kalangan orang muda, terus membesar. Ironisnya, kelompok yang paling terdampak ini justru paling jarang dilibatkan secara bermakna dalam perumusan kebijakan iklim.
Dalam konteks inilah Kawula17 menghadirkan Festival Rumah Kaca sebagai ruang edukasi sekaligus intervensi politik kultural.
Festival ini dirancang bukan sekadar sebagai forum diskusi, tetapi sebagai ruang refleksi kritis bagi orang muda untuk memahami krisis iklim dalam kehidupan sehari-hari dan membangun keberanian mengawal kebijakan publik.
Didukung 24 kolaborator, 24 mitra komunitas, dan 15 mitra media, Festival Rumah Kaca akan berlangsung pada Sabtu, 13 Desember 2025 di M Bloc Live House, dengan target kehadiran lebih dari 700 orang muda dari Jabodetabek.
Urgensi festival ini semakin menguat pasca COP30 di Belém, Brasil, yang kembali menunjukkan lemahnya terobosan global dalam menekan emisi. Pelibatan orang muda masih bersifat simbolik, hadir sebagai representasi, bukan aktor dengan daya tawar—padahal merekalah yang akan menanggung dampak jangka panjang dari keputusan tersebut.
Terinspirasi dari novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, festival ini mengadopsi filosofi “ruang tembus pandang” untuk membongkar ketertutupan kebijakan iklim.
“Orang muda harus tahu implikasi kebijakan iklim dan berani mengawalnya. Festival ini mendorong mereka tidak hanya memahami, tetapi juga mengambil peran,” ujar Maria Angelica, Program Manager Kawula17.
Data National Benchmark Survey Kawula17 semester I 2025 mencatat paradoks serius: 59 persen orang muda tertarik pada isu lingkungan, namun 50 persen merasa takut untuk terlibat.
Festival Rumah Kaca hadir untuk menjembatani kesenjangan ini melalui pendekatan inklusif, mulai dari diskusi kebijakan pasca-COP30, jejaring komunitas, hingga medium seni, film, dan musik.
Melalui Festival Rumah Kaca, Kawula17 menegaskan bahwa krisis iklim bukan hanya soal lingkungan, tetapi soal keadilan, demokrasi, dan siapa yang suaranya benar-benar diperhitungkan.
Baca Juga
-
Review Drakor Shin's Project: Ada Ahli Negosiator di Balik Kedai Ayam Goreng
-
Tak Lagi Masuk Halaman Sekolah, Begini Aturan Baru Mobil Pengantar MBG
-
Gugat Cerai Ridwan Kamil, Curhat Lama Atalia Praratya: Berat Jadi Istrinya
-
Kembali Dibintangi Idris Elba, Serial Hijack Season 2 Tayang Januari 2026
-
Teknologi Quantum Computing: Masa Depan Komputasi yang Lebih Cepat
Artikel Terkait
News
-
Tak Lagi Masuk Halaman Sekolah, Begini Aturan Baru Mobil Pengantar MBG
-
Teknologi Quantum Computing: Masa Depan Komputasi yang Lebih Cepat
-
Cerita Ruangkan: Oase di Tengah Hustle Culture Bagi Para Pekerja Kreatif
-
Komunitas Aksaraya Semesta Bangkitkan Cinta Buku Fisik di Kalangan Gen Z
-
Stereotip Mekanik Kotor: Masih Relevankah di Era Modern?
Terkini
-
Review Drakor Shin's Project: Ada Ahli Negosiator di Balik Kedai Ayam Goreng
-
Gugat Cerai Ridwan Kamil, Curhat Lama Atalia Praratya: Berat Jadi Istrinya
-
Kembali Dibintangi Idris Elba, Serial Hijack Season 2 Tayang Januari 2026
-
Aksaraya Semesta: Ruang Aman Membaca Bebas dan Bertumbuh Bersama
-
Ulasan Novel Cantik Itu Luka: Ketika Kecantikan Menjadi Senjata dan Kutukan