Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Sulistyawan Dibyosuwarno
Ilustrasi KKN

Kuliah Kerja Nyata merupakan bentuk pengabdian Civitas Akademik Kampus terhadap masyarakat pedesaan. Namu seiring dengan perkembangan sosiologis di masyarakat perlu adanya strategi baru dalam melakukan pendampingan serta pembangunan masyarakat.

Pakar Sosiologi UGM Dr. Arie Sujito mengungkapkan, mahasiswa KKN yang terjun ke masyarakat desa sebagai wakil dari Perguruan Tinggi harus merumuskan strategi baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pedesaan saat ini. Mahasiswa tak boleh lagi hanya meniru apa yang telah dilakukan oleh senior-seniornya karena kondisi sosio-ekonomi dan politik masyarakat desa saat ini tidak lagi sama dengan masa lalu.

"Kalau KKN sekedar masang plang, sosialisasi, presensi dan sebagainya, itu kuno. Kalau dulu KKN itu cuma hafalan. Rutinitas. Padahal desa sudah berubah pesat. Jadi saat ini tidak boleh lagi seperti itu." ujar Arie yang hadir sebagai salah satu narasumber Webinar “Kampus Merdeka di Desa“ yang berlangsung di Auditorium UNY Sabtu (27/6/2020 ).

Dijelaskan Arie, seiring dengan perkembangan teknologi sudah banyak desa yang punya website. Karena itu, sebelum terjun ke desa, sebaiknya mahasiswa melakukan survei terlebih dulu melalui website yang dimiliki desa, sehingga saat Menyusun program dapat sesuai dengan kondisi desa saat ini.

“Masyarakat perlu belajar dengan masyarakat desa, tetapi pengetahuan yang dimiliki kampus itu juga harus ditransformasikan ke masyarakat desa,“ ujar Arie.

Arie menambahkan, pembangunan masyarakat pedesaan tidak harus selalu dilakukan dengan pendekatan akademik, namun juga perlu dilaksanakan secara praksis. Apalagi sekarang ini sudah banyak desa yang punya sistem informasi desa, sehingga dalam melakukan pembangunan tak perlu lagi dilaksanakan dengan metode lama.

Salah satu hal yang belum banyak dilakukan oleh para pemangku kebijakan dalam melakukan pembangunan desa adalah memanfaatkan aset desa.

“Aset-aset desa itu masih banyak. Dulu kita dorong agar dana desa diarahkan kesitu. Kalau tahun awal untuk infrastuktur, harus difahami. Sebab ini bukan hanya mengatur desa-desa di Jawa tetapi juga luar Jawa. Kini desa perlu ditemani. Bukan hanya sebagai objek tetapi juga sebagai subyek,“ tandas Arie.

Dalam perannya sebagai Lembaga pendamping, menurut Arie, Perguruan Tinggi perlu lebih peka dalam menangkap persoalan yang ada di masyarakat. Pihaknya mencontohkan, saat terjadi pembagian BLT terjadi kontroversi tentang data penerima BLT.  Dengan kemampuan akademis dan teknologi yang dimiliki , selayaknya Perguruan Tinggi mampu memberikan solusi atas persoalan yang terjadi.

“Persoalan kisruhnya data itu sudah terjadi sejak dulu. Kalau ternyata desa sulit membuat data desa, kenapa Perguruan Tinggi tidak membuatkannya?,“ ujar Ari.

Sulistyawan Dibyosuwarno