Tradisi pantang tanah merupakan salah satu tradisi masyarakat minang, khususnya di daerah Pasaman, Sumatera Barat. Pantang tanah adalah pantangan menginjak tanah yang berlaku bagi anak keturunan raja sejak anak tersebut lahir hingga usia 11 atau 13 bulan. Tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan tradisi, adat dan budaya menjadi salah satu alasan mengapa tradisi pantang tanah masih diberlakukan hingga saat ini.
Menurut sejarah, pantang tanah berasal dari kerajaan Pagaruyuang yang dibawa ke daerah Lubuak Layang oleh seorang anak raja pada masa itu. Para pemuka adat atau yang disebut dengan datuak meminta seorang raja untuk dibawa ke Lubuak Layang sebagai seorang pemimpin.
BACA JUGA: Ini Peran dan Fungsi Pecalang, Polisi Adat Bali yang Dihormati Masyarakat
Raja terpaksa mengikhlaskan anaknya untuk dibawa dengan syarat anak tersebut tidak boleh menyentuh tanah dan harus dibawa dengan tandu. Sejak saat itu, tradisi pantang tanah diberlakukan di Nagari Lubuak Layang yang kemudian juga berlaku bagi keturunan-keturunan raja yang tinggal di Nagari Tanjung Betung, Nagari Lansek Kodok, Nagari Koto Rajo, dan beberapa daerah lainnya.
Setelah anak keturunan raja berusia 11 bulan hingga 13 bulan, akan diadakan tradisi turun tanah atau botatah. Tradisi ini merupakan acara melepaskan anak dari pantang tanah. Pelaksanaan turun tanah dipandu oleh seorang tukang jojak yang biasanya dilakukan pada pagi hari di rumah anak tersebut. Tradisi ini dihadiri oleh keluarga, pemuka adat dan masyarakat setempat.
Sebelum dilaksanakannya tradisi turun tanah, orangtua dari anak harus menyiapkan beberapa perlengkapan dalam acara. Sehari sebelum acara, tangan dan kaki anak tersebut harus di inai terlebih dahulu menggunakan daun inai yang ditumbuk sendiri dan dibiarkan semalaman. Perlengkapan lainnya yaitu tanah hitam, karih atau keris, emas dan perak, beras kuning, beras putih, bunga tujuh rupa, betiah, dan empu kunyit.
BACA JUGA: Takjub! Megahnya Masjid Agung Al-Falah Jambi, Dijuluki Masjid 1000 Tiang
Apabila anak tanpa sengaja menyentuh tanah sebelum usia 11 bulan dan belum dilaksanakannya tardisi turun tanah, anak akan mengalami demam, sakit perut, atau muntah-muntah. Namun, apabila pantang tanah sengaja dilanggar risikonya sangatlah fatal seperti lumpuh, bisu dan beberapa penyakit lainnya.
Hal ini dipercayai oleh masyarakat bukan tanpa sebab, melainkan banyaknya bukti-bukti yang sudah terjadi di masyarakat sehingga menumbuhkan kepercayaan dan menjaga tradisi ini hingga sekarang.
Artikel Terkait
-
Jokowi Sebut Arahan Tak Buka Puasa Bersama Tidak Berlaku untuk Masyarakat
-
MAKI Pasang Badan untuk Kejati Bali, Usut Tuntas Dugaan Korupsi SPI Unud
-
Viral Patung Bunda Maria di Kulon Progo Ditutup Terpal, Ini Kata Sri Sultan HB X
-
Ketua LMA Papua Lenis Kogoya: Saya Nomor 1 Dukung Prabowo 100 Persen sebagai Capres
-
Lembaga Masyarakat Adat Papua Turun Tangan Bantu Bebaskan Pilot Susi Air Disandera OPM
Rona
-
GEF SGP Gandeng Ghent University dalam Program Ketahanan Pangan dan Ekologi
-
Kisah Mama Siti: Perempuan Adat Papua yang Menjaga Tradisi Lewat Pala dan Membawanya ke Dunia
-
Pariwisata Hijau: Ekonomi Sirkular untuk Masa Depan Bumi
-
Emansipasi Tanpa Harus Menyerupai Laki-Laki
-
Apakah Hari Kartini Menjadi Tameng Emansipasi oleh Kaum Wanita?
Terkini
-
Review Lagu Wide Awake: Ajakan Bertahan Saat Dunia Terasa Sedang Runtuh
-
Kisah Anak Pengungsi dari Suriah dalam Novel The Boys at the Back of The Class
-
Manhwa I Became A Tyrant's Chambermaid: Lika-Liku Komedi Bareng Putra Mahkota
-
Taylor Swift Utarakan Beratnya Hubungan Toxic Melalui Lagu Cruel Summer
-
Hwang Jung Eum Ditinggal Banyak Brand, Imbas Jadi Pelaku Penggelapan Dana untuk Kripto