Ada satu hal yang selalu konsisten dari manusia, yaitu kita senang merayakan sesuatu, meskipun tak benar-benar kita rawat. Hari Valentine dirayakan dengan cokelat dan cinta, tapi perceraian tetap meningkat. Hari Lingkungan dipenuhi unggahan daun hijau, tapi plastik tetap mengalir ke laut. Dan kini, 22 Juni, Hari Hutan Hujan Sedunia—dirayakan dengan penuh semangat, meski gergaji mesin tetap bekerja lembur di Amazon.
Dirintis oleh Rainforest Partnership pada 2017, Hari Hutan Hujan Sedunia hadir sebagai suara global untuk menyelamatkan paru-paru bumi. Slogan, kampanye, dan tagar #WorldRainforestDay berkumandang di media sosial. Tapi mari kita jujur sejenak: apakah dunia benar-benar berhenti sejenak untuk mendengarkan suara dedaunan yang makin sunyi?
Hutan hujan bukan sekadar pemandangan eksotis untuk wallpaper laptop. Ia penghasil 20% oksigen dunia, pengendali iklim, dan rumah bagi setengah spesies flora-fauna planet ini. Sayangnya, hutan tidak punya humas sehebat selebritas. Ketika satu artis potong rambut, trending; ketika ribuan hektar hutan ditebang, senyap. Ironis, bukan?
Kini saatnya kita menyigi kenyataan ini, bukan cuma merenung dan merenung, tapi menggugat dan mengusulkan: apa kabar peradaban, jika paru-parunya pelan-pelan kita bakar?
Deforestasi: Ironi Peradaban yang Menggergaji Masa Depan Sendiri
Kita hidup dalam zaman di mana manusia bisa membangun pencakar langit dalam setahun, tapi tak mampu membiarkan sebatang pohon tumbuh selama puluhan tahun. Hutan hujan tropis kini bukan hanya menyusut, tapi nyaris menghilang seperti moralitas di musim kampanye.
Data dari Nath et al. (2024) menunjukkan bahwa deforestasi mengubah hutan tropis dari penyerap karbon menjadi sumber emisi. Logika sederhananya begini: kita menebang penyerap karbon, lalu mengeluh karena dunia makin panas. Ini seperti melepas AC lalu mengeluh kenapa ruangan jadi pengap.
Lapola et al. (2023) menegaskan bahwa degradasi hutan Amazon menghasilkan emisi karbon tahunan yang bahkan bisa melampaui emisi dari deforestasi itu sendiri. Jadi bukan hanya menebang pohonnya, tapi kita juga membiarkan sisa-sisanya membusuk jadi asap. Luar biasa, bukan?
Lebih buruknya lagi, dampaknya tak mengenal batas negara. Penelitian oleh Zhu et al. (2023) membuktikan bahwa efek pemanasan bisa dirasakan hingga 100 km dari area yang ditebang. Bayangkan, hutan ditebang di Brasil, panasnya bisa terasa sampai ke negara tetangga. Kalau panas itu bisa dikonversi jadi rasa bersalah, mungkin dunia sudah lebih dingin.
Sayangnya, yang terjadi adalah kita menebang pohon untuk membuka lahan sawit, lalu mengutuk perubahan iklim saat banjir bandang datang. Dan yang paling menggelikan? Kita mengadakan seminar bertema “Green Future” di hotel yang dulunya kawasan hutan.
Dari Gergaji ke Gadget: Romantisasi Alam ala Generasi Scroll
Generasi sekarang sangat pandai menunjukkan kepedulian. Cukup dengan mengganti foto profil jadi pohon atau membubuhkan #SaveTheEarth, mereka merasa sudah menyelamatkan dunia. Dunia digital memang menciptakan ilusi aksi: banyak bicara, minim bertindak.
Hutan hujan sering kali direduksi jadi latar foto traveling atau objek wisata eksotis. Influencer berdiri anggun di tengah rimba, berpose dengan daun tropis sambil menulis caption: “back to nature,” padahal baru saja naik helikopter ke lokasi.
Tapi mari kita tidak sepenuhnya sinis. Kampanye digital punya potensi, asal tidak berhenti di layar. Jika digarap serius, tagar bisa jadi peluru kesadaran. Lembaga pendidikan dan komunitas lingkungan telah memanfaatkannya untuk mendorong diskusi publik dan aksi nyata, mulai dari penanaman pohon hingga pelatihan pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Namun, perlu diingat: menyelamatkan hutan bukan tugas algoritma. Dibutuhkan kerja kolaboratif dan politik kehendak. Sebab, selama kapitalisme menganggap pohon lebih berharga dalam bentuk meja, kita hanya akan melihat hutan dalam museum dan Google Images.
Politik Hutan: Ketika Paru-Paru Dunia Diperjualbelikan di Meja Rapat
Isu hutan hujan bukan sekadar soal lingkungan. Ia adalah isu politik, ekonomi, dan ketimpangan struktural. Di banyak negara tropis, termasuk Indonesia dan Brasil, hutan sering menjadi medan perebutan kepentingan antara korporasi, negara, dan masyarakat adat.
Ketika keputusan deforestasi dibuat di ruang ber-AC dengan jas dan dasi, dampaknya dirasakan oleh petani kecil dan satwa liar yang kehilangan rumah. Hutan ditebang demi sawit, tambang, atau proyek “pengembangan”—yang entah mengembangkan siapa.
Li et al. (2025) menunjukkan bahwa deforestasi menyebabkan musim kering yang lebih panjang dan panas, memperparah kekeringan. Tapi anehnya, pejabat lebih sering menyalahkan hujan yang tak turun, daripada mengakui bahwa hutan telah ditebang atas nama “pembangunan.”
Hutan bukan milik negara saja, apalagi korporasi. Ia milik generasi mendatang, dan milik spesies lain yang bahkan tak punya suara dalam pemilu. Maka perlu ada kebijakan yang menempatkan kelestarian hutan sebagai prioritas, bukan basa-basi.
Satu usulan: bagaimana kalau setiap izin tambang wajib menyertakan penanaman ulang yang setara dan audit publik tahunan? Atau mungkin lebih radikal: kenapa tidak pajaki udara segar seperti halnya BBM, agar setidaknya hutan punya nilai yang diakui negara?
Masa Depan Hijau: Dari Aksi Komunal ke Inovasi Global
Meskipun suram, masih ada harapan. Dunia tak sepenuhnya tuli. Di berbagai belahan bumi, komunitas lokal, NGO, dan bahkan perusahaan mulai berinvestasi dalam solusi restoratif.
Proyek berbasis masyarakat seperti agroforestri atau pengelolaan hutan adat terbukti lebih berkelanjutan daripada pendekatan top-down. Masyarakat adat, yang selama ini dianggap "terbelakang", justru punya metode konservasi yang telah teruji selama ratusan tahun.
Teknologi pun bisa jadi sekutu. Dari pemantauan satelit, blockchain untuk jejak kayu legal, hingga bioengineering untuk reboisasi cepat—semua adalah senjata baru melawan deforestasi. Tapi teknologi hanyalah alat. Yang dibutuhkan adalah niat, bukan sekadar startup yang menjual “green vibes” tanpa akar sosial.
Sekolah dan kampus harus mulai menjadikan ekologi bukan hanya bahan ceramah sepekan sekali, tapi bagian dari kurikulum inti. Hutan bukan ruang asing, ia adalah bagian dari keberlanjutan hidup kita.
Dan satu ide orisinal: bagaimana kalau Hari Hutan Hujan Sedunia tidak hanya dirayakan dengan unggahan, tapi juga hari libur resmi—di mana setiap warga negara ditugaskan menanam pohon? Kalau bisa libur buat hari belanja nasional, kenapa tidak untuk bumi?
Kita Menebang yang Menyembuhkan, Lalu Bertanya Mengapa Dunia Sakit
Kita hidup dalam absurditas kolektif: memotong pohon sambil menanam harapan. Hari Hutan Hujan Sedunia seharusnya jadi lebih dari sekadar perayaan simbolik. Ia adalah panggilan untuk introspeksi dan aksi. Dunia tidak butuh lebih banyak pidato; ia butuh tangan-tangan yang mau kotor oleh tanah.
Bayangkan jika setiap kita bertanggung jawab atas sebatang pohon. Bayangkan jika setiap kebijakan pembangunan harus menghitung dampaknya terhadap hutan. Bayangkan jika kita tak hanya mencintai bumi di caption, tapi juga dalam keputusan harian: apa yang kita konsumsi, siapa yang kita pilih, dan bagaimana kita hidup.
Mungkin kita masih bisa menyelamatkan paru-paru dunia, asal kita berhenti menghisap hidupnya dengan ketamakan. Atau jika tidak, bersiaplah menghirup masa depan yang penuh asap, bukan oksigen.
Baca Juga
-
Main Itu Serius! Ketika Dunia Lupa Bahwa Bermain adalah 'Pekerjaan' Anak
-
Raja Ampat di Simpang Jalan: Kilau Nikel atau Pesona Alam?
-
Mangrove Tak Goyah: Tangguh Menahan Badai, Tahan Jejak Karbon
-
Rayakan Hari Lari Sedunia: Langkah Kecil untuk Sehat dan Bahagia
-
Tanam Pohon Serentak, Geopark Kaldera Toba Siap Dinilai UNESCO
Artikel Terkait
-
Indonesia-Prancis Teken Deklarasi Hutan Lestari, Mampukah Hentikah Deforestasi?
-
Saat Aktivis Walhi Geruduk DPR, Desak Pemerintah Atasi Krisis Ekologis di Kalimantan Tengah
-
Deforestasi dan Krisis Iklim: Mengapa Hutan Adalah Harapan Terakhir Kita?
-
Respons Kejagung Soal Dugaan Korupsi Lingkungan 47 Korporasi Rugikan Negara Rp 437 Triliun
-
Sambangi Kejagung, Walhi Laporkan 47 Kejahatan Tambang Rugikan Negara Rp 437 Triliun
Rona
-
Dulu Diragukan Kini Diakui, Saga Petani Tegalsari Wujudkan Pertanian Organik
-
Berburu Pangan Lokal: Dari Pasar Tradisional ke Meja Makan Ramah Iklim
-
Bawa Botol Minum Sendiri: Kebiasaan Kecil yang Selamatkan Laut dan Iklim
-
Akar Lokal untuk Krisis Global: Bisa Apa Desa terhadap Perubahan Iklim?
-
Dilema Tampil Modis dan Ancaman Fast Fashion bagi Lingkungan
Terkini
-
Tak Sekedar Ajang Lari, Mandiri Jogja Marathon 2025 Jadi Ladang Rezeki bagi UMKM
-
Siswa MTS Sukoharjo Dibekali Jurus Ampuh Komunikasi Efektif di Era Digital!
-
Review Film Elio: Petualangan Galaksi yang Bikin Hati Meleleh
-
Perpanjang Kontrak, Cleylton Santos Sudah Rasakan Nama Besar Persis Solo
-
Anti-Mainstream! Intip 4 Daily Outfit Edgy ala Kim Lip ARTMS