Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Aurellia D.
Ilustrasi Kesetaraan Gender. (shutterstock)

Setiap manusia di dunia ini terikat dengan istilah gender. Pada mulanya, kemunculan persoalan gender muncul pada abad ke-19 di Prancis, ketika upah laki-laki dan perempuan yang didapatkan masing-masing berbeda sehingga kesetaraan gender menjadi konflik utama pada saat itu.

Kini, membahas mengenai gender sering kali menjadi bahasan yang sensitif dan juga problematik bagi sebagian besar orang. Permasalahan gender tidak akan ada habisnya karena pada hakikatnya manusia terlahir dengan pemberian tanda bukti berupa akta kelahiran, di mana gender tertulis secara jelas di sana. Seiring perkembangannya, pembahasan mengenai gender di Indonesia bahkan di dunia ini menjadi jauh lebih luas dan rumit daripada yang sudah ada sejak awalnya.

Konflik kesetaraan gender belakangan ini mengalami perkembangan hingga merujuk kepada suatu “gender fluidity” atau ketidakstabilan gender yang membuat pertimbangan terkait gender dapat diidentifikasikan menjadi perempuan, laki-laki, atau dapat juga menjadi gender lainnya.

Pada tahun 2022, Pew Research Center mengadakan studi yang menemukan bahwa 1,6% orang dewasa di Amerika Serikat adalah transgender atau nonbiner dengan pengertian sebagai sebuah spektrum identitas gender berupa maskulin atau feminin, sering kali dilakukan dengan mengganti jenis kelamin dengan proses operasi. Salah seorang peneliti dari Amerika Serikat, Dr. Eckler, mengatakan bahwa jumlah orang yang mengalami perubahan gender sebenarnya tidak diketahui secara jelas.

Beliau mengatakan bahwa “Terkadang statistik mengenai populasi transgender mencakup orang-orang yang gendernya berubah-ubah dan terkadang tidak.” Peristiwa ini dapat menjadi problematik, walaupun data ini berdasar warga Amerika Serikat, bukan menjadi tidak mungkin peristiwa ini kedepannya dapat merambat hingga ke Indonesia karena kemajuan penyebaran informasi pada era digital yang memungkinkan perubahan secara global melalui media massa. 

Apabila Anda coba pikirkan, akankah ketidakstabilan gender ini dapat menjadi tonggak yang membuat perubahan mengenai prinsip gender? Lebih jauh lagi, apakah keberadaan norma atau ketentuan yang sudah ada secara alamiah dapat berubah sehingga tidak lagi bertolak belakang pada keutuhan gender yang sejak awal hanya perempuan dan laki-laki saja?

Berkaitan dengan ini, pemberlakuan pembatasan perlu dilakukan agar kebebasan pemilihan identitas gender tidak berlangsung secara berlebihan sehingga dalam konflik ini peranan norma sebagai pedoman terhadap perilaku manusia yang sejatinya sebagai unsur yang fundamental menjadi penting keberadaannya.

Ketidakstabilan Gender Menjadi Problematik

Pada intinya, ketidakstabilan gender sekarang ini dapat dijadikan sebagai sarana eksplorasi gender sebelum mencapai ekspresi gender yang stabil dan dapat berlanjut sebagai bagian dari kehidupan mereka tentang pembahasan gender. Keberadaan ketidakstabilan gender atau yang biasa disebut sebagai nonbiner ini juga dapat dijadikan sebagai identitas gender yang pada kenyataannya dapat menimbulkan pergeseran atau perubahan gender bagi beberapa orang.

Ketidakstabilan gender menjadi problematik karena dapat memicu terjadinya perubahan yang tidak berpatokan pada prinsip norma gender dalam keadaan objektif yang sudah diketahui secara alamiah sehingga dapat menjadi suatu permasalahan yang sensitif. Perubahan suasana hati manusia dapat menjadi faktor utama dalam penentuan identitas gender saat ini karena terjadinya perubahan-perubahan tersebut dapat mengakibatkan ketidakstabilan yang dalam hal ini konteksnya adalah gender.

Dilansir dari situs The Guardian, terdapat salah satu kasus mengenai seorang insinyur yang berubah-ubah gender atau nonbiner yang mengalami pelecehan di Jaguar Land Rover dan telah memenangkan kasus diskriminasi penting. Hingga saat ini, masih terdapat ketidakpastian apakah perlindungan Undang-Undang Kesetaraan mencakup mereka yang masuk dalam kategori “gender fluid” atau nonbiner.

Meskipun kasus tersebut, yang disidangkan di pengadilan ketenagakerjaan, secara teknis tidak menjadi preseden hukum, kasus tersebut pasti akan berpengaruh dalam tuntutan serupa. Keputusan tersebut disampaikan oleh Hakim Ketenagakerjaan Hughes di Pengadilan Birmingham.

Terdapat salah satu argumen, yakni dari Rose Taylor, seseorang yang bekerja di salah satu produsen mobil Midlands (Jaguar Land Rover) dan mengubah cara presentasinya, pada tahun 2017, menyatakan bahwa sikap gender yang berubah-ubah atau nonbiner merupakan karakteristik yang dilindungi berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Kesetaraan Tahun 2010 yang berlaku di Midlands.

Berdasarkan pasal tersebut, tercakup beberapa karakteristik yang dapat melindungi seseorang terhadap inti dalam undang-undang, yakni usia, kecacatan, pergantian gender, perkawinan dan kemitraan sipil, kehamilan dan kehamilan, ras, agama atau kepercayaan, jenis kelamin dan orientasi seksual.

Dalam penyelesaiannya, hakim memutuskan bahwa “clear… that gender is a spectrum” and “beyond any doubt” artinya terlihat jelas gender itu adalah spektrum dan tidak ada keraguan lagi sehingga dapat dikatakan bahwa Taylor dilindungi berdasarkan argumennya.

Hakim mengatakan pergantian gender berkaitan dengan perjalanan pribadi dan menjauhkan identitas gender dari jenis kelamin saat lahir. Keputusan Hakim di sini merupakan suatu faktor yang penting, meskipun pada awalnya mengakui untuk pertama kalinya hak-hak sejumlah kecil individu dengan gender yang kompleks. Dalam kasus ini, pengadilan telah menunjukkan kesediaannya untuk membela hak-hak individu dengan cara yang menuntut rasa hormat dan kekaguman.

Banyak dalam kasus-kasus lain di mana individu nonbiner atau gender berubah-ubah dan mengalami kerugian di tempat kerja. Untuk penyelesaiannya, Dave Williams, selaku direktur eksekutif sumber daya manusia di Jaguar Land Rover, menyatakan permintaan maaf kepada Rose Taylor atas nama Jaguar Land Rover atas pengalaman yang dialami selama bekerja dan akan terus berupaya meningkatkan kinerjanya melalui Majalah Forbes.

Berdasarkan kasus di atas, suatu peristiwa ketidakstabilan gender dapat memengaruhi keberadaan kaidah yang telah diatur sebelumnya bahkan dapat dikatakan diskriminasi. Inilah yang dapat menjadi problematik karena perubahan dari kesejatian norma secara lahiriah tidak dapat bertahan. Dikatakan pula bahwa “Jaguar Land Rover tidak menoleransi diskriminasi dalam bentuk apapun.”

Memang termasuk baik adanya untuk menghilangkan diskriminasi, namun perlu diketahui konflik ini merupakan suatu hal yang kontekstual. Dalam konteks ini, kesejatian gender manusia adalah laki-laki dan perempuan dan kini terjadi situasi di mana gender dapat berubah-ubah atau nonbiner sehingga sudah bertentangan dengan kesejatian gender.

Hubungan Norma Mengenai Gender

Perlu diketahui bahwa gender merupakan istilah yang melekat dalam diri manusia. Dilihat dari sudut pandang terbentuknya norma, menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, manusia pada dasarnya terdiri atas empat unsur, yaitu raga, rasa, rasio, dan rukun. Keempat unsur tersebut harus dipenuhi dan dalam pemenuhannya dibutuhkan peran orang lain karena sejatinya manusia tidak bisa hidup sendiri sehingga dibutuhkan ekstensi diri yang menitikberatkan kepada keberadaan manusia dalam lingkungan masyarakat.

Dalam realitas kehidupan bermasyarakat, jelas ketika dikatakan gender dan norma itu terikat karena norma berperan sebagai pedoman perilaku manusia. Dalam kehidupannya, setiap manusia pasti melakukan interaksi dengan manusia lain yang memunculkan perbedaan pendapat. Interaksi antarmanusia inilah dapat memicu timbulnya kaidah atau norma karena suatu interaksi dapat memicu kesubjektifan yang harus diobjektifkan untuk keteraturan dan ketertiban manusia. Termasuk dalam konflik pembahasan ini, diperlukan sebuah patokan untuk tahu bagaimana peraturan jelas mengenai gender tersebut.

Di Indonesia, identitas manusia terdiri atas dua, yakni laki-laki yang bersifat maskulinitas dan perempuan dengan sifat feminitasnya. Identitas berupa gender ini merupakan kesejatian manusia sejak lahir hingga sekarang. Kasus yang dipaparkan sebelumnya, mengenai diskriminasi nonbiner di Midsland, menunjukan bahwa dengan adanya perkembangan zaman, kesejatian gender kini dapat berubah-ubah dan menimbulkan ketidakstabilan gender nonbiner.

Dalam penyelesaiannya pun dikatakan bahwa perlakuan diskriminasi terhadap keberadaan nonbiner ini dapat dikenakan pelanggaran undang-undang, seperti yang sudah dijelaskan dalam pemaparan kasus. Sifat problematik terlihat dari ketidakstabilan gender atau nonbiner ini, yang apabila terjadi secara berkelanjutan, maka dapat menyebabkan perubahan bahkan hilangnya kesejatian norma atau kaidah hukum sejak awalnya.

Pandangan Penulis Terhadap Gender Problematik

Idealnya, dalam menanggapi pembahasan mengenai gender problematik yang mengarah ke dalam konteks ketidakstabilan gender atau nonbiner ini dapat dilakukan dengan penerapan pembatasan. Salah satunya adalah pemberlakuan penegakan norma atau kaidah secara jelas dan tegas agar dapat dijadikan pedoman serta patokan dalam penerapannya di kehidupan manusia.

Penegakan norma dapat diterapkan dengan adanya sosialisasi atau penyebaran informasi yang mudahnya tren saat ini dapat melewati platform media sosial tertentu, seperti TikTok, Instagram, YouTube, dan lain sebagainya yang dapat menyebarluaskan informasi dari lokal hingga global. Penegakan ini dilakukan bukan hanya oleh aparat negara, melainkan juga seluruh masyarakat tanpa terkecuali.

Selain itu, faktor terpenting adalah kesadaran diri kita sendiri untuk mempertahankan kesejatian norma terhadap gender tersebut karena hanya kita yang dapat mengontrol diri kita baik secara rohani maupun jasmani. Dengan adanya kesadaran diri, maka niat dan potensi untuk melakukan pembatasan terhadap ketidakstabilan gender dapat terlaksana secara efektif.

Oleh karena itu, dalam rangka menegakkan kembali kesejatian gender manusia yang sudah ada secara alamiah, pemberlakuan pembatasan dalam hal ketidakstabilan gender atau nonbiner yang saat ini menjadi istilah yang sudah mulai “dimaklumi”, padahal kenyataannya merupakan sebuah penyimpangan itu sangat diperlukan dan hal ini dapat diterapkan dengan adanya penegakan norma disertai dengan kesadaran masyarakat.

Dengan ini, diharapkan urusan kebebasan gender dapat dibatasi sehingga tetap mempertahankan kesejatian dari peran norma terhadap gender di dalam kehidupan manusia.

Aurellia D.

Baca Juga