Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Dea Pristotia
Ilustrasi petani wanita di sawah [Pexels/Do Do PANTHAMALY]

Pernahkah terpikir ke mana sisa makanan yang kita makan? Sadarkah bahwa sisa-sisa makanan tersebut bisa menyumbang kerusakan di bumi? Faktanya, pembusukan pada makanan yang terbuang bisa melepaskan emisi gas rumah kaca yang berdampak pada pemanasan global.

Di usia bumi yang semakin tua, berbagai gerakan digalakan untuk menjaga bumi demi kelangsungan hidup manusia. Berdasarkan Laporan Kajian Food Loss and Waste di Indonesia (2021), Indonesia menghasilkan sampah makanan di kisaran 23-48 juta ton per tahun. Dengan persentase terbesar berasal dari padi-padian dengan angka 44%, buah-buahan 20%, dan sayur- sayuran 16%. 

Angka tersebut menunjukkan jumlah yang besar untuk bahan makanan yang menjadi sampah, membusuk, dan berubah jadi gas metana. Lalu, apakah sepantasnya berdiam diri dan berpangku tangan? Mengenai masalah ini sebenarnya masyarakat kita telah mempraktikkan tradisi turun temurun untuk mengurangi food loss, apakah kalian tahu?

Pernah Dengar Istilah 'Ngasak'?

Ilustrasi petani di ladang [Pexels/Srikanth Thakkolam]

Istilah ngasak muncul dari bahasa Jawa yang berarti mengambil sisa-sisa hasil pertanian yang masih berada di sawah. Saat musim panen pemilik lahan akan mengambil hasil pertaniannya lebih dulu, tapi masih meninggalkan beberapa. 

Orang-orang kemudian diizinkan untuk melakukan ngasak dengan mengambil sisa hasil tanam yang tidak diambil oleh pemilik lahan. Hal ini biasanya terjadi karena hasil pertanian tersebut tidak memenuhi standar kualitas, sehingga menurunkan nilai ekonomis ketika dijual. 

Sebenarnya, ngasak hanya istilah yang berlaku di Jawa. Tapi dalam praktiknya daerah lain juga menerapkan ngasak, hanya saja mungkin menggunakan istilah yang berbeda. 

Di luar negeri ngasak dikenal dengan istilah gleaning, yang dalam bahasa Indonesia berarti memungut. Namun di luar negeri, gleaning dilakukan oleh sekelompok relawan dan menditribusikannya pada kelompok yang membutuhkan. Sedangkan di Indonesia pada umumnya dilakukan oleh warga lokal. 

Tanpa kita sadari, tradisi ngasak telah banyak menekan food loss, atau terbuangnya bahan makanan selama proses produksi.

Perbedaan Food Loss dan Food Waste

Ilustrasi sampah sisa makanan [Pexels/Denise Nys]

Selama ini istilah food waste lebih sering didengar dari pada food loss, namun keduanya memiliki arti yang berbeda.

Mengutip Waste4Change, Jumat (19/4/2024) food loss adalah penurunan kuantitas atau kualitas pangan yang terjadi pada tahap produksi, pascapanen, pemrosesan, hingga distribusi dalam rantai pasokan makanan. Makanan mengalami kerusakan atau dianggap tidak memenuhi standar permintaan konsumen. 

Sedangkan food waste biasanya terjadi pada tingkat ritel dan konsumen. Bahan pangan yang semula diproduksi untuk kebutuhan pangan kemudian menjadi sampah karena tidak dikonsumsi manusia. Contohnya adalah sisa makanan yang dihidangkan dan makanan yang telah kadaluwarsa.

Menggali Lebih dalam Makna Ngasak bagi Masyarakat

Ilustrasi petani wanita di sawah [Pexels/Kelly]

Tidak ada yang menjelaskan secara pasti tentang awal kemunculan tradisi ngasak yang berkembang di masyarakat. Namun dalam prosesnya, ngasak terjadi begitu saja bahkan ketika isu lingkungan belum digalakkan seperti saat ini. 

Menurut berbagai sumber, tradisi ngasak lahir bukan karena desakan perubahan iklim yang mengancam manusia. Namun muncul karena nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat zaman dulu. Lantas apa saja makna lebih dalam di balik ngasak bagi masyarakat?

Berbagi dengan Orang Lain

Tradisi ngasak pada umumnya berkembang di masyarkat desa dengan lingkungan sekitar sawah atau kebun. Para petani sengaja meninggalkan sebagian hasil panennya untuk orang lain yang biasanya adalah tetangganya sendiri. Ini sebagai bentuk berbagi dengan sesamanya. 

Bahkan ada yang mengaku bahwa hasil ngasak ini dapat digunakan untuk menopang kehidupan selama beberapa waktu ke depan. Hasil ngasak yang berupa padi misalnya dapat menjadi simpanan makanan untuk keluarganya. 

Membantu Meningkatkan Ekonomi Warga Sekitar

Ada yang memilih untuk dijadikan konsumsi pribadi, ada pula yang memilih untuk memutar lagi roda perekonomian. Sebagian orang yang melakukan ngasak, memilih untuk menjual lagi hasilnya. Itulah mengapa kita sering menjumpai penjual buah atau sayur dadakan dengan harga super miring di jalan-jalan. 

Memang proses ngasak tidak menghasilkan sayur atau buah dengan kualitas terbaik, namun bukan berarti hal tersebut tidak layak dikonsumsi. Asalkan terjadi kesepakatan, maka tidak jadi masalah bukan? 

Bentuk Bersyukur Kepada Sang Maha Pemberi

Sebagian petani juga mempercayai bahwa menyisakan sebagian hasil panennya juga merupakan bentuk bersyukur kepada Sang Maha Pemberi. Bukannya berniat untuk menyia-nyiakan, tapi konsep bersyukur yang mereka pahami adalah juga dengan berbagi, yaitu berbagi pada sekitarnya, termasuk pada orang lain dan hewan-hewan. 

Memang pada awalnya ngasak lahir karena nilai- nilai kemanusiaan, kemudian berkembang menjadi sebuah tradisi turun-temurun yang hingga saat ini masih terus dilakukan.  

Dalam perkembangan zaman, ternyata ngasak tidak hanya melengkapi kebutuhan sosial ekonomi bagi masyarakat. Saat ini tradisi ngasak semakin melebarkan fungsinya dan berperan untuk mengatasi food loss yang terjadi dalam proses produksi. Beruntungnya kearifan lokal ini masih terus berlanjut, demi keberlangsungan hidup banyak orang.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Dea Pristotia