Pernah enggak sih ngerasain momen di kampus pas teman lagi sidang skripsi, terus mendadak timeline media sosial penuh sama foto-foto papan bunga gede, atau tumpukan bingkisan cakep? Nah, ini dia yang sering kita sebut kondangan akademik. Dulu, mungkin cuma sebatas kasih selamat atau bawa bunga kecil. Sekarang? Waduh, udah kayak hajatan, lengkap dengan ritual balas-membalas hadiah.
Awalnya sih niatnya baik banget, ya kan? Lihat teman seperjuangan begadang, revisi sana-sini, terus akhirnya sampai di titik final: sidang skripsi. Rasanya pengen banget ngasih semangat, ngasih ucapan selamat yang tulus. Makanya, muncul ide kasih bingkisan kecil, atau patungan sewa papan bunga biar lebih meriah. Ini murni bentuk apresiasi dan dukungan moral. Kamu tahu betapa beratnya perjuangan itu, jadi pengen deh ikut senang dan bangga. Solidaritasnya dapet banget!
Tapi lama-lama, entah kenapa, fenomena ini kok jadi bergeser, ya? Dari yang tadinya tulus, kok jadi kayak ada aturan tak tertulis alias kewajiban sosial? Contohnya gini: waktu si A sidang, si B ngasih kado atau ikutan patungan papan bunga. Nah, begitu giliran si B sidang, si A ini kok rasanya ada beban buat kasih balasan. Kalau bisa sih, setimpal atau bahkan lebih bagus. Jadinya, ini bukan lagi soal tulus ikhlas, tapi lebih ke "aku pernah dikasih, jadi aku harus ngasih balik". Persis kayak arisan sosial, cuma beda objeknya aja.
Nah, bagian ini nih yang paling bikin ngelus dada: beban finansial. Mari jujur, dompet mahasiswa itu kan biasanya kritis. Uang saku pas-pasan, udah mikir buat print skripsi, fotokopi jurnal, belum lagi jajan dan nongkrong. Eh, tiba-tiba muncul kebutuhan baru: patungan papan bunga yang harganya lumayan, atau nyiapin bingkisan yang isinya enggak boleh asal-asalan. Kan malu kalau hadiah kita paling kecil atau paling jelek di antara yang lain, iya kan?
Akhirnya, dana yang seharusnya bisa buat beli buku, nambah kuota internet, atau bahkan nabung buat healing setelah lulus, malah terpakai buat ini. Mirisnya, kadang sampai ada yang rela ngutang atau ngirit makan cuma demi bisa ikut kondangan akademik ini. Ini bukan lagi soal ngasih semangat, tapi lebih ke gengsi dan menjaga image di lingkungan pertemanan. Padahal, esensi dari persahabatan dan dukungan kan enggak melulu soal materi, ya?
Satu lagi yang perlu kita renungkan: fokus utama sidang skripsi itu apa sih? Jawabannya jelas: presentasi dan mempertahankan hasil penelitianmu! Ini adalah momen sakral di mana kamu membuktikan diri sebagai seorang calon sarjana. Dosen penguji mau lihat seberapa dalam pemahamanmu, seberapa kuat argumenmu.
Tapi, kalau di luar ruangan sidang udah heboh sama dekorasi papan bunga, atau di meja udah numpuk bingkisan, kadang perhatian jadi buyar. Bukan cuma buat yang sidang, tapi buat teman-teman yang datang juga. Yang harusnya fokus ngasih dukungan moral dan mendengarkan presentasi, malah kadang jadi sibuk foto-foto, atau update Instastory. Akhirnya, esensi dari perjuangan akademik yang panjang itu jadi sedikit terkomersialisasi atau tergeser ke arah seremonial yang berlebihan.
Beberapa dosen dan alumni kampus sempat mengomentari fenomena ini sebagai sesuatu yang dianggap lebay. Perkaranya, perayaan seminar tahap pertama atau kedua alias seminar proposal dan hasil ditangkap lebih hedon dan ramai daripada sidang skripsi atau wisuda. Kedua, ada yang membahas soal kebersihan dan estetika lingkungan kampus yang barangkali agak terganggu dengan adanya puluhan papan bunga mini dari akrilik atau kayu. Bayangkan saja satu mahasiswa mendapat minimal 5 papan bunga, dikali dengan mahasiswa yang melakukan seminar atau sidang pada hari itu di gedung yang sama, jurusan yang sama, dan fakultas yang sama. Bisa-bisa taman gedung atau lokasi yang biasa dibuat foto-foto bakal penuh dan sempit dengan benda-benda itu.
Setelah foto-foto, papan-papan itu akan disingkirkan ke tembok-tembok gedung dan akan diambil oleh si pemiliknya. Minusnya di sini, papan yang diletakkan di pinggir gedung, yang biasanya digunakan untuk akses jalan jadi terganggu. Apalagi yang digeletakkan di lantai karena khawatir jatuh pecah tertiup angin, bakal bikin kesandung pastinya.
Fenomena kondangan akademik ini memang unik. Ada sisi positifnya, yaitu mempererat silaturahmi dan menunjukkan solidaritas antarmahasiswa. Tapi, jangan sampai sisi negatifnya, seperti beban finansial dan mengaburkan esensi akademik, jadi lebih dominan.
Mungkin kita perlu mulai mikir ulang apakah dukungan harus selalu berbentuk materi? Sebuah pelukan hangat, ucapan "semangat!" yang tulus, tawaran bantuan revisi, atau bahkan sekadar kehadiran dan menjadi pendengar yang baik saat teman curhat beban skripsinya, itu jauh lebih berarti lo!
Kampus juga punya peran di sini. Mungkin bisa ada sosialisasi tentang pentingnya fokus pada substansi akademik, bukan pada hal-hal seremonial yang berlebihan. Kita bisa sama-sama mengembalikan makna apresiasi itu ke jalur yang benar, dari hati ke hati, bukan dari dompet ke dompet.
Gimana menurutmu, teman-teman? Sudah saatnya enggak sih kita ubah kondangan akademik ini jadi lebih ke arah dukungan yang tulus dan non-materiil, daripada sekadar balas-balasan kado yang kadang bikin pusing kepala?
Baca Juga
-
Belajar Hidup dari Anak Kos, Tamat 1000 Pelajaran Hidup di Kota Orang
-
Aturan Cuma Buat Rakyat? Menggugat Hak Istimewa Rombongan Pejabat di Jalan Raya
-
Kontrasepsi Jadi Beban Tunggal Perempuan, Ketimpangan Peran KB di Keluarga
-
Bukan Perspektif Antikucing: Sederhana, tapi Bikin Cat Lovers Darah Tinggi
-
Tren Tak Logis Living Together di Tengah Zaman yang Menormalisasi Segalanya
Artikel Terkait
-
Tentang Menjadi Pemimpin: Inklusivitas Lewat Kepemimpinan yang Memanusiakan
-
31.066 Dosen Sudah Pencairan Tunjangan Kinerja (Tukin), Ini Skema dan Kategori Penerima
-
Belajar Hidup dari Anak Kos, Tamat 1000 Pelajaran Hidup di Kota Orang
-
6 Fakta Penting Dosen UNM Ditemukan Gantung Diri di Kampus Poltekkes Makassar
-
Dosen Tewas Tergantung di Pohon Gedung Poltekkes Makassar, UNM Gempar!
Kolom
-
Beras Oplosan Rp100 Triliun: Bukti Kegagalan Sistem Pangan Nasional
-
Bukan Anti-Cinta, Hanya Takut Luka: Alasan Gen Z Tak Kejar Pernikahan
-
Tentang Menjadi Pemimpin: Inklusivitas Lewat Kepemimpinan yang Memanusiakan
-
Kemandirian Desa dengan Panel Surya Buktikan Revolusi Energi Lokal
-
Realita Jobseeker, Saat Interview Malah Menguras Isi Kantong
Terkini
-
Elegan Setiap Saat, 4 Padu Padan Outfit ala Song Hye Kyo yang Patut Dicoba
-
7 Film dan Serial yang Dibintangi David Corenswet sebelum Jadi Superman
-
Piala Presiden 2025 dan Bukti Kebenaran Saran Eks Pemain Timnas Terkait Regulasi Pemain Asing
-
Xiaomi 14T Goyang iPhone 15 Pro? Spek Dewa Harga Mahasiswa!
-
4 Laptop Core i7 Termurah Mulai 9 Jutaan, Kencang Buat Gaming dan Editing!