Scroll untuk membaca artikel
Bimo Aria Fundrika
Ilustrasi sampah plastik. [Suara.com/Alfian Winanto]

Pertemuan internasional di Jenewa untuk merumuskan perjanjian global mengatasi krisis polusi plastik berakhir tanpa hasil, Jumat (15/08/2025). Setelah 11 hari perundingan, 184 negara pulang tanpa kesepakatan mengikat.

Padahal forum ini dirancang sebagai babak akhir menuju perjanjian hukum internasional pertama soal plastik. Namun, perdebatan buntu muncul: apakah kesepakatan harus mencakup pembatasan produksi plastik dan bahan kimia berbahaya di baliknya.

Negara-negara pro-ambisi, seperti Prancis, Norwegia, Australia, dan Tuvalu, terang-terangan kecewa.

“Segelintir negara dengan kepentingan finansial jangka pendek menghalangi lahirnya perjanjian ambisius. Padahal bukti ilmiah sudah jelas: plastik meracuni laut, tanah, bahkan tubuh manusia,” tegas Menteri Transisi Ekologi Prancis, Agnès Pannier-Runacher, seperti dikutip dari Euronews. 

Ilustrasi sampah plastik menumpuk (shutterstock)

Ketua komite negosiasi, Luis Vayas Valdivieso, sempat merilis dua draft baru. Isinya menegaskan produksi dan konsumsi plastik global sudah “tidak berkelanjutan”.

Namun, draf itu ditolak negara-negara produsen besar seperti Arab Saudi dan Kuwait, yang menilai isu produksi plastik tidak seharusnya masuk mandat perjanjian.

Pada akhirnya, sidang ditutup tanpa keputusan tindak lanjut.

“Kegagalan total,” kata David Azoulay, Direktur Program Kesehatan dari Pusat Hukum Lingkungan Internasional.

Greenpeace bahkan mendesak perubahan mekanisme negosiasi: dari konsensus mutlak ke pemungutan suara, agar kesepakatan tidak terus-menerus disandera segelintir negara.

Kepala Program Lingkungan PBB, Inger Andersen, mengakui kekecewaan besar. Namun ia menyebut ada satu kemajuan: kini posisi tiap negara semakin jelas, meski perjanjian yang ditunggu dunia kembali tertunda.

Penulis: Muhammad Ryan Sabiti