Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ernik Budi Rahayu
Ilustrasi masyarakat adat (pexels.com/Danya Gutan)

Saat Indonesia tengah merayakan hari kemerdekaannya yang ke-80. Di tengah kebahagiaan bahwa negara kita adalah negara yang merdeka, ternyata masih ada penjaga bumi yang masih belum merdeka. Mereka ialah Masyarakat Adat.

RUU Masyarakat Adat ini memang sudah sering dibicarakan di Senayan. Pemerintah dan DPR berulang kali memasukkannya dalam Prolegnas, tetapi pembahasannya selalu tertunda. Beberapa alasan klasik yang menyebabkan RUU ini terus berjalan di tempat.

Alasan klasik seperti padatnya agenda legislasi dan tarik-menarik kepentingan politik membuat RUU akhirnya berhenti di tempat. Padahal, keberadaan payung hukum tersebut penting untuk memberi kepastian hak atas tanah, hutan, dan wilayah kelola adat yang selama ini rawan dirampas atas nama pembangunan.

Mangkraknya RUU ini memperlihatkan betapa lemahnya komitmen negara dalam melindungi masyarakat adat.

Penjaga Bumi yang Rentan

Perlu diketahui, masyarakat adat dikenal memiliki kearifan lokal yang menjaga kelestarian alam. Cara hidup mereka cukup harmonis. Mereka dikenal dengan sosok yang menjaga kehidupan dengan alam, gaya hidup mereka harmonis dengan hutan, sungai, dan tanah yang menjadi sumber penghidupan.

Namun ironisnya, justru mereka yang paling rentan kehilangan ruang hidup. Kasus perampasan tanah adat demi proyek pertambangan, perkebunan sawit, atau infrastruktur terus berulang.

Tanpa perlindungan hukum, masyarakat adat bukan hanya kehilangan identitas budaya, tetapi juga daya hidup yang telah diwariskan turun-temurun. Jika mereka tersingkir, maka bumi kehilangan penjaga paling setianya.

Hal ini dapat dibuktikan dari Catatan akhir tahun AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), yang menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2023, Indonesia setidaknya mempunyai 2.578.073 hektar wilayah adat.

Sebagian besar perampasan wilayah adat tersebut disertai dengan kekerasan dan kriminalisasi yang menyebabkan 247 orang korban.

204 orang di antaranya luka-luka, 1 orang ditembak sampai meninggal dunia, dan kurang lebih 100 rumah warga Masyarakat Adat dihancurkan karena dianggap mendiami kawasan konservasi negara.

Oleh sebab itu, kita bisa menilai bersama bahwa saat ini Masyarakat Adat memang banyak yang hidup dalam kondisi rentan. Dimana mereka kehilangan tanah, sementara itu ekosistem hutan yang menjadi penopang hidup mereka ikut rusak.

Tanpa adanya payung hukum yang kuat, masyarakat adat bukan hanya kehilangan identitas budaya, tetapi juga daya hidup yang telah diwariskan turun-temurun. Jika mereka tersingkir, maka bumi kehilangan penjaga paling setianya.

Dampak pada Lingkungan dan Bumi

Mangkraknya RUU Masyarakat Adat tidak bisa dilihat sekadar sebagai kegagalan politik. Ia berdampak langsung pada keberlangsungan lingkungan. Hutan adat yang tidak diakui negara mudah dikonversi menjadi lahan industri.

Sungai yang selama ini dijaga dengan kearifan adat rawan tercemar. Tanah yang seharusnya menjadi ruang hidup malah beralih fungsi demi kepentingan ekonomi jangka pendek. Dengan kata lain, tanpa perlindungan masyarakat adat, bumi semakin rapuh dan secepatnya akan menghadapi krisis ekologi.

Suara Untuk Negara

Berdasarkan hal-hal yang telah penulis sampaikan diatas, penulis menyimpulkan bahwa Negara perlu hadir untuk melindungi Masyarakat Adat. Karena sejatinya, Masyarakat Adat adalah penjaga bumi yang kehadirannya bermanfaat bagi lingkungan dan bumi kita.

Negara yang sering berbicara tentang komitmen menjaga bumi, nyatanya masih gagal memberikan perlindungan nyata bagi masyarakat adat.

RUU Masyarakat Adat yang mangkrak bertahun-tahun adalah bukti nyata lemahnya keberpihakan Negara untuk rakyat dan lingkungannya. Padahal, melindungi masyarakat adat  sama artinya dengan melindungi bumi.

Jika Masyarakat Adat punya payung hukum yang jelas maka dapat dipastikan bahwa bumi akan aman, hutan tetap hijau, sungai tetap bersih, tanah tetap lestari. Jika janji negara hanya berhenti di wacana, maka kerusakan lingkungan akan terus meluas dan masyarakat adat semakin terpinggirkan.

Kritik atas mangkraknya RUU Masyarakat Adat bukan sekadar suara personal melainkan ini adalah kritik atas gagalnya negara menepati janji menjaga bumi. Tanpa perlindungan hukum yang jelas, masyarakat adat tetap menjadi “penjaga bumi tanpa perlindungan”.

Jika negara sungguh ingin menyelamatkan bumi, langkah pertama yang harus diambil adalah menghadirkan keadilan hukum bagi mereka yang sejak lama menjaga bumi dengan caranya sendiri.

Ernik Budi Rahayu