Scroll untuk membaca artikel
Bimo Aria Fundrika | Adipatra kenaro
Foto menampilkan ekskavator oranye di tengah hutan lebat, merobohkan pepohonan besar. Sekitarnya dipenuhi batang tumbang, ranting, dan dedaunan berserakan, sementara latar belakang menunjukkan lahan terbuka hasil deforestasi." (Foto: Greensers.Co)

Bayangkan suatu hari nanti kita merayakan kemerdekaan bukan di bawah langit biru yang cerah, melainkan di kota dengan udara pekat penuh polusi hingga membuat dada terasa sesak. Bayangkan anak-anak lomba makan kerupuk sambil batuk-batuk karena kualitas udara yang buruk.

Sungai yang dulu jadi sumber kehidupan, tempat orang mandi dan mencuci, kini berubah menjadi saluran limbah berwarna keruh dengan bau menyengat. Hutan yang dulu rimbun, tempat burung berkicau dan matahari menyelinap di sela dedaunan, kini hanya tersisa sebagai potongan kenangan di album foto lama.

Pertanyaannya sederhana, masihkah kita bisa berkata bahwa kita benar-benar merdeka?

Karena kalau dulu perjuangan adalah melawan penjajahan yang tampak nyata, maka hari ini lawan kita jauh lebih diam-diam namun tak kalah berbahaya. Polusi yang masuk ke paru-paru tanpa kita sadari. Banjir yang terus datang setiap musim hujan, membawa lumpur dan kehilangan.

Suhu udara yang makin tak menentu, membuat kita tak bisa lagi menebak kapan hujan akan turun. Semua ini adalah musuh yang pelan-pelan menggerogoti hidup kita, musuh yang tidak mengenal kompromi. Jika kita tidak segera mengambil sikap, kerusakan lingkungan ini bukan hanya menghantui kita, tetapi juga akan merampas masa depan anak cucu yang bahkan belum lahir.

Dari sinilah makna kemerdekaan harus kita definisikan ulang. Kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari cengkeraman kekuasaan asing, melainkan juga bebas dari kehancuran yang kita ciptakan. Inilah yang menjadi landasan utama "Merdeka untuk Bumi: Suara untuk Lingkungan yang Lebih Lestari."

Merdeka, Tapi Dari Apa?

Kemerdekaan sejati adalah ketika kita bisa merayakan di bawah lindungan hutan yang lestari. (Foto:Hypeabis.id)

Setiap Agustus, suasana Indonesia terasa berbeda. Jalan-jalan dihiasi merah putih, lomba rakyat digelar, dan lagu kebangsaan dinyanyikan dengan lantang. Semua itu adalah simbol betapa kita bersyukur sudah bebas dari penjajahan. Namun, dalam tengah gegap gempita itu, kita jarang mengajukan pertanyaan mendasar merdeka itu sebenarnya dari apa?

Jika dulu kemerdekaan berarti bebas dari cengkeraman penjajah, maka di era sekarang tantangannya berbeda. Kita mungkin berdaulat secara politik, tetapi apakah kita benar-benar merdeka ketika udara yang kita hirup dipenuhi polusi kendaraan?

Apakah kita merdeka ketika sungai-sungai yang mestinya jadi sumber kehidupan justru menjadi saluran limbah industri? Apakah kita merdeka ketika musim hujan bukan lagi penanda kesuburan, melainkan alarm banjir tahunan? Dengan kata lain, bangsa ini memang telah lepas dari belenggu kolonial, tetapi masih terikat oleh belenggu krisis lingkungan.

Inilah titik penting bahwa kemerdekaan bukanlah kondisi statis yang berhenti pada 1945. Kemerdekaan adalah proses yang terus bergerak mengikuti zaman. Hari ini, makna merdeka harus diperluas menjadi bebas dari kerusakan ekologis, bebas dari ketergantungan pada energi kotor, dan bebas dari gaya hidup eksploitatif yang justru menjerat kita dalam lingkaran krisis baru.

Selama kita masih bergantung pada batu bara untuk menyalakan listrik, selama sampah plastik masih menumpuk di TPA, selama kebijakan lingkungan hanya berhenti di atas kertas, kita belum benar-benar merdeka.

Analisisnya sederhana tapi tajam kemerdekaan tanpa keberlanjutan hanyalah kemerdekaan semu. Sebab apa artinya kedaulatan bangsa jika rakyatnya tercekik oleh asap kendaraan setiap hari? Apa artinya pertumbuhan ekonomi jika anak-anak tumbuh dengan paru-paru yang lemah akibat polusi?

Dan apa artinya bendera berkibar gagah jika tanah tempat ia berdiri makin rapuh digerus banjir dan longsor? Pertanyaan-pertanyaan ini menegaskan bahwa perjuangan kemerdekaan belum selesai ia hanya berganti wajah, dari melawan penjajahan bersenjata menjadi melawan penjajahan ekologi.

Kemerdekaan Sebagai Harapan Generasi Mendatang

Bersama anak-anak bangkit kesadaran lingkungan pesisir. (Foto: Endang Tri Wahyurini)

Bayangkan tiga dekade ke depan, ketika anak cucu kita hanya mengenal hutan tropis dari foto di buku pelajaran atau dari tayangan dokumenter. Bayangkan udara segar yang seharusnya menjadi hak setiap orang justru hanya bisa dinikmati di dalam ruang ber-AC yang berbayar mahal. Bayangkan air bersih, yang mestinya melimpah di negeri maritim ini, berubah menjadi barang mewah yang hanya bisa diakses oleh segelintir orang.

Gambaran ini terdengar seperti kisah distopia, tetapi kenyataannya ia bukan fiksi ilmiah. Jika pola pembangunan yang eksploitatif dan perilaku konsumsi yang boros terus dipertahankan, maka inilah masa depan yang sedang kita ciptakan dengan tangan kita sendiri. Pertanyaannya, apakah itu warisan yang pantas kita tinggalkan untuk generasi mendatang.

Analisisnya sederhana namun tajam, setiap pilihan hari ini adalah investasi masa depan. Cara kita menebang atau melindungi hutan akan menentukan apakah banjir dan longsor menjadi bencana tahunan atau sekadar catatan sejarah. Cara kita mengelola energi akan menentukan apakah anak cucu kita tumbuh dengan paru-paru sehat menghirup udara bersih, atau sebaliknya, hidup dalam ketergantungan pada oksigen kalengan.

Bahkan kebiasaan sederhana kita dalam mengolah sampah apakah dibuang sembarangan atau dikelola dengan bijak. Tidak ada keputusan yang netral semua pilihan, kecil atau besar, memiliki konsekuensi lintas generasi. Karena itu, arti kemerdekaan hari ini tidak bisa lagi dipahami sebatas kebebasan dari penjajah asing. Makna itu harus diperluas merdeka berarti bebas dari jeratan pola konsumsi yang eksploitatif, bebas dari ketergantungan pada energi kotor yang merusak, dan bebas dari gaya pembangunan yang mengorbankan keberlanjutan demi keuntungan sesaat.

Kemerdekaan sejati bukan hanya soal kedaulatan politik, melainkan juga kedaulatan lingkungan hak untuk hidup di bumi yang sehat, aman, dan layak huni. Dan di sinilah keberanian diuji. Merdeka berarti berani memilih jalan yang lebih lestari, meskipun jalannya tidak selalu populer.

Merdeka berarti mendukung energi terbarukan meski transisinya berjalan lambat dan penuh tantangan. Merdeka berarti menolak perusakan hutan, meskipun ia sering dibungkus dengan jargon pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Merdeka berarti mengutamakan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan bumi, bahkan ketika godaan keuntungan sesaat terlihat lebih menggiurkan.

Dengan cara ini, kemerdekaan kembali relevan dengan konteks zaman, bukan lagi menjadi nostalgia masa lalu, melainkan keberanian mengambil sikap demi masa depan bumi dan generasi yang akan datang.

Adipatra kenaro