Scroll untuk membaca artikel
Bimo Aria Fundrika
Seorang pekerja merakit panel surya di pembangkit fotovoltaik terapung di danau Silbersee, Haltern, Jerman, Jumat (22/4/2022). [Ina FASSBENDER / AFP]

Biaya panel surya telah turun lebih dari 99 persen sejak dekade 1970-an. Penurunan drastis ini mengubah status teknologi yang dulu dianggap mahal menjadi salah satu sumber energi termurah di dunia. Jutaan rumah kini memanfaatkannya, dan industri energi global mengalami pergeseran besar.

Sebuah studi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang terbit di jurnal PLOS ONE menelusuri alasan di balik penurunan biaya yang sangat cepat tersebut. Peneliti menemukan bahwa kejatuhan harga bukan hanya hasil dari satu terobosan besar, melainkan gabungan dari puluhan inovasi kecil yang muncul dari berbagai bidang, bahkan dari luar sektor energi.

Sejak 1970, tercatat ada 81 inovasi utama yang membantu memangkas ongkos panel surya. Beberapa bersifat teknis, seperti teknik penggergajian kawat yang memungkinkan silikon dipotong lebih tipis dan mengurangi limbah.

Sebagian lain bersifat sistemik, seperti percepatan proses perizinan dan reformasi regulasi. Kemajuan di bidang semikonduktor, pembuatan kaca, dan pengolahan logam juga memainkan peran penting dalam membuat energi surya semakin efisien dan terjangkau.

AMMAN mulai mengoperasikan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Indonesia untuk operasional pertambangan, dengan kapasitas puncak 26,8 megawatt.

Analisis menunjukkan bahwa peningkatan bertahap yang terus-menerus, dikombinasikan dengan produksi massal, menciptakan efek “learning by doing”. Semakin besar kapasitas produksi global, semakin besar pula dampak penghematan yang bisa dicapai dari setiap perbaikan kecil. Pendekatan ini menjadikan tenaga surya sebagai bentuk listrik termurah sepanjang sejarah, menurut catatan Badan Energi Internasional.

Transformasi ini kini terlihat nyata di Eropa. Pada Juni lalu, tenaga surya untuk pertama kalinya menghasilkan lebih banyak listrik dibandingkan sumber energi lain di Uni Eropa. Capaian ini muncul di tengah lonjakan investasi energi bersih, yang pada tahun lalu mencapai sekitar €1,7 triliun secara global, sekitar €685 miliar lebih banyak dibandingkan investasi di sektor bahan bakar fosil.

Energi angin lepas pantai kini juga semakin kompetitif, namun penurunan biaya terbesar tetap terjadi pada tenaga surya.

Kombinasi riset jangka panjang, inovasi material, serta kebijakan yang mendukung menjadikan teknologi ini tidak hanya mampu bersaing dengan bahan bakar fosil, tapi juga memimpin transisi energi terbarukan.

Peneliti MIT menyimpulkan bahwa salah satu kunci sukses tenaga surya adalah modularitas. Panel-panel dirancang dengan komponen kecil yang terstandarisasi dan mudah diproduksi secara massal. Hal ini mempercepat proses produksi dan memudahkan perbaikan maupun peningkatan efisiensi dari waktu ke waktu.

Namun, keberhasilan adopsi massal juga memunculkan tantangan baru: pengelolaan limbah panel surya yang sudah tidak layak pakai. Secara global, sejumlah riset kini mulai mengembangkan metode daur ulang yang lebih murah dan efektif.

Di Eropa hingga Australia, proyek-proyek baru mencoba merancang panel yang lebih mudah dipisahkan dan menggunakan material yang dapat dipakai ulang. Beberapa perusahaan juga mulai memperbaiki panel lama agar tidak langsung berakhir di tempat pembuangan.

Perjalanan panjang tenaga surya menunjukkan bahwa transisi energi bersih bukan hanya soal teknologi utama, tetapi juga soal kombinasi inovasi lintas sektor, kebijakan publik, dan pembelajaran kolektif.

Pengalaman ini menjadi pelajaran penting bagi pengembangan teknologi terbarukan lainnya, dari penyimpanan energi hingga hidrogen hijau.

Penulis: Muhammad Ryan Sabiti