Kota besar memang sering dipuja sebagai pusat mimpi. Ada banyak gedung menjulang, lampu kota yang tak pernah tidur, dan jalanan yang sibuk. Impian bagi semua orang yang ingin dan mendambakan kemewahan. Walau tampak gemerlak nyatanya ada berbagai banyak permasalahan yang terjadi di sana.
Salah satunya, dibalik gemerlap itu nyatanya ada sesuatu yang tak terlihat tapi menjerat. Keberadaanya memang tak pernah terlihat namun nyatanya terasa. Hal tersebut adalah polusi.
Polusi adalah kondisi yang timbul ketika senyawa kimia, energi atau polutan masuk ke lingkungan yang merusak ekologi, kondisi lingkungan dan menyebabkan bahaya bagi makhluk hidup.
Melihat hal itu, setiap tarikan napas di jalan raya penuh asap knalpot, setiap tegukan air terkadang beraroma limbah. Polusi akhirnya menjelma jadi bentuk penjajahan baru, merampas hak kita yang paling dasar, yaitu bernapas bebas.
Beban lingkungan kota besar
Akibat banyaknya polusi akhirnya lingkungan kota semakin kewalahan menanggung laju pembangunan. Sungai-sungai berubah jadi saluran limbah, pepohonan kalah oleh beton, dan langit biru makin jarang terlihat.
Yang menjadi beban kemudian akhirnya polusi bukan hanya terlihat dalam layar indeks angka, tetapi menjadi realitas sehari-hari yang perlahan mengikis daya dukung kota. Kota yang seharusnya menciptakan ruang hidup nyaman, sehat, dan aman tetapi justru berubah jadi mesin pencemar yang terus berjalan.
Dampak bagi manusia dan lingkungan
Polutan yang mencemari lingkungan memiliki beragam efek negatif. Dampak buruk polusi tidak hanya berpengaruh terhadap manusia, tetapi juga mengganggu makhluk hidup dan ekosistem.
Misalnya saja, dapat dibuktikan dari data berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQAir pada pukul 05.00 WIB, indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta berada di angka 177. Artinya, udara Ibu Kota masuk dalam kategori tidak sehat dengan polusi udara PM2.5 dan nilai konsentrasi 67 mikrogram per meter kubik.
Dari data di atas, terbukti bahwa polusi hadir bagaikan seorang pembunuh senyap. Anak-anak tumbuh dengan risiko asma, pekerja kota hidup dengan batuk kronis, dan orang tua menghabiskan hari dengan sesak napas.
Mereka yang tinggal di kawasan padat, dekat jalan raya atau pabrik, adalah yang paling terdampak. Polusi tidak hanya melukai paru-paru, tapi juga membuka luka sosial: ketidakadilan lingkungan, di mana yang miskin paling merasakan beban.
Bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasi polusi?
Melihat bagaimana bahaya polusi untuk manusia dan lingkungan, sudah seharusnya ada solusi yang tepat untuk mengatasi masalah ini. Bagi penulis, solusi untuk polusi di kota besar perlu dua arah: dari manusia yang mana di Indonesia adalah warga dan dari negara.
Dari sisi masyarakat, langkah sederhana yang bisa kita lakukan untuk membuat beberapa langkah perubahan adalah dengan memilih transportasi massal, berjalan kaki, menanam pohon di halaman, hingga mengurangi konsumsi plastik sekali pakai.
Sementara itu, dari sisi pemerintah, regulasi yang sudah ada seharusnya tidak berhenti di atas kertas. Uji emisi kendaraan harus ditegakkan secara konsisten, ruang hijau kota perlu dipertahankan, dan pengawasan terhadap sumber pencemar wajib diperketat.
Penulis sangat mengapresiasi langkah pemerintah dalam membuat regulasi. Ada banyak beberapa peraturan perundang-undangan yang memang dibuat untuk menanggulangi masalah polusi ini,
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
- Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air;
- Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Aturan-aturan tersebut bukan hanya hadir sebagai formalitas, namun sebagai alat untuk memastikan setiap warga kota punya hak yang sama atas udara bersih. Oleh karena itu, negara harus memaksimalkan peraturan yang ada untuk menekan permasalahan ini.
Jika masyarakat mau bergerak dan pemerintah serius menegakkan regulasi, kota bisa bertransformasi dari ruang penuh polusi menjadi tempat hidup yang layak.
Akhir dari penulis, yang ingin tersampaikan dari artikel ini adalah merdeka bukan hanya lepas dari penjajahan politik, tapi juga dari belenggu polusi yang mengurung kota. Suara kita adalah senjata.
Bagaimana kita menolak diam, menuntut hak atas udara bersih, dan bergerak bersama lewat langkah kecil yang konsisten. Masa depan kota tidak harus penuh kabut polusi. Jika kita berani bersuara dan bertindak, kota bisa kembali bernapas, dan bumi bisa benar-benar merdeka.
Baca Juga
-
Ulasan Never Have I Ever: Saat Cinta, Budaya dan Kekacauan Jadi Satu Kisah
-
Mulai dari Kita: Mengelola Sampah Rumah Tangga Demi Bumi Lestari
-
Bumi Belum Merdeka: Dijajah Sampah Plastik yang Kita Biarkan
-
Ulasan My Life with the Walter Boys: Kisah Cinta Segitiga yang Bikin Dilema
-
Suara Kritis untuk Omnibus Law: Di Balik Janji Manis Ada Kemunduran Hijau
Artikel Terkait
-
Stop Rusak Bumi! Mulai Sekarang untuk Keberlanjutan Generasi Mendatang
-
Mulai dari Kita: Mengelola Sampah Rumah Tangga Demi Bumi Lestari
-
Ketika Nafsu Belanja Tak Terbendung, Bumi Menjerit Lewat Cuaca Ekstrem
-
Lautan Eceng Gondok Penuhi Waduk Selorejo
-
KLH Segel Pabrik Pengolahan Limbah di Kabupaten Serang
Rona
-
Mulai dari Kita: Mengelola Sampah Rumah Tangga Demi Bumi Lestari
-
Ketika Nafsu Belanja Tak Terbendung, Bumi Menjerit Lewat Cuaca Ekstrem
-
Di Balik Secangkir Kopi, Ketahanan Pangan dan Peningkatan Ekonomi Petani Lokal Jadi Sorotan
-
Mengompos: Healing Buat Manusia Yang Patah Hati, Healing Buat Bumi
-
Dari Imajinasi ke Aksi: Menghidupkan Pesan Kapal Apung Melalui Cerita
Terkini
-
5 Film Baru Sambut Akhir Pekan, Ada Pretty Crazy hingga Materialist
-
BRI Super League: Diwarnai Kartu Merah, Persija Jakarta Ditahan Imbang Malut United
-
Menggiring Bola Melawan Stigma: Perempuan dan Kesetaraan di Lapangan Futsal
-
Mau Hangout Pas Weekend? 4 Ide OOTD Kasual ala Jennie BLACKPINK yang Nyaman
-
Adaptasi Game Populer, Sengoku: No Defeat Akan Tayang Perdana Tahun 2026