Bimo Aria Fundrika
Ekowisata alam dan budaya di Ubud. (Dok. Anantara Bali Resort)

Pariwisata di Indonesia sedang menghadapi tantangan besar. Sektor ini terbukti menyumbang banyak pada ekonomi, tetapi di sisi lain sangat rentan terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim.

Tekanan itu membuat pembangunan destinasi tidak bisa lagi hanya fokus pada angka kunjungan, melainkan juga pada keberlanjutan.

Di tengah tantangan ini, pemerintah menegaskan komitmen untuk menempatkan ekonomi biru, ekonomi hijau, dan ekonomi sirkular sebagai fondasi utama pariwisata masa depan.

Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata, Rizki Handayani Mustafa, menyebut langkah ini sebagai cara memastikan pariwisata tumbuh tanpa merusak alam.

Sebuah mega proyek pariwisata dengan nilai investasi fantastis Rp 32,5 triliun siap mengubah wajah pesisir Lombok Barat. [Ist]

Komitmen tersebut sudah dituangkan dalam dokumen pembangunan nasional jangka menengah 2025–2045, juga dalam rencana jangka panjang hingga 2029.

Pariwisata berkelanjutan ditempatkan sebagai prioritas, sejalan dengan target nasional untuk menurunkan emisi karbon. Pemerintah telah menetapkan sasaran ambisius: penurunan 31,89 persen secara mandiri, dan hingga 43,2 persen dengan dukungan internasional pada 2030.

Sebagai bagian dari strategi itu, Kementerian Pariwisata menyelenggarakan lokakarya internasional bertajuk Empowering Sustainable Tourism: Integrating Blue, Green, and Circular Economy in Tourism Operations pada 26–28 Agustus 2025.

Forum ini dihadiri berbagai negara anggota COMCEC dan dirancang untuk berbagi praktik baik dalam membangun pariwisata yang ramah lingkungan sekaligus kompetitif. Rizki menekankan, pengalaman dari negara lain bisa menjadi inspirasi untuk menjadikan destinasi Indonesia lebih berkualitas dan berdaya saing global.

Namun jalan menuju pariwisata berkelanjutan tidak selalu mudah. Menurut Asisten Deputi Manajemen Usaha Pariwisata Berkelanjutan, Amnu Fuadiy, penerapan prinsip hijau dan biru masih terbatas karena keterbatasan anggaran.

Meski begitu, ia menyebut semangat percepatan tetap ada, karena keberhasilan hanya bisa dicapai lewat kolaborasi: pemerintah pusat, daerah, pelaku usaha, agen perjalanan, hingga masyarakat.

Dengan arah baru ini, pariwisata Indonesia tidak lagi sekadar bicara jumlah wisatawan. Ia menjadi ruang untuk membangun ekosistem yang lebih tangguh, rendah emisi, dan berpihak pada masa depan.

"Keinginan kita untuk mempercepat penerapan itu karena ini terkait dengan keberlanjutan, itu bisa cepat terwujud karena ini melibatkan beberapa negara, kemudian pelaku usaha, regulator, pemerintah daerah, dalam hal ini agen pariwisata, pemerintah pusat, kemudian pariwisata, dan kemudian lainnya," ucap dia.