Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Mohammad Isa Ga
Ilustrasi Sawah. (Shutterstock).

AKU ingin tidur. Tidur yang panjang. Aku belum ingin mati. Dunia ini terlalu indah untuk ditinggalkan, karena sejujurnya banyak tempat yang belum kukunjungi.

Aku hanya ingin pergi, bercakap-cakap dengan otak, mengembara ke lubuk terdalam panorama kepala. Yang kucari adalah seorang manusia, yang selama ini selalu hadir menghuni tubuhku. Barangkali di sanalah aku merasa bahwa aku sungguh-sungguh ada, bicara dengan diriku, yang sebelumnya tak pernah ada.

Bukannya aku tak pernah mencoba mencari diriku dengan cara yang lain. Sungguh, setiap hari aku selalu mencari diriku yang entah kenapa tiba-tiba saja telah menjadi seperti ini. Aku pernah mencari diriku ke padang-padang jauh, tempat bocah bermain layang-layang. Di sana aku bersenandung dalam puisi yang sedang ditulis sang maha pencipta. Ku serukan diriku di sela huma sepi, tapi tetap yang kutemukan hanyalah puisi yang sedang ditulis sang pencipta sunyi.

Di lain waktu kucari diriku di kota-kota besar, tempat iklan-iklan, gedung-gedung dan mal-mal berdesakan saling berebut perhatian. Jalan-jalan penuh manusia kususuri demi sebuah pencarian akan diri sendiri. Nihil. Yang kudapati hanya boneka demi boneka, terpajang di etalase dunia. Mainan manis yang siap dibeli, menghibur, dipereteli. Mereka senang dikendalikan sang waktu, demi sebuah kiamat yang jadwalnya tak pernah mereka tahu.

Di sana aku tetap tak menemukan diriku. Aku hanya si lugu, yang tak pandai menawar harga boneka-boneka itu. Padahal boneka-boneka itu telah berdebu, asyik melempar senyum yang mereka kira akan memancing dan membelinya dengan basa-basi dan cinta yang tak abadi.

Di lain masa, kucari diriku di tengah samudera. Kucoba hidup di belahan dunia tak berpasir, hanya air dan air. Kureguk badai, angin dan ombak yang ganas. Tiada manusia selain aku, kapal, dan padang air yang maha luas. Pada awalnya aku merasa menemukan diriku yang lain. Kunikmati menyelam ke dasar diri sendiri, berdiskusi di tengah sunyi tak bertepi.

Namun yang datang hanya rasa hampa dan kebekuan yang menjerat. Tak kutemui tempat berbagi rasa, cermin paling sempurna, tempat aku dapat meneropong borok-borok diri yang sudah lama menyebar di sudut-sudut jiwa, mendamparkanku kembali ke pulau kelahiranku, merasa sia-sia dengan pencarian seperti itu.

***

Di suatu hari yang gelap, tanpa mentari dan bulan dan bintang, kucari diriku di sebuah ruangan penuh asam dan aroma sengak alkohol. Di sana gerombolan monster saling mangsa dengan pasukan drakula, silih berganti. Sungguh, mereka demikian bersemangat sekaligus bangga memamerkan taringnya yang mengkilat sambil menari-nari. Seolah-olah mereka berteriak padaku, “Inilah kami, monster paling ganas di muka bumi.” Aku ngeri, ingin muntah.

Ditingkahi teriakan yang bagai lengking serigala, mereka sibuk meminum air kental merah yang tersimpan dalam tubuh vampir-vampir, saling mangsa dengan iringan musik yang aneh. Kepalaku pusing. Otakku mendesak untuk keluar dari ruangan itu. Barangkali sebagai pertanda bahwa petualanganku sia-sia.

Semua kejadian itu membuat rasa penasaranku bertumpuk-tumpuk. Siapakah diriku sebenarnya, diri yang misterius dan selalu bersembunyi di balik tubuhku? Padahal diriku telah cukup lama hidup, mengembarai banyak peristiwa yang kadang tak bisa kupahami, kadang tak kuharapkan terjadi. Pernah kuimpikan jadi seorang Nabi, agar tak sibuk menghindari dosa yang menghantui. Tapi ternyata aku ditakdirkan menjadi diriku yang sekarang oleh Tuhan. Diri yang selalu bertanya tentang diri yang sebenarnya.

***

Merasa lelah dengan pencarian yang tak berujung, aku pulang ke gubukku yang reot, penuh kertas-kertas puisi. Kucoba tenangkan pikiran, berbaring di balai-balai yang lapuk. Dunia yang kulalui seharian bagai kasino tempat manusia mempertaruhkan dirinya. Aku sadar, diriku adalah bagian dari semua itu.

Tapi aku tak pernah ingin jadi penjudi. Aku hanya ingin jadi cicak di loteng kasino itu, menghitung dosa-dosa para penjudi dengan mataku yang kecil tapi tajam, melaporkan pada Tuhan tentang kebebalan mereka yang semakin menjadi-jadi. Kupikir, andai Tuhan menerima laporanku dan memintaku kembali ke kasino itu sebagai cicak yang lugu, aku sudah merasa menemukan separuh diriku.

Sayang, itu semua tetaplah hanya angan-angan. Tidur yang panjang, tempat di mana aku yakin akan menemukan diriku yang sebenarnya belum juga melanda. Dengan sedikit gontai kuambil pena, menulis segala yang ada di otakku ke dalam diari.

Di sana kupindahkan seluruh panorama yang tergambar di kepala, terutama sawah yang pernah membentang dalam tidurku. Langit sore yang dihiasi awan tipis melatari pemandangan seluas jangkauan mata. Burung-burung bersiliweran, mendendangkan kepermaian bumi yang di pagi hari diselubungi embun suci.

Angin bagai kabut bening, menyungkupi dunia dengan butir-butir oksigen dari surga. Orang-orang berwajah tenang, tak pernah menghisap rokok ataupun ganja, tak terjebak dalam konflik dan sumpah serapah di dunia nyata maupun maya. Dosa tak pernah hinggap di kamus mereka. Keluh kesah menjauh sebagaimana luka. Yang ada hanya saling puji dan ungkapan sayang, penuh ketulusan. Inikah nirwana?

Merasa itu semua terlalu muluk dan tak mungkin terjadi, kuhentikan tanganku menulis. Kepalaku memberat, mataku minta istirahat. Setengah tak sadar kugapai kasur kumalku, menurunkannya ke lantai, menyongsong kantukku.

Segera episode tidur melemparku ke pojok lantai atas sebuah gedung pencakar  langit. Makhluk-makhluk aneh meramai, menyesak mengisi seluruh ruang. Aku yakin, mereka bukanlah manusia, sebab yang mereka lakukan alangkah bejatnya. Dengan mudahnya mereka melahap daging anggota kelompoknya sendiri, daging bangsa yang diyakini oleh mereka sebagai manusia.

Minuman itu, bukankah amat mirip nanah? Sementara di sudut yang lain, sekelompok makhluk sibuk menghisap benda seperti rokok, tapi terbuat dari bahan keras serupa besi. Mata mereka, seperti mata yang sering kutemui di pusat rehabilitasi narkoba, begitu sayu namun sarat nafsu.

Gawai di tangan mereka memancarkan sinar aneka warna yang menusuk mata. Yang lain menempelkannya di telinga, sementara sisanya menghempas benda pipih itu ke sudut-sudut plafon. Kucoba dekati mereka dengan kegamangan tak terkira.

“Siapakah kau, dan makhluk yang lain itu?” tanyaku pada salah satu dari mereka yang menurut pandanganku paling mendekati figur manusia.

“Kami manusia, butakah matamu?”

Benarkah mereka manusia? Kepala mereka lebih mirip kubus yang penuh sirkuit berlampu, tempat komponen-komponen elektronik bersarang dan bekerja. Dada mereka begitu transparan sehingga yang terlihat dari luar hanya baterai dan dada yang berdenyut-denyut mengalirkan semacam aliran listrik bertegangan tinggi. Darah mereka tidaklah merah melainkan hitam legam, seperti tinta yang melata, menjalari seperangkat mesin elektronika.

Mereka mengaku manusia. Keherananku menjadi-jadi. Otakku mengejar-ngejar jawaban yang tak kunjung tiba. Benarkah gedung ini berisi manusia? Ataukah gudang penyimpan monster-monster barbar yang pernah hidup di zaman purba?

Merasa tak betah dikelilingi pertanyaan-pertanyaan gila seperti itu, kularikan diri menggapai lift, mencoba turun, kembali ke tempat yang kurasa dunia. Namun dinding-dinding beton yang penuh dengan lukisan-lukisan absurd mengurungku. Lukisan-lukisan itu menertawaiku dengan garang, menjulurkan lidahnya yang bercabang. 

Benda-benda mengaku manusia itu mati-matian mengejarku, mengepung-menyemut di depan dan belakangku, memburuku penuh dahaga. Segera aku berteriak sekuat tenaga, mengerahkan seluruh energi tersisa.

Tiba-tiba aku terjaga, suaraku serak, kerongkonganku tersekat, udara di kepala bagai topan mendesak otak. Matahari meninggi, menyusupkan cahaya menyengat ke celah-celah loteng bolong gubukku. Dadaku sesak, penuh kerikil kecemasan.

Aku bangkit, menggapai-gapai cermin yang tergantung miring di kusen jendela. Kutatap wajahku sendiri, wajah yang asing dan mengaku milik seorang manusia. Betapa kecewanya aku mendapati cermin itu tak menyimpan sawah yang pernah kubayangkan dalam tidurku.

Ah, dadaku semakin sesak, menggusur rencana yang sudah kususun sedemikian rupa demi bertemunya diriku yang sesungguhnya.

Jantungku berdegup melebihi kecepatan suara, napasku kembang-kempis ketika cermin itu retak tiba-tiba. Gemuruh suara monster ganas menggedor pintu gubukku bagai ledakan bom atom. Mereka teriakkan namaku seperti memburu pesakitan.

Mataku menggelap, alam mengabur, mengajak-desakku terbang mengiringi mimpi mencari manusia. Di reruntuhan tenaga kugapai gelas berisi sisa kopi kadaluarsa. Kureguk sebelum kulayangkan ke arah pintu.

Gelas itu pecah berkeping-keping setelah tepat menerpa triplek lapuk itu kala segerombolan serigala-serigala kadang mirip monster kadang mirip zombi berganti memenuhi pandangan mataku, menyerbuku setelah menerjang gembok usang bin berkarat. Mereka mengaku manusia, berlomba menyerang tak sabar, mencabik-cabik rakus daging dan rangka yang kuhuni.

“Tangkap orang gila itu!!!”

“Pasung dia!!”

“Hajar!”

“Bakar!!!”

Mereka mengaku manusia, dan sawah yang kuarungi setelahnya menegaskan pemandangan yang lain dalam tidurku. Tidur yang panjang, di rusuknya aku masih saja mencari seorang mengaku manusia penghuni tubuhku. Bedanya kini, tubuh itu melayang-layang di galaksi tanpa warna, tak berawan, tak berbintang, tak bertujuan. Hanya tubuh dan tidurku.[*]

Hull-Padang, Akhir 2020.

MOHAMMAD ISA GAUTAMA, Merupakan Kolumnis dan Penyair, sesekali menulis cerpen. Buku kumpulan kolom dan esainya Politik tanpa Dialog (2020) dan Modernisme tanpa Pengaman (2020). Buku puisinya Jalan Menangis Menuju Surga (2018) dan Bunga yang Bersemi kala Aku Sunyi (2019). 

Mohammad Isa Ga