Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Sam Edy Yuswanto
sumber gambar koleksi pribadi

Buku berjudul "Mereka yang Disandera Cinta kepada Allah Ta'ala" ini merangkum biografi para sufi yang begitu gigih menjalani kehidupan dengan selalu mengharap keridaan Tuhan.

Sufi, berdasarkan catatan Wikipedia adalah penyebutan untuk orang-orang yang mendalami sufisme atau ilmu tasawuf. Total ada 81 sufi yang dikisahkan dalam buku yang bisa menjadi bahan introspeksi bagi para pembaca yang ingin meningkatkan kualitas ibadahnya kepada-Nya.

Syaikh Ibrahim as-Samarqandi adalah salah satu sufi yang berasal dari Samarkand. Sebagai seorang sufi, ia memulai perjalanan spiritualnya melalui sikap dan perilaku yang sopan, baik terhadap sesama maupun (terutama) terhadap Allah Taala. Secara sufistik bersikap sopan di hadapan-Nya adalah mengakui dengan sepenuh hati segala kemahaan-Nya yang tak bertepi. Itu di satu sisi. Sementara di sisi lain adalah menyerahkan diri secara habis-habisan melalui pintu kepatuhan terhadap berbagai perintah dan ketentuan hadirat-Nya. Walaupun di antara sekian perintah itu tak kunjung terpahami.

Sedangkan di hadapan sesama makhluk, sikap sopan itu akan muncul sebagai kerendahan hati yang begitu indah dan mengagumkan. Tak terlintas untuk bersikap jumawa sedikit pun. Karena  sadar bahwa sejumlah kekurangan itu merupakan atribut-atribut yang permanen. Di situ yang akan senantiasa menjadi hiasan tak lain adalah penghormatan, cinta, dan kasih sayang (hlm. 48-49).

Sufi selanjutnya yang dikisahkan dalam buku ini bernama Syaikh Bisyr al-Hafi. Berasal dari salah satu desa di Merv atau Aleksandria. Pada awalnya, ia seorang pemabuk dalam artian betul-betul negatif. Hingga suatu hari ketika masih sempoyongan usai mabuk, ia menemukan secarik kertas bertuliskan kalimat basmalah di tengah jalan. “Ini nama Tuhanku. Ini sangat mulia. Tidak boleh ada di jalan seperti ini” ungkapnya.

Singkat cerita, untuk memuliakan kertas bertuliskan basmalah tersebut, ia berusaha membersihkannya dari kotoran, bahkan membalurinya dengan minyak wangi dan diletakkan di lemari paling atas. Saat tidur, ia bermimpi mendengar suara bergema; “Karena sudah kau harumkan nama-Ku, maka akan Kuharumkan namamu di dunia ini dan di akhirat nanti”.

Setelah peristiwa secarik kertas itu, ia masih belum kunjung insaf dari kebiasaan mabuknya. Hingga suatu hari, ia didatangi seorang wali yang sebelumnya bermimpi sebanyak tiga kali, intinya agar mencari keberadaan Bisyr al-Hafi. “Carilah Bisyr bin al-Harits dan katakan kepadanya bahwa dia sudah dipanggil oleh Allah”. Ketika sang wali menyampaikan hal tersebut pada Bisyr, atas izin-Nya kemudian Bisyr pun bertobat dan tak lagi mabuk-mabukan. Hidup dan matinya lantas semata terfokus kepada Allah belaka (hlm. 58).

Said bin Sallam Abu Utsman al-Maghribi juga termasuk sufi yang memiliki kisah menarik di balik keputusannya menempuh jalan spiritual atau keilahian. Ia berasal dari kota Kairouan, Tunisia. Tinggal di Mekkah selama beberapa tahun. Kemudian pindah ke Nisapur. Tentang peristiwa yang menyebabkan dirinya menempuh jalan keilahian, ia menuturkan sendiri kisahnya sebagaimana berikut ini:

“Yang menjadi pemicu taubat dan permulaanku memasuki lorong rohani adalah bahwa aku memiliki kuda dan anjing. Dengan kedua binatang itu setiap hari aku pergi untuk berburu. Di dalam berburu aku membawa sebuah kendi yang kuisi susu untuk diminum. Pada suatu hari aku ingin minum susu dalam kendi itu. Seketika itu juga anjingku menggonggong dengan sangat keras. Aku mau minum susu lagi, anjingku malah menggonggong lagi dengan lebih keras. Saat aku mau meminum lagi untuk ketiga kalinya dengan cepat anjingku lalu mendahului minum susu di kendiku.

Setelah itu seluruh tubuh anjingku menjadi bengkak. Tak lama kemudian ia lalu mati. Ternyata anjingku berbuat demikian lantaran ia telah melihat seekor ular minum dari susu dalam kendiku. Ia telah rela menggantikan diriku dengan dirirnya sendiri. Setelah peristiwa itu aku langsung bertaubat dan memasuki jalan rohani ini”.

 Salah satu hikmah yang bisa dipetik dari kisah pertaubatan Said bin Sallam Abu Utsman al-Maghribi ialah bahwa makhluk apa saja, termasuk yang sering kali dipojokkan dan dihina oleh banyak orang seperti anjing, dengan penuh kasih sayang bisa digunakan oleh Allah Swt untuk menolong siapa pun yang dikehendaki-Nya. Dalam konteks ini, apa saja bisa menjelma sebagai pertolongan Tuhan semesta alam. Karena itu, pandanglah segala sesuatu sebagai kemungkinan yang bisa menjelma “tangan” kemahaan-Nya (hlm. 179-180).  

Menarik sekali membaca kisah perjalanan para sufi dalam buku karya Kuswaidi Syafiie ini. Kisah mereka setidaknya dapat menjadi bahan renungan sekaligus mampu menggugah kesadaran dan nurani kita, agar selalu berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan dan selalu berupaya bersikap baik terhadap makhluk-Nya, sehingga kelak kita dapat termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung. 

Sam Edy Yuswanto

Penulis lepas mukim di Kebumen           

Sam Edy Yuswanto