Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Intan Cahyani
Ilustrasi Gunung Berapi. (pexels.com)

Indonesia merupakan salah satu negara yang masih banyak dikelilingi gunung berapi aktif dan beberapa di antaranya berstatus waspada dan siaga. Oleh sebabnya, bukan perkara baru bagi Indonesia mengenai bencana erupsi gunung berapi. Misalnya saja yang terjadi pada Gunung Semeru di Jawa Timur, di mana mengalami erupsi pada Sabtu (4/12/2021) sekitar pukul 15.00 WIB. Erupsi yang dialami gunung tertinggi di Pulau Jawa itu disertai dengan guguran lava dan awan panas.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai gunung berapi, erupsi, serta dampaknya, mari kita simak penjelasan mengenai bencana itu sendiri. 

Apa itu bencana dan mitigasi bencana?

Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian kejadian yang bisa mengancam atau mengganggu kehidupan manusia. Bencana dapat disebabkan oleh faktor alam, non alam maupun manusia yang dapat menyebabkan timbulnya korban jiwa, baik manusia maupun hewan, lalu kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Contoh bencana ini seperti letusan gunung, banjir, tsunami, dan tanah longsor. 

Gunung Berapi menjadi salah satu bencana alam di Indonesia yang sering kali menimpa di beberapa wilayah. Meletusnya gunung berapi memiliki dampak negatif bagi lingkungan maupun kesehatan dan berpotensi juga menimbulkan banyak korban jiwa. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui hal-hal untuk meminimalisir dampak negatif tersebut atau biasa disebut sebagai mitigasi bencana sebelum gunung berapi meletus. 

Mitigasi Bencana adalah upaya atau usaha kegiatan untuk mengurangi risiko bencana melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana).

Bagaimana mitigasi bencana pada Gunung Berapi?

1. Peringatan Dini

Peringatan dini ini berguna untuk menyampaikan informasi terupdate mengenai status aktivitas gunung berapi dan dapat langsung mengambil tindakan-tindakan yang harus diambil oleh berbagai pihak dan terutama oleh masyarakat yang terancam bahaya. 

Ada 4 status peringatan dini berdasarkan tingkat daruratnya untuk mitigasi bencana letusan gunung berapi, yakni Aktif Normal, Waspada, Siaga, dan Awas. Berikut penjelasan lebih lanjut.

  • Aktif Normal: Sebagai level 1, yaitu aktivitas gunung berapi berdasarkan data pengamatan instrumental (alat-alat yang digunakan untuk mendapatkan atau mengumpulkan data) dan visual (menggunakan indera penglihatan) tidak menunjukkan adanya gejala yang menuju pada kejadian letusan.
  • Waspada: Sebagai level 2, yaitu aktivitas gunung berapi berdasarkan pengamatan data observasi visual dan instrumental menunjukkan aktivitas telah meningkat melebihi kondisi aktivitas normal. Pada tingkat waspada ini, peningkatan aktivitas bisa menjadi lebih serius atau aktivitas lebih lanjut dapat menyebabkan letusan (erupsi), tetapi juga dapat kembali normal. Pada tingkat waspada ini penyuluhan secara langsung akan dilakukan di desa yang berada di kawasan rawan bencana gunung berapi.
  • Siaga: Sebagai level 3, yaitu peningkatan aktivitas gunung berapi terlihat semakin jelas, baik secara instrumental maupun visual, sehingga berdasarkan evaluasi dapat disimpulkan bahwa keaktifan gunung dapat diikuti oleh letusan. Dalam kondisi Siaga, penyuluhan dilakukan secara berkala. Sasarannya adalah penduduk yang tinggal didekat kawasan rawan bencana, aparat dijajaran SATLAK PBP (Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi), dan LSM (Lembaga swadaya masyarakat) sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan atau bantuan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Selain itu, masyarakat yang tinggal didaerah rawan bencana sudah harus siap mengungsi.
  • Awas: Sebagai level paling darurat, yaitu analisis dan evaluasi data menunjukkan bahwa aktivitas gunung berapi mendekati atau memasuki fase letusan utama. Dalam kondisi Awas, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana diperkirakan akan diserang oleh awan panas yang akan datang. Dalam keadaan ini, masyarakat telah dievakuasi dari zona bahaya utama awan panas.

2. Sirene peringatan dini dan komunikasi radio

Sirene peringatan dini adalah sistem perangkat keras yang hanya berfungsi dalam situasi sangat mendesak di mana peringatan dini tidak mungkin atau tidak sempat untuk dilakukan. Sirene ini dipasang dilereng gunung berapi untuk menjangkau desa-desa yang paling rentan terkena bencana. Sistem sirene ini dikelola secara bersama-sama oleh pemerintah Kabupaten setempat dengan Pusat Vulkanologi dan mitigasi Bencana Geologi. 

3. Penyebaran Informasi

Mitigasi bencana gunung berapi akan berhasil dengan baik dan efektif apabila dilakukan secara terencana antara pemantauan gunung berapi yang menghasilkan data yang akurat secara visual dan instrumental, peralatan yang modern, dan sistem peringatan dini. Terlebih saat ini, peralatan komunikasi sudah canggih, sehingga dapat merespons atau menyebar informasi lebih cepat saat ada bencana maupun perkembangan kondisi bencana itu sendiri. Selain itu, didukung juga dengan tingkat pemahaman dan kesadaran yang kuat dari masyarakat untuk melakukan penyelamatan diri dari bencana. 

Bahaya abu vulkanis bagi kesehatan

Salah satu zat yang erupsi gunung berapi adalah abu vulkanis. Partikel abu vulkanis ini ukurannya bervariasi. Semakin kecil ukuran partikel abu vulkanis, semakin jauh abu vulkanis akan tertiup angin sehingga menyebar ke daerah yang lebih jauh.

Saat dilihat di bawah mikroskop, abu vulkanis berbentuk padatan keras seperti batu. Selain itu, permukaan partikel abu vulkanis kasar dan tajam, sehingga dapat menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan, mata, dan kulit, seperti dilansir Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Menurut The International Volcanic Health Hazard Network, secara umum abu vulkanis menyebabkan masalah kesehatan khususnya menyebabkan iritasi pada paru-paru, kulit, dan mata. Kulit tubuh juga bisa terkena dampak abu berupa gatal-gatal, iritasi, dan infeksi, terutama ketika abu vulkanis tersebut bersifat asam. Kondisi ini bisa juga diakibatkan oleh perubahan kualitas air yang sudah tercemar abu vulkanis.

Referensi

Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG).

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Jurnal Peneliti Muda Kesehatan Lingkungan bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI).

Intan Cahyani

Baca Juga