Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Rizky Melinda Sari
Ilustrasi bendera dan pemandangan indah Indonesia (pexels.com)

Pasti kamu pernah melihat dan membaca teks Sumpah Pemuda, bukan? Ada yang berbeda antara penggunaan dan penulisan ejaan pada teks tersebut dengan ejaan yang sekarang. Sebenarnya, ejaan bahasa Indonesia tidak serta merta ada seperti sekarang.

Banyak usaha-usaha yang dilakukan dalam penyempurnaanya hingga menjadi ejaan yang nyaman dibaca seperti sekarang ini. Berikut adalah perkembangan ejaan Bahasa Indonesia dari masa ke masa yang harus kamu ketahui.

1. Ejaan van Ophuijsen

Van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi yang bergelar Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim merupakan tokoh-tokoh yang merancang awal ejaan bahasa Indonesia ini. Pada tahun 1901, van Ophuijsen membuat ejaan resmi bahasa Melayu yang dimuat dalam Kitab Logat Melayu. Ciri-ciri ejaan ini, antara lain huruf dibaca y (jang, pajah), huruf oe (goeroe, itoe),  dan tanda diakritik seperti koma ain dan tanda trema (ma'moer, pa'). 

Pada tahun 1908, sebuah penerbit buku bernama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat) didirikan oleh pemerintah dan pada tahun 1917 berubah nama menjadi Balai Pustaka, yang menerbitkan buku-buku seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, dll. Ejaan ini berlaku selama 46 tahun sebelum digantikan oleh Ejaan Soewandi.

2. Ejaan Soewandi

Pada masa awal kemerdekaan, ejaan van Ophuijsen diganti oleh pemerintah menjadi ejaan Soewandi, tepatnya pada tanggal 19 Maret 1947. Karena saat itu umur kemerdekaan Indonesia baru 2 tahun, ejaan bahasa Indonesia ini disebut juga ejaan Republik, sekaligus untuk menunjukkan semangat kemerdakaan.

Ciri-ciri ejaan ini antara lain huruf oe diganti menjadi (guru, itu), bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan huruf k (tak, pak), kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 (kanak2, ke-barat2-an), awalan di- dan kata depan di tidak terdapat perbedaan dan sama-sama ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya (didapur, dimakan). Pada tahun 1953, Kamus Bahasa Indonesia diterbitkan untuk pertama kali, dengan memuat sekitar 23.000 lema atau kata.

3. Ejaan Melindo

Ejaan bahasa Indonesia selanjutnya, yakni Melindo: Melayu-Indonesia. Ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Ejaan ini tidak hanya berkaitan dengan Republik Indonesia, tetapi juga dengan negeri-negeri tetangga kawasan Melayu seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Ejaan ini batal diresmikan pada masanya karena faktor perkembangan politik di tahun-tahun berikutnya.

4. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)

Lebih dari 30 tahun EYD bertahan dalam penggunaan serta pedoman ejaan bahasa Indonesia. Ejaan ini diresmikan pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh presiden kedua Republik Indonesia yaitu Presiden Soeharto di hadapan sidang DPR. peresmian ini diperkuat dengan Putusan Presiden No. 57 Tahun 1972.

Pada tanggal 31 Agustus 1972, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah NKRI.

5. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI)

PUEBI didasarkan pada Permendiknas No. 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.

Pada Permendiknas tersebut, PUEBI dipergunakan bagi instansi-instansi pemerintah, swasta, serta masyarakat dalam penggunaan ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Itulah 5 perkembangan ejaan Bahasa Indonesia dari masa ke masa. Sebagai calon pemegang masa depan bangsa Indonesia, kita sebagai generasi penerus harus bisa dan mampu menggunakan serta melestarikan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Kita bisa ikut berkontribusi dalam membenarkan serta meluruskan ejaan-ejaan yang kurang tepat dengan mempelajari PUEBI serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Rizky Melinda Sari