Sungguh menarik membaca buku berjudul ‘Sweet Nothings’ karya Wimar Witoelar yang memiliki segudang pengalaman hidup dan wawasan nan sangat luas ini. Wimar adalah pria kelahiran Padalarang, 14 Juli 1945. Dulu, ketika menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Bandung, ia merasakan kenormalannya mulai hilang dengan bangkitnya kesadaran kuat pada masyarakat sekelilingnya. Dengan latar belakang hidup di Eropa dan bermacam-macam bacaan yang banyak digemarinya, ia merasa hidupnya tertekan dalam tahun-tahun terakhir rezim Sukarno dengan segala kekacauannya.
Ketika para mahasiswa terlibat dalam aksi pada 1966, Wimar menjadi peserta yang aktif, bahkan memimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa. Ia kemudian menjadi Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITB, mendapat pengalaman yang sangat menarik sehingga membuatnya bosan kuliah.
Setelah aksi mahasiswa reda ia menyadari bahwa sekolahnya telantar selama 7 tahun (1963-1970). Ia juga melihat bahwa harapan pada pemerintahan baru mulai dikecewakan oleh politik Suhartao yang mulai mengingkari demokrasi. Ia menginginkan “masa depan yang lebih pribadi” sehingga ia pun memutuskan meninggalkan ITB dan melanjutkan studi di Amerika Serikat.
Bicara tentang demokrasi, menurut Wimar, di negara demokrasi maju, tidak perlu ada kekayaan pribadi, kecuali dalam kekayaan pikiran. Materi kehidupan disediakan sebagai infrastruktur kehidupan. Berdasarkan pengalaman Wimar, kehidupan di Amsterdam sangat berbeda dengan Jakarta yang berjarak seperempat putaran Bumi.
Di sana, atau tepatnya di wilayah Negeri Belanda, orang kaya ataupun orang miskin sama-sama tinggal di rumah kecil, tetapi berfasilitas lengkap, sampai-sampai menular ke mahasiswa Indonesia di negeri seberang ini. Kalau di California, orangtua mahasiswa Indonesia bisa dibedakan dari merek mobil —Ford atau Maserati— di Belanda semua mahasiswa naik sepeda, bus, atau kereta api.
Gubernur DKI (di sini Wimar tak menyebutkan nama gubernur serta periode tahun berapa) mengingatkan bahwa masa setelah Lebaran adalah masa sulit bagi kota besar seperti Jakarta. Masa itu adalah masa balik orang yang mudik kampung. Menurutnya, bersamaan dengan orang yang kembali ke tempat kerja masing-masing, sejumlah pendatang baru mencari pekerjaan. Ada yang punya rencana khusus, ada yang untung-untungan mengadu nasib.
Kasihan, orang mencari nafkah di tempat asal tidak bisa, di tempat tujuan mendapat sambutan yang tidak ramah, bahkan menjadi korban kekasaran pemeriksaan kartu tanda penduduk alias KTP. Seperti biasa,yang mendapat perlakuan kasar adalah rakyat biasa. Orang kelas menengah dan atas bebas pindah dari satu wilayah ke wilayah lain tanpa digeledah (Sweet Nothings, halaman 10).
Cukup mencerahkan membaca pikiran-pikiran kritis Wimar Witoelar dalam buku kumpulan esai berjudul “Sweet Nothings” yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka (2014) ini. Selamat membaca.
Baca Juga
-
Seni Mengatur Waktu dengan Baik dalam Buku "Agar Waktu Anda Lebih Bermakna"
-
Buku Perjalanan ke Langit: Nasihat tentang Pentingnya Mengingat Kematian
-
Ulasan Buku Resep Kaya ala Orang Cina, Cara Menuju Kekayaan yang Berlimpah
-
Ulasan Buku "The Wisdom", Merenungi Kebijaksanaan Hidup
-
Tuhan Selalu Ada Bersama Kita dalam Buku "You Are Not Alone"
Artikel Terkait
Ulasan
-
Ulasan Novel Group: Perjalanan Christie Tate Menemukan Koneksi Emosional
-
Ulasan Novel Rumah Tanpa Jendela: Tidak Ada Mimpi yang Terlalu Kecil
-
Ulasan Novel A Farewell To Arms: Kisah Tentang Perang, Cinta, dan Kesetiaan
-
Ulasan Film War 2: Aksi Samurai hingga Drama yang Bikin Baper
-
Misteri Raibnya Para Penduduk dalam Buku Spog dan Spiggy di Planet Alotita
Terkini
-
4 Toner Korea Centella Asiatica untuk Kulit Sensitif dan Redakan Iritasi!
-
Memaknai Literasi Finansial: Membaca untuk Melawan Pinjol dan Judol
-
Sinopsis Drama China Fell Upon Me, Tayang di iQIYI
-
Lembapnya Tahan Lama! 4 Toner Korea Hyaluronic Acid Bikin Wajah Auto Plumpy
-
Do What I Want oleh Monsta X: Rasa Bebas dan Percaya Diri Melakukan Apa Pun