Keinginan menulis dan keinginan menjadi penulis, hanya akan menjadi kenyataan apabila apa yang ingin ditulis benar-benar ditulis. Ketika menulis apa yang akan ditulis, maka itu menjadi tulisan. Ketika apa yang ingin ditulis hanya berhenti pada tingkat ingin, masih berbentuk gagasan, lamunan, maka kita tidak akan pernah menjadi penulis. Tulisan kita tidak akan menjadi kenyataan.
Dalam buku Menulis Mari Menulis, Ersis Warmansyah Abbas telah mengurai dengan gambang terkait dengan dunia tulis-menulis. Yang semula menulis itu terkesan ‘susah dan menyusahkan’, setelah baca buku ini dijamin persepsi tersebut akan berbalik seratus delapan puluh derajat dengan ungkapan menulis itu ternyata ‘mudah dan memudahkan’.
Membaca buku ini apa yang menjadi kendala dalam menulis akan hilang ke ruang tak bertepi. Hambatan, minder, rasa takut, ganjalan, menyalahkan diri atau apapun namanya, tidak akan berbekas lagi. Akan berubah dengan sebuah penyadaran bahwa menulis itu mudah, sangat mudah dan memudahkan. Menulis tidak lebih dengan senda gurau. Begitu entengnya, begitu mudahnya.
Dalam buku ini, Ersis mengajak kita untuk tidak terpaku hanya pada teori menulis sementara minim praktik. Pada halaman 4 di dalam buku ini, Ersis mengemukakan, “Kalau boleh memberi nasihat, Sampeyan tidak usah lagi menambah ilmu menulis, belajar tata bahasa, buka kamus mengeja kosakata, mempelajari gramatika, sampai hermeneutika dan semantik. Bukan di situ pokok soalnya. Jika ingin mengasah kemampuan menulis, caranya dengan menulis, bukan belajar teori bahasa atau teori menulis. Jangan sampai, kepala yang gatal tapi yang digaruk pantat.”
Ersis mengarahkan kita untuk melatih kemampuan menulis dengan menulis, menulis dan terus menulis lagi. Tulis dulu. Tinggalkan kebiasaan diskusi, baik dengan diri sendiri, apalagi dengan orang lain. Kita yang punya ide, kita yang menulis. Lupakan teori ketika menulis. Kalau kemampuan teori yang dipahami masih kurang, pelajari setelah menulis, setelah tulisan itu jadi. Jadi, jangan dibalik. Kalau sampai mati mempelajari teori, lalu kapan realisasi menulisnya?
Intinya, kemampuan menulis didapat dari latihan yang dilakukan secara berkesinambungan, bukan dari terus-menerus belajar teori menulis. Sebuah kekeliruan apabila ingin menulis dengan terus-terusan belajar teori. Menulis seperti salat, tidak cukup dengan teori saja, tapi butuh praktik.
Baca Juga
-
Menkeu Purbaya Ancam Tarik Anggaran Program Makan Gratis jika Penerapannya Tidak Efektif
-
Ferry Irwandi Ungkap Jumlah Orang Hilang pada Tragedi 25 Agustus yang hingga Kini Belum Ditemukan
-
Nadya Almira Dituding Tak Tanggung Jawab Usai Tabrak Orang 13 Tahun yang Lalu
-
Vivo V60 Resmi Rilis, Andalkan Kamera Telefoto ZEISS dan Snapdragon 7 Gen 4
-
Review Buku Indonesia Merdeka, Akhir Agustus 2025 Benarkah Sudah Merdeka?
Artikel Terkait
Ulasan
-
Rumah Tangga: Mengintip Kehangatan dan Kejujuran di Balik Pintu Keluarga
-
Review Film Jembatan Shiratal Mustaqim: Horor Moral yang Mirip Sinetron
-
Membaca Drama 'Genie, Make a Wish' Lewat Lensa Pengasuhan Kolektif
-
Review Film Ballad of a Small Player: Visual Ciamik tapi Kesan Akhir Kosong
-
The Principles Of Power: Rahasia Memanipulasi Orang Lain di Segala Situasi
Terkini
-
Refleksi Satu Tahun Komunikasi Publik Pemerintahan Presiden Prabowo
-
Kreator Frieren: Beyond Journeys End Hiatus Lagi karena Masalah Kesehatan
-
Fakta Ironis Patrick Kluivert, Tak Mampu Dapatkan 1 Poin Pun saat Bertanding di Luar Kandang!
-
Ditolak Lagi: Mental Load di Tengah Persaingan Kerja
-
4 OOTD Mawar Eva, Pesona Anggun Pemain Film Sampai Titik Terakhirmu!