Salah satu penulis favorit saya adalah Mas Dam, lengkapnya Damhuri Muhammad. Ia lahir di Padang, 1 Juli 1974. Selain menulis cerpen, ia juga menulis esai sastra dan resensi buku, serta menyunting naskah fiksi terjemahan. Cerpennya yang berjudul LARAS, terpilih sebagai nominasi ke-2 dalam Sayembara Menulis Cerpen se-Indonesia yang diselenggarakan dalam rangka ulang tahun harian Lampung Post, 2004.
Saya suka sekali membaca cerpen-cerpen karya Mas Dam, termasuk cerpen-cerpen yang termuat dalam buku berjudul Lidah Sembilu ini. Buku ini berisi 16 cerpen karya Mas Dam. Tentunya bukan cerpen sembarang cerpen. Mas Dam bukan penulis kaleng-kaleng. Ia terlahir sebagai penulis dengan mengantongi segudang pengetahuan dan pengalaman yang berjibun.
Perihal kesukaan saya pada cerpen-cerpen Mas Dam, salah satunya sebab ia dalam membuka cerita sungguh menggigit, menendang, mengena sekali atau apapun istilah lainnya. Hal ini bisa kita cek dalam paragraf awal setiap ceritanya.
Salah satu contoh dalam cerpen pertama di buku ini yang berjudul Karnaval Pusar. Mas Dam membuka kisahnya dengan menulis:
Dulu, saat kota ini belum bernama, belum tertulis dalam peta dan ruas-ruas jalan belum tergilas roda, leluhur kami pernah resah karena peristiwa aneh perihal kelahiran seorang bayi. Mestinya kelahiran bayi disambut senyum ramah dan tawa girang sebagai tanda syukur pada anugerah Tuhan, bukan? Ya, tapi tidak bagi bayi yang lahir tanpa pusar! Setelah menyembul, bayi itu mengeyak dan langsung terlepas dari rahim perempuan yang mengejan melahirkannya. Dukun beranak tak perlu bersusah payah memutus tali pusarnya.
Bagi saya, awal kisah ini tersaji dengan sangat menarik. Sebab, penggambaran kejadian tidak biasa menjadi unik untuk ditelisik. Seperti pada pembukaan kisah di atas, lumrahnya bayi yang dilahirkan disambut dengan suka cita, namun tidak demikian pada saat lahirnya bayi tidak berpusar itu, para leluhur menjadi gelisah.
Contoh lain pada cerpen yang menjadi judul buku ini, yaitu Lidah Sembilu. Dalam cerita ini Mas Dam mengawalinya dengan tulisan:
Lebih baik perempuan itu mengakhiri riwayat Wildan. Menggorok lehernya, menikam belati di punggungnya atau membubuhkan racun serangga ke dalam gelas kopinya? Ya, memang lebih baik jika perempuan itu membunuh Wildan daripada terus menerus ia melukai Wildan dengan lidah bermata sembilu itu.
Begitu pun dengan cerpen-cerpen lain di buku ini. Mayoritas demikian faktanya. Damhuri Muhammad selalu memulai ceritanya dengan kejadian unik dan menarik, sehingga pembaca semakin termotivasi membacanya hingga akhir cerita.
Baca Juga
-
Suara Hati Rakyat kepada Para Pemimpin dalam Buku Bagimu Indonesiaku
-
Prosa Indah Riwayat Perang Bubat dalam Buku Citraresmi Eddy D. Iskandar
-
Cerdas dalam Berkendara Lewat Buku Jangan Panik! Edisi 4
-
Semangat Menggapai Cita-Cita dalam Buku Mimpi yang Harus Aku Kejar
-
Ulasan Buku 'Di Tanah Lada': Pemenang II Sayembara Menulis Novel DKJ 2014
Artikel Terkait
-
Ulasan Buku Bersyukur Tanpa Libur: Belajar Menerima Apa yang Kita Miliki
-
Suara Hati Rakyat kepada Para Pemimpin dalam Buku Bagimu Indonesiaku
-
Mengungkap Sisi Lain Jakarta dalam Novel Cerita-Cerita Jakarta
-
Cerdas dalam Berkendara Lewat Buku Jangan Panik! Edisi 4
-
Ulasan Buku The Alpha Girl's Guide: Menjadi Perempuan Smart dan Independen
Ulasan
-
Ulasan Buku My Home: Myself, Rumah sebagai Kanvas Kehidupan
-
Menggali Makna Kehidupan dalam Buku Seni Tinggal di Bumi Karya Farah Qoonita
-
Bisa Self Foto, Abadikan Momen di Studio Terbesar Kota Jalur
-
Ulasan Buku Bersyukur Tanpa Libur: Belajar Menerima Apa yang Kita Miliki
-
Ulasan Buku Bob Sadino Karya Edy Zaqeus: Mereka Bilang Saya Gila!
Terkini
-
Alfan Suaib Dapat Panggilan TC Timnas Indonesia, Paul Munster Beri Dukungan
-
Berbau Seksual, Lirik Lagu Tick Tack English Ver. Karya ILLIT Dikecam Penggemar
-
Jadi Calon Rekan Setim, George Russell Beri Bocoran Ini ke Kimi Antonelli
-
Menggali Xenoglosofilia: Apa yang Membuat Kita Tertarik pada Bahasa Asing?
-
Joko Anwar Umumkan Empat Film yang Akan Dirilis Sepanjang Tahun 2025-2026