Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Zein Zahiratul Fauziyyah
Tradisi Ebeg yang masih ada pada acara perpisahan sekolah. (Dok. Pribadi/Zahirazein)

Pada zaman digital saat ini manusia lebih tertarik kepada sesuatu yang jauh dari hadapan mata. Budaya sendiri seolah tertutupi oleh budaya lain yang dilihat dari sebuah layar. Walaupun tidak semua orang, namun kebiasaan itu seolah membutakan mata manusia kepada budayanya sendiri yang sudah di lestarikan oleh nenek moyang terdahulu. Tidak jauh berbeda dengan budaya Jawa yang mulai jarang dilestarikan yaitu Ebeg.  

Ebeg merupakan sebuah budaya seni yang berasal dari Jawa Tengah. Umumnya, Ebeg ini dilaksanakan pada kegiatan tertentu atau acara besar yang menanggap Ebeg. Seperti halnya pertunjukan kuda lumping, masyarakat Purbalingga, Cilacap, Kebumen dan sekitarnya mengenalnya dengan Tradisi Ebeg

Sebagai salah satu seni tradisional warisan budaya leluhur masyarakat jawa, Ebeg masih tetap menjadi hiburan favorit masyarakat. Baik di daerah asalnya maupun daerah lain di Indonesia. Yang menjadi ciri khas dari Ebeg, atraksi paling menarik yang ditunggu-tunggu dalam seni kuda lumping adalah kesurupan. 

Kesurupan dapat terjadi tanpa disengaja dimana makhluk halus yang merasa terusik keberadaannya akan berontak masuk kedalam badan manusia. Mitos yang berkembang di masyarakat, kesurupan biasanya terjadi karena sebab mengganggu suatu tempat seperti batu, pohon atau yang lainnya dimana tempat tersebut memiliki penghuni yaitu jin dan sebangsanya.

Namun berbeda dengan kesurupan yang terjadi dalam seni Ebeg. Kesurupan dalam kesenian ini terjadi karena disengaja dan atas kemauan manusia itu sendiri. Biasanya, terdapat seorang 'pawing' yang mampu bekerja sama dengan jin dan sebangsanya yang bertujuan untuk menjadi tontonan sehingga para pemainnya yang sudah kehilangan kesadaran mampu melakukan hal-hal yang terlihat luar biasa di mata manusia. 

Mulanya pemain akan menggunakan sebuah kuda lumping terlebih dahulu yang di selempangkan di badan kemudian dibacakan mantra oleh pawang yang disebut jantur dengan tangan pawing yang ditempelkan di kepala pemain. Kemudian setelah beberapa saat pemain akan tidak sadarkan diri dan mengamuk sejadi-jadinya.

Tandanya, jin telah merasuki tubuhnya sehingga pemain tidak mampu mengendalikan diri karena sudah dikuasai oleh jin.

Namun tidak sedikit juga yang langsung mengamuk ketika baru saja menyelempangkan kuda lumping dan belum dijantur. Karena mitosnya, setiap kuda lumping yang digunakan untuk seni Ebeg sudah lebih dulu ditempati penghuni yaitu dan sebangsanya. Bahkan penonton bias saja tertular hanya dengan menyenggol atau memandanginya saja. 

Terdengar menyeramkan karena diri seorang pemain tidak sadar dan dikuasai oleh makhluk halus. Bahkan tidak jarang yang sampai memakan pecahan kaca dan hewan secara hidup-hidup. Namun dengan mantra dan sesaji tertentu sudah menjadi kesepakatan dengan  para jin, sehingga sang pawing mampu mengendalikan jin tersebut. 

Zein Zahiratul Fauziyyah