Sebagai warga negara yang baik, kita perlu menegaskan diri bahwa di samping diatur oleh undang-undang, negara juga berdiri atas kesadaran publik. Artinya, negara dapat dikatakan sebagai negara jika ada rakyatnya, ada yang mengatur, dan ada wilayahnya. Kalau tiga hal di atas sudah terpenuhi, tinggal bagaimana pelayanan dan pengelolaan atas apa yang dikatakan sebagai negara itu maksimal.
Buku yang berisi ragam refleksi dari Budayawan yang dikenal dengan Cak Nun atau Emha Ainun Najib ini menegaskan bahwa pengelolaan negara tidak hanya bertumpu pada satu pokok pemerintahan atau pemerintah sebagai pemegang kebijakan.
Perlu disadari bahwa ada rakyat yang menjadi ujung tombak berjalannya sebuah negara. Rakyat adalah penguasa yang sebenarnya. Mengapa demikian?
Jawabannya sederhana, karena rakyatlah pemilik pembangunan. Sebuah negara tidak dapat menjalankan sebuah pembangunan tanpa adanya gotong royong dari rakyat. Pajak misalnya, rakyat selalu membayar pajak sebagai bentuk kesadaran akan pentingnya pembangunan.
Namun, sepanjang perjalanan sebuah negara agaknya para petinggi negara atau pemerintah salah sangka terhadap rakyat dan dirinya sendiri. Dikatakan dalam buku ini, bahwa "Mereka (para pejabat) menyangka bahwa mereka adalah atasan rakyat. Sementara rakyat adalah bawahan."
Konsep ini kerap ditemui ketika ada pejabat yang akan datang ke suatu daerah. Pasti akan ada ramai-ramai penyambutan, layaknya menyambut raja. Sekalipun pejabat tersebut tujuannya adalah kampanye dan tebar janji.
Buku yang berjudul Gelandangan di Kampung Sendiri ini adalah sebuah manifestasi intelektual dari pengaduan orang-orang pinggiran. Buku ini juga menjadi kaca benggala yang menunjukkan berapa perlunya sebuah kesadaran untuk menjadi manusia yang peduli kepada sesama.
Oleh karena itu, berbagai refleksi atas kehidupan sosial terekam dalam buku ini. Khususnya posisi rakyat itu sendiri. Rakyat adalah raja yang sebenarnya. Rakyatlah yang harus diayomi, dilayani dan dijunjung tinggi martabatnya.
Kalau hari ini masih banyak sekali rakyat yang miskin dan kekurangan dalam segala aspek sosial, maka seperti yang dikatakan dalam buku ini, bahwa para pejabat atau pemerintah masih salah sangka terhadap rakyat dan dirinya sendiri.
Buku ini menarik untuk dibaca, di samping menjadi jembatan akan pengetahuan sosial, juga menjadi pintu masuk bagi semua manusia, khususnya yang merasa rakyat untuk menggali lebih dalam lagi siapa sebenarnya rakyat itu sendiri?
Tag
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Gemes Banget! Romansa Sederhana Anak Sekolahan di Manga Futarijime Romantic
-
Ulasan Film Hereditary, Kisah Keluarga Diteror Perjanjian Nenek Moyang
-
Kritik terhadap Sistem Feodalisme, Ulasan Novel Gadis Pantai
-
Ulasan Buku "The Wisdom", Merenungi Kebijaksanaan Hidup
-
Review Film The Life List: Perjalanan Mewujudkan Impian yang Tertunda
Ulasan
-
5 Rekomendasi Buku untuk Belajar Mindfulness ala Orang Jepang, Wajib Baca!
-
Ulasan Novel Like Mother, Like Daughter: Pencarian di Balik Hilangnya Ibu
-
Review Anime Sakamoto Days, Mantan Pembunuh Bayaran Jadi Bapak Rumah Tangga
-
Kisah Cinta Terlarang Membuka Pintu bagi Ekowisata Gunung Tangkuban Perahu
-
Gemes Banget! Romansa Sederhana Anak Sekolahan di Manga Futarijime Romantic
Terkini
-
Kang Daniel Terjebak dalam Hubungan Cinta yang Menyakitkan di Lagu 'Mess'
-
Masuk Daftar Top Skor AFC U-17, Evandra Florasta Terbantu Kelebihan Mental Reboundnya
-
Zahaby Gholy, Pembuka Keran Gol Timnas U-17 dan Aset Masa Depan Persija
-
Ulasan Lagu FIFTY FIFTY 'Perfect Crime': Cinta Gelap yang Memikat
-
Media Asing Turut Soroti Rekor Jumbo Usai Raup 1 Juta Penonton di Bioskop