Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Ira Damayanti
Safar menjelaskan tentang DBR di Museum Margo Redjo (DocPribadi/penaraya)

Jika Anda pencinta kopi, apalagi berdomisili di Semarang, rasanya masih kurang bila belum berkunjung ke Dharma Boutique Roastery (DBR). Toko kopi yang terletak pada area Pecinan, tepatnya di Jalan Wotgandul Barat No.14, Kranggan, Kec. Semarang Tengah, Kota Semarang ini menyimpan banyak sekali sejarah yang telah berlangsung selama lebih dari seabad. Hal tersebutlah yang membuat DBR menjadi toko kopi tertua di Semarang yang patut untuk dikunjungi.

Barista kedai, Safar mengatakan, belum lengkap rasanya jika menuju tempat ini, tapi tidak tersasar. Benar saja, tempatnya yang tersembunyi tanpa disertai penanda toko, berhasil membuat saya kebingungan mencari tempat ini.

Berada di samping tambal ban dengan pintu abu-abu layaknya rumah klasik yang tertutup dapat membuat orang ragu untuk mendatanginya. Namun, ketika kita masuk ke dalamnya, saya dibuat lupa bahwa sedang berada di tengah kota. Suasana asri nan sejuk pekarangannya dapat membuat siapa saja betah berlama-lama di tempat ini.

Ketika memesan, pengunjung diberikan kebebasan memilih biji kopi yang diinginkan. Tidak ragu, pihak DBR mengizinkan para konsumennya untuk menyicipi biji kopi yang tersedia di sana. Pilihan biji kopinya pun beragam mulai dari arabica, robusta, ekselsa, dan liberika dari beragam tempat yang diletakkan dalam toples. 

Masih dengan nuansa klasiknya, kedai tempat memesannya masih bernunasa tempo dulu dengan paduan warna biru dan putih dilengkapi dengan gambar yang penuh akan histori. Selain itu, alunan musik yang disajikan juga berbeda dengan dengan kedai pada umumnya, seperti gamelan yang dapat memperkuat keautentikan tempat ini. Sambil menunggu pesanan, kita dapat menjumpai pemiliknya, Basuki Widayat, yang sangat ramah. Ia tak segan bercerita dan berdiskusi dengan para pengunjung. 

Tahun 1915, toko ini berdiri di Cimahi dengan Tan Tiong Le sebagai pemiliknya. Awalnya, Tan Tiong Le, kakek Basuki, sempat berdangang roti dan kayu sebelum memulai usaha perkopian ini. Melihat peluang bisnis kopi yang sedang dibutuhkan pemerintah Hindia Belanda kala itu membuatnya tertarik untuk mencobanya. 

Setelah beberapa tahun di Cimahi, Tan Tiong Le memutuskan untuk kembali ke Semarang dan melanjutkan usahanya. Roastery yang semula bernama Pabrik Kopi Margo Redjo ini sangat sukses pada masanya hingga menjadi pemasok kopi eskpor Indonesia sebanyak 60%. Tiap harinya, tempat ini dapat menyangrai hingga 3,5 ton kopi saat itu.    

Begitulah Basuki menjelaskan sejarah singkat tentang tokonya yang sudah seabad lebih ini. Ia merupakan generasi ketiga penerus usaha yang masih mempertahankan keautentikan dari roastery ini. Banyak sekali barang peninggalan dari generasi pertama yang masih ia rawat dengan baik sampai saat ini, seperti alat penyangrai sepeda yang menjadi kendaraan untuk penjualan keliling produk DBR. 

Menariknya, DBR adalah karena ia memiliki museum alat sangrai yang masih terjaga hingga saat ini dengan nama Museum Kopi Margo Rejo. Safar pun tak sungkan untuk mengajak saya dan pengunjung lain menilik museum yang masih berada di kawasan toko dan menjadi pemandu kami menelusuri museum. Ia juga turut menjelaskan bahwa nama Margo Rejo memiliki arti jalan kemakmuran. 

Ketika ingin menuju museum, pengunjung disambut dengan anjing lordelier coklat berusia 8 tahun dengan gonggongan yang membuat dada berdegup kencang. Namun, Safar dengan sigap menenangkan anjing tersebut dan mempersilakan para pengunjung untuk memasuki museum. 

Di dalamnya, kita akan melihat cat tembok yang terkelupas serta deretan peralatan sangrai skala pabrik sejak jaman Hindia Belanda yang dibiarkan di tempat aslinya tanpa ada perubahan letak. Para pengunjung ditarik oleh Safar untuk ikut membayangkan proses produksi di museum yang dulunya merupakan gudang dan ruang penyangrai ini. Barista kedai ini menjelaskan kepada pengunjung tentang fungsi dan cara kerja alat tersebut diiringi dengan gonggongan anjing yang berhenti sesekali. 

Pengunjung yang datang ke tempat ini bukan hanya berasal dari wilayah Semarang saja, melainkan dari berbagai daerah. Selain pembelian offline, para penikmat kopi juga bisa memesan produk DBR di beragam platform. Menurut penuturan Basuki, pembeli kopi di sini bukan hanya berasal dari Indonesia saja tapi juga dari manca negara. Harga yang dipatok pun beragam mulai dari kisaran Rp 50.000 hingga Rp 800.000 tergantung jenis kopinya.

“Awalnya toko ini ya fokus ke sangrai kopi aja, etalase baru dibuat akhir-akhir ini. Jadi sempat show bar aja gitu loh,” ujar Basuki menjelaskan tentang kedainya. 

Berbeda dengan kedai pada umumnya yang buka di malam hari, Basuki justru membuka kedainya di pagi hari sampai pukul 17.00. Untuk saat ini, Basuki enggan untuk membuka cabang karena menurutnya akan sulit mencari ruh yang serupa dengan tokonya saat ini. 

“Gak ada ruhnya, ruhnya gabisa dibawa,” tuturnya. 

Benar kata Basuki, bahwa tempat hidden gem ini membawa keuntungan yakni akan membuat pengunjungnya semakin hapal jalan menuju ke tempat ini. Layaknya emas, jika emas mudah didapat maka tak ada bedanya ia dengan pasir yang tak ada nilainya.    

Ira Damayanti