Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Budi Prathama
Ilustrasi Bung Karno berbincang dengan rakyat Indonesia. (Instagram/@bung_karno1945)

Mengenal Bung Karno tentu tidak lepas dengan ajarannya tentang kebangsaan dan Marhaenisme, begitu pula perkataan nama Marhaen justru dijadikan sebagai simbol rakyat yang ditindas oleh sistem penjajahan (kolonialisme, imperialisme, kapitalisme, dan feodalisme). Sehingga Bung Karno mampu merumuskan suatu ajaran Marhaenisme sebagai teori politik dan teori perjuangan untuk membebaskan kaum Marhaen dari belenggu penjajahan. Lalu, apa yang mendasari sehingga Bung Karno menamai rakyat yang tertindas itu disebut kaum Marhaen? Siapa, sih, Marhaen itu?

Dalam buku “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” yang ditulis oleh Cindy Adams, diceritakan sekilas sosok rakyat yang bernama Marhaen. Ketika Bung Karno masih menempuh pendidikan di Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB), di mana pernah suatu waktu Bung Karno tak ingin pergi kuliah. Dirinya dipenuhi berbagai pikiran dan dilema melihat keadaan yang terjadi di Indonesia. 

Sehingga waktu itu, ia memilih ke luar sambil bersepeda sampai ke sebuah desa kecil di Bandung. Melalui desa yang kecil dan padat penduduk itu, Bung Karno memilih mengayun sepedanya dan sampai akhirnya ia bertemu seorang petani yang sedang menggarap tanah. Alhasil, Bung Karno pun menghampiri petani itu dan melakukan berbagai banyak perbincangan. 

"Siapa yang punya semua yang engkau kerjakan sekarang ini?" Tanya Bung Karno kepada petani, seperti dikutip dari buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karangan Cindy Adams. 

Dia berkata, "Saya, juragan." 

Bung Karno bertanya lagi, "Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?"

"Ohh, tidak, gan. Saya sendiri yang punya," jawab si petani.

Dalam percakapan tersebut, terungkap bahwa tanah, cangkul petani (alat produksi), rumah petani, hanyalah milik dari petani tersebut. Bahkan hasil dari tanah yang petani garap itu hanya cukup untuk makan bersama keluarganya, tidak ada yang dijual. Petani juga tidak bekerja pada orang lain karena tanah itu miliknya sendiri. 

Terakhir, Bung Karno menanyakan nama petani itu dan ia menjawab bahwa namanya adalah Marhaen. 

Sepulang dari kejadian itu, Bung Karno melakukan banyak perenungan. Hingga ia mampu merumuskan bahwa marhaen adalah simbol rakyat yang ditindas oleh sistem. Nama Marhaen mewakili seluruh masyarakat Indonesia yang tertindas, baik sebagai tukang becak, petani, buruh, pedagang, semuanya adalah kaum Marhaen. 

Berdasarkan dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1” yang ditulis oleh Bung Karno, ia menjelaskan arti dari marhaen. Dalam Kongres Partindo di Bandung, ia berhasil merumuskan 9 poin penting, salah satunya perbedaan dari Marhaen, Marhaenis, dan Marhaenisme. 

  1. Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat, dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
  2. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia yang menjalankan Marhaenisme.
  3. Sementara Marhaenisme adalah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Marhaenisme adalah cara perjuangan dan asas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme. 

Dalam buku itu juga, Bung Karno menjelaskan Marhaeni. Marhaeni adalah seorang perempuan yang ditindas oleh sistem. Itulah mengapa kaum Marhaen dan Marhaeni mesti bahu-membahu dan bekerjasama untuk sama-sama berjuang melawan segala bentuk penindasan. 

Pertentangan bukan lagi kaum perempuan dengan laki-laki, tetapi pertentangan antara kaum Marhaen/Marhaeni dengan sistem penjajahan (kapitalisme, imperialisme, kolonialisme dan feodalisme). 

Oleh sebab itu, pemaknaan arti Marhaen tidak terjebak hanya kaum petani saja, tetapi seluruh rakyat Indonesia yang ditindas oleh sistem. Namanya hanyalah sebagai simbol untuk rakyat yang tertindas, dan bagi seorang Marhaenis mesti selalu memastikan agar nasib si Marhaen dapat selamat. 

Budi Prathama