Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Vania Zahra S
Cover Buku Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam (goodreads.com)

Seperti yang kita ketahui, negara kita, Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan suku, budaya, dan tradisinya. Hampir seluruh suku di Indonesia memiliki budaya dan tradisinya masing-masing. Salah satunya Suku Sumba di Nusa Tenggara Timur. Di Sumba, terdapat salah satu tradisi adat bernama kawin tangkap. Dian Purnomo, melalui novelnya yang berjudul Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam memperkenalkan tradisi kawin tangkap ini dalam sebuah cerita yang menarik, menegangkan, menyakitkan, juga membuka mata.

Sinopsis Novel "Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam"

Cover Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam

Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam adalah novel karya Dian Purnomo yang mengangkat tradisi kawin tangkap sebagai topik utamanya. Novel ini bercerita tentang Magi Diela, seorang perempuan Sumba yang cerdas, berpendidikan, dan bercita-cita tinggi. Setelah menyelesaikan pendidikannya sebagai Sarjana Pertanian di sebuah universitas di Pulau Jawa, Magi kembali ke kampung halamannya dan bekerja sebagai tenaga honorer di Dinas Pertanian Sumba. Dengan segala ilmu yang sudah didapatkannya di universitas, Magi memiliki cita-cita mengelola dan mengembangkan ladang ayahnya agar perekonomian keluarganya menjadi lebih sejahtera. Namun, seluruh cita-cita dan rencana Magi hancur ketika suatu hari ia “diculik” saat sedang dalam perjalanan menuju tempat kerjanya.

Magi menjadi korban tradisi kawin tangkap yang dilakukan oleh Leba Ali, pria baruh baya yang memang sudah mengincar dirinya sejak ia masih kecil. Dalam waktu semalam, kemerdekaan Magi sebagai seorang perempuan telah dirampas. Setelah kejadian itu, hal menyakitkan kembali menimpa Magi. Keluarganya yang seharusnya menolongnya justru berpihak pada pelaku penculikannya.  Bukannya menentang, keluarga Magi malah mendorongnya untuk melanjutkan perkawinan dengan Leba Ali, dengan alasan bahwa Magi sudah ternodai, tak akan ada pria yang mau dengannya lagi. Tak hanya itu, katanya, tidak melanjutkan perkawinan sama dengan melawan adat.

Tidak ingin kemerdekaannya sepenuhnya dirampas oleh Leba Ali, Magi memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Nyawa Magi rupanya masih terselamatkan, namun sejak itu, dunianya tak pernah sama lagi. Meski diberikan kesempatan untuk hidup lagi, Magi tak ingin tunduk begitu saja pada tekanan untuk melanjutkan perkawinannya dengan Leba Ali.

“Menyerah pada paksaan sama dengan membiarkan kemerdekaan dirampas, membiarkan tubuh dimiliki orang lain dan diperkosa setiap hari.” (hlm. 62)

Sejak saat itu, Magi pun memulai perjuangannya untuk mencari keadilan. Memperjuangkan kembali kemerdekannya sebagai seorang perempuan, kemerdekaan atas tubuhnya sendiri, kebebasan atas hidupnya sendiri. Perjuangan yang dilalui Magi untuk mendapatkan kemerdekaannya sebagai seorang perempuan jauh dari kata mudah. Ia harus melawan orangtuanya, melawan adat dan seisi kampungnya, bahkan hingga mempertaruhkan nyawanya sendiri. Magi Diela melalui novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam mewakilkan jerit banyak perempuan yang menjadi korban kawin tangkap di Sumba. Jerit perempuan yang seolah tak terdengar bahkan oleh Tuhan sekalipun.

Apa itu tradisi kawin tangkap?

Kawin tangkap adalah tradisi adat Sumba yang telah ada sejak zaman nenek moyang mereka di mana perempuan ditangkap dan dilarikan untuk dikawini. Pada umumnya, dalam tradisi kawin tangkap kedua keluarga calon mempelai telah memiliki perjanjian untuk menempuh cara tersebut. Meski begitu, ada pula kasus di mana pihak keluarga perempuan tidak mengetahui rencana kawin tangkap yang dilakukan pihak laki-laki.

Untuk kasus di mana kedua keluarga calon mempelai telah memiliki perjanjian, Kleden (2017) menyebutkan bahwa tradisi kawin tangkap dapat dilakukan karena adanya dua motivasi. Yang pertama, motif ekonomi di mana calon mempelai perempuan dijadikan tebusan hutang oleh keluarganya kepada pihak keluarga laki-laki. Motif kedua adalah kekerabatan di mana kedua pihak keluarga yang terlibat ingin menjaga hubungan dan harta warisannya agar tidak terputus dan dimiliki keluarga lain.

Lantas, untuk kasus di mana pihak keluarga perempuan tidak mengetahui rencana kawin tangkap, bagaimana tradisi ini bisa terjadi? Untuk hal ini, ada yang menyebutkan bahwa kawin tangkap bisa dijadikan salah satu upaya jika pihak keluarga laki-laki gagal mencapai kesepakatan adat dengan keluarga perempuan. Jika kasusnya seperti ini, maka setelah penangkapan calon pengantin perempuan, barulah pihak keluarga perempuan tersebut menyerah dan terjadilah kesepakatan adat.

Namun, pihak keluarga perempuan tentunya tak serta merta menyerah, ada campur tangan belis (pemberian dari keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan sebagai mahar) dalam hal ini.  Setelah penangkapan, dengan mengutus wunang (juru bicara), pihak keluarga laki-laki menyampaikan kepada keluarga perempuan bahwa anaknya berada di rumah keluarga laki-laki. Untuk meredakan kemarahan keluarga perempuan dan memperoleh persetujuan, wunang biasanya menawarkan belis bernilai tinggi.

BACA JUGA: Jadwal Terlengkap Piala Dunia 2022 di Qatar

Namun baik kasus keduanya, calon mempelai perempuan sama sekali tidak terlibat maupun mengetahui rencana tersebut. Sama seperti Magi Diela dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam yang tidak mengetahui dirinya dijadikan target dalam tradisi kawin tangkap. Tradisi kawin tangkap dengan ini menjadi bukti bahwa banyak perempuan Sumba yang tidak memiliki kebebasan untuk menjalani kehidupan dan menentukan pilihan atas masa depan mereka sendiri. Banyak perempuan di Sumba yang hidup dengan rasa takut bahwa sewaktu-waktu akan menjadi korban kawin tangkap.

Tak hanya hak dan kebebasannya yang direnggut, dalam banyak kasus kawin tangkap termasuk yang dialami oleh Magi Diela, pihak perempuan seringkali mengalami kekerasan-kekerasaan fisik (diculik, ditarik, dipaksa,disekap, bahkan dipukul), kekerasan seksual (dilecehkan bahkan diperkosa), kekerasan psikologi (merasa terhina, tertekan, trauma dan tidak berharga), dan kekerasan sosial (stigma yang diberikan oleh masyarakat kepada para perempuan  yang berhasil melarikan diri sebagai  perempuan  yang  sudah  terbuang)  yang berujung pada kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan yang menyebabkannya mengalami trauma berkepanjangan.

Budaya mengambil paksa perempuan dalam tradisi kawin tangkap seolah-olah menganggap bahwa perempuan adalah barang atau objek negosiasi yang bisa dibawa kesana kemari tanpa dipertanyakan keinginannya. Perempuan ditempatkan sebagai kaum rendah yang suara, pendapat, keinginan, dan keputusannya tak didengar maupun dihargai. Terlebih jika dalam prosesnya terjadi kekerasan seksual yang dialami pihak perempuan, jelas hal ini merupakan kejahatan kemanusiaan dan bertentangan dengan aturan dalam Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang lainnya yang menyangkut hak-hak perempuan.

Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam membuka mata kita bahwa realitanya masih banyak perempuan di Indonesia yang hak-haknya direnggut, direndahkan, dibatasi pergerakannya, serta beratnya perjuangan seorang korban pelecehan seksual dalam memperoleh keadilan. Sudah mengalami kekerasan seksual, korban juga harus dihadapkan dengan stigma-stigma negatif yang ada di masyarakat.

Novel "Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam" ini juga membuka pandangan kita bahwa ada tradisi adat yang dampaknya merugikan pihak tertentu. Meskipun kawin tangkap merupakan tradisi adat yang telah ada sejak zaman nenek moyang, jika dalam pelaksanaannya terdapat banyak pihak yang dirugikan serta bertentangan dengan hukum negara yang diatur dalam Undang-Undang, tentu diperlukan adanya penyesuaian baru dalam tradisi ini dengan melibatkan suara dan keputusan perempuan dalam setiap prosesnya. Jangan sampai ada sosok-sosok Magi lain yang harus menanggung derita atas nama tradisi yang diselewengkan.

“Tangisnya kepada bulan hitam adalah tangis perempuan yang tubuhnya masih menjadi properti laki-laki. Kisah perempuan lain masih mungkin akan diukir dengan tinta darah, selama pendewaan terhadap adat mengalahkan logika dan kemanusiaan.” (hlm. 312)

Referensi

Doko, E. W., Suwitra, I. M., & gayatry Sudibya, D. (2021). Tradisi Kawin Tangkap (Piti Rambang) Suku Sumba Di Nusa Tenggara Timur. Jurnal Konstruksi Hukum, 2(3), 656-660.

Kamuri, J. P., & Toumeluk, G. M. (2021). Tinjauan Teologis terhadap Tradisi Kawin Tangkap di Pulau Sumba–Nusa Tenggara Timur. DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, 6(1), 176-198.

Video yang Mungkin Anda Suka.

Vania Zahra S