Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | zahir zahir
Pesawat Auster Mark II milik AURI (DocPribadi/Zahir)

Pada masa pasca pengakuan kedaulatan di tahun 1949, pihak Belanda setuju untuk turut membantu pembangunan kekuatan militer Indonesia berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di tahun 1949. Pihak Belanda menyetujui hibah ratusan sistem persenjataan dan alutsista yang dipergunakannya selama masa perang revolusi untuk dipergunakan oleh militer Indonesia. Pada saat itu banyak alutsista unggulan seperti pesawat yang diserahkan kepada Indonesia dan dipergunakan untuk beragam tujuan.

Salah satu pesawat yang turut dihibahkan oleh Belanda kepada Indonesia saat itu adalah pesawat Auster atau Taylorcraft Auster. Pesawat yang sejatinya buatan Inggris tersebut memang menjadi salah satu kelengkapan alutsista Belanda pada saat operasi militer di Indonesia dalam kurun tahun 1945-1949. Pesawat ini di pihak AURI menjadi salah satu pesawat andalan meskipun usianya tergolong sudah cukup tua saat itu.

Pesawat Produksi Masa Perang Dunia Ke-2

Pesawat Auster Mk. III milik Royal Air Force (RAF) Inggris (wikipedia)

Pesawat Auster sendiri sejatinya mulai dikembangkan pada awal dekade 1940-an dan mulai diproduksi pada tahun 1942. Pesawat ini lahir dari kebutuhan angkatan udara Inggris (Royal Air Force (RAF)) untuk pesawat pengintaian darat yang mudah dipergunakan dan tidak terlalu mahal untuk dirawat. Pesawat ini tentunya cukup kenyang diterjunkan pada masa perang dunia ke-2 baik oleh Inggris maupun oleh negara-negara lain seperti Kanada, Australia dan Belanda.

Pesawat yang ditenagai sebuah mesin Lycoming O-290-3 flat-four piston tersebut mampu terbang dengan kecepatan maksimal 209 km/jam dan mampu mencapai jarak jelajah sekitar 400-600 km. Meskipun tidak memiliki kecepatan yang cukup tinggi, akan tetapi kemampuan terbang lambat itulah yang cocok diperlukan untuk misi pengintaian. Bahkan, pesawat ini tidak memerlukan lapangan yang besar untuk lepas landas. Melansir dari situs wikipedia.com, pesawat ini hanya memerlukan lapangan udara atau lapangan biasa dengan panjang sekitar 30-50 meter saja untuk lepas landas.

Dipergunakan oleh Militer Hindia-Belanda Pasca Perang Dunia ke-2

Auster Mark II milik Belanda (nihm-beeldbank.defensie.nl)

Apabila di Belanda pesawat ini telah dipergunakan sejak masa perang dunia ke-2, maka di kawasan Hindia-Belanda atau yang saat itu telah menjadi Indonesia digunakan sejak berakhirnya perang dunia ke-2. Melansir dari artikel karya Jos Heyman yang berjudul “Indonesian Aviation, 1945-1950”, pesawat ini mulai dikirimkan ke Indonesia pada tahun 1947. Pesawat ini diketahui tiba di lapangan udara Andir, Bandung bersamaan dengan beberapa pesawat lainnya. Skuadron 6 (Koninklijke Luchtmacht) saat itu menjadi operator dari pesawat ini.

Di medan konflik di Indonesia, pesawat ini dipergunakan sebagai pesawat intai dan juga pesawat bantuan serangan udara ringan. Umumnya pesawat ini dikemudikan oleh seorang pilot dan mampu membawa 1-2 orang kru tambahan. Uniknya, pesawat ini tidak dilengkapi dengan persenjataan apapun. Kemungkinan para awak pesawat ini melakukan serangan udara ringan dengan menjatuhkan granat atau munisi mortar atau melakukan tembakan dengan senapan mesin.

Digunakan Untuk Menumpas Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Pesawat Auster Mark II di Museum Dirgantara, Yogyakarta (wikipedia)

Setelah pengakuan kemerdekaan oleh Belanda, pesawat ini kemudian dihibahkan kepada Indonesia. Di tubuh AURI, pesawat ini masuk ke dalam skuadron IV atau skuadron intai ringan di Bogor. Pesawat yang diterima dari Belanda saat itu sekitar 22 unit Auster Mark II dan Mark III, akan tetapi ada beberapa sumber bahwa militer Indonesia hanya menerima 18 unit Auster Mark II untuk dipergunakan dalam dinas militer.

Pesawat ini juga difungsikan sebagai pesawat intai sekaligus pesawat latih oleh para pilot AURI kala itu. Dalam dinas kemiliteran Indonesia, pesawat ini pernah diterjunkan untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Barat pada kurun waktu 1950-1956. Pesawat ini kemungkinan menjadi pesawat intai sekaligus menjadi payung udara bagi infantri darat yang menumpas pemberontak kala itu. Pesawat ini kemudian mulai digantikan oleh De Havilland DHC-3 Otter pada akhir dekade 1950-an karena usianya yang memang mulai menua. Kini, pesawat tersebut beberapa unitnya menjadi monumen dan koleksi di museum.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

zahir zahir