Awal tahun 2025, tepatnya pada bulan Januari dan Februari, saya menghadiri dua forum diskusi bertema komunikasi dan sosial di kampus Swadaya Institute of Communication and Business (SWINS). Meski kursi-kursi terisi hampir penuh, suasananya jauh dari yang saya harapkan.
Diskusi yang seharusnya hidup dan penuh argumen, justru terasa hambar. Dari sekian banyak mahasiswa yang datang, hanya beberapa yang berani angkat suara, dan lebih sedikit lagi yang berani menyanggah pendapat. Saya pun mulai bertanya, apakah semangat kritis di kalangan mahasiswa sudah benar-benar padam?
Ternyata, apa yang saya alami di forum itu bukanlah kasus tunggal. Keluhan serupa juga ramai dibicarakan di lingkungan kampus lain, bahkan di media sosial. Banyak yang menganggap mahasiswa saat ini semakin jauh dari kebiasaan berpikir kritis.
Sebaliknya, mereka dianggap lebih sibuk mengejar citra dan eksistensi online ketimbang memikirkan masalah nyata di sekitar mereka. Ada yang menyebut ini sebagai tanda kemunduran intelektual generasi kampus. Tapi mungkinkah ini hanya bentuk baru dari keterlibatan sosial yang belum kita pahami sepenuhnya?
Sebagai bagian dari lingkungan itu sendiri, saya tidak sepakat dengan anggapan yang memaklumi penurunan ini. Saya percaya bahwa kemampuan berpikir kritis mahasiswa memang sedang melemah, dan itu bukan hal sepele. Ini menyangkut masa depan intelektual bangsa dan kualitas demokrasi ke depan.
Dahulu, mahasiswa dikenal lantang menyuarakan kebenaran. Mereka menjadi garda depan dalam perjuangan Reformasi dan banyak momen penting lainnya. Kini, yang lebih menonjol justru persaingan dalam hal tampilan diri di media sosial, bukan dalam debat gagasan atau pembacaan isu publik.
Kondisi ini juga mencerminkan kegelisahan banyak pengamat pendidikan. Dalam sebuah wawancara yang dimuat Kompas.com (9 Mei 2023), Ina Liem—pendiri platform Jurusanku.com—mengungkap bahwa tak sedikit lulusan SMA yang bingung saat harus memilih jurusan kuliah.
Hal itu, menurutnya, terjadi karena mereka masih berada dalam fase labil secara psikologis. Selain itu, ia menyoroti sistem pendidikan nasional yang terlalu menekankan hafalan sehingga potensi dan minat pelajar kerap tidak tergali secara maksimal.
Meski pernyataannya menyasar siswa pra-kuliah, apa yang ia sampaikan turut menggambarkan realitas di tingkat perguruan tinggi. Banyak mahasiswa yang akhirnya melanjutkan studi tanpa arah yang jelas, sekadar menjalani rutinitas perkuliahan tanpa dorongan untuk mengkritisi apa yang mereka pelajari atau menemukan makna dari proses akademiknya.
Faktor lain yang turut memperparah kondisi ini adalah kebijakan kampus yang cenderung membatasi ruang berekspresi. Diskusi sering kali dicurigai, organisasi mahasiswa tak jarang dikekang, dan opini kritis kerap dilabeli negatif. Akibatnya, mahasiswa jadi enggan berbicara karena takut salah langkah atau dikenai sanksi.
Temuan ini memperkuat keprihatinan banyak pihak terhadap menurunnya partisipasi kritis di lingkungan akademik. Dalam teori Spiral of Silence yang dikemukakan Elisabeth Noelle-Neumann, individu cenderung memilih diam jika merasa pandangannya berbeda dari arus utama. Jika fenomena ini terjadi secara kolektif di kalangan mahasiswa, maka kampus bukan lagi menjadi pusat pertukaran gagasan, melainkan ruang sunyi yang penuh kepura-puraan.
Di sisi lain, memang ada argumen yang menyebut mahasiswa saat ini memilih jalur berbeda yaitu lewat media sosial, komunitas, hingga proyek-proyek sosial. Tapi menurut saya, perubahan medium ini tidak boleh dijadikan dalih untuk mengabaikan pentingnya daya analisis dan keberanian bersuara. Justru di tengah arus informasi yang begitu deras, keterampilan berpikir kritis menjadi jauh lebih penting.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Menyalahkan mahasiswa begitu saja jelas tidak akan menyelesaikan masalah. Ada beberapa hal mendasar yang perlu dibenahi. Pertama, kampus harus menyediakan ruang yang aman dan bebas intimidasi untuk berdiskusi. Forum terbuka perlu digalakkan lagi, bukan dimatikan hanya karena dianggap berpotensi mengganggu. Kedua, sistem pembelajaran perlu diubah. Mahasiswa harus diajak untuk menelaah isu-isu nyata, bukan sekadar menghafal materi tanpa konteks.
Selanjutnya, penting untuk mendorong terbentuknya komunitas diskusi yang santai tapi bernas. Tempat-tempat seperti itu bisa jadi ladang subur untuk melatih keberanian menyampaikan pendapat. Selain itu, kemampuan membaca informasi juga wajib ditingkatkan. Mahasiswa mesti mampu memilah berita yang akurat, mengenali hoaks, dan mengutarakan gagasan berdasarkan data. Tak kalah penting, organisasi mahasiswa harus kembali menjalankan fungsi idealnya yaitu menjadi pusat intelektual dan motor perubahan sosial, bukan hanya pelaksana kegiatan seremonial kampus.
Jika tidak segera ada perbaikan, kita akan menghadapi generasi yang fasih bicara soal algoritma media sosial tapi buta terhadap realitas sosial-politik. Mereka akan lihai membuat konten, tapi lemah saat ditantang berdiskusi.
Perlu diingat, status “mahasiswa” bukan sekadar gelar akademik, tapi amanah sejarah. Di pundak merekalah harapan bangsa bertumpu. Bukan karena mereka muda, tapi karena mereka seharusnya gelisah, bertanya, dan menggugat ketidakadilan. Kita tidak kekurangan platform untuk menyuarakan kebenaran hari ini.
Yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk menggunakannya secara jujur dan tajam. Kini saatnya menghidupkan kembali nalar, bukan sekadar memperindah tampilan digital. Sebab masa depan tak dibentuk oleh mereka yang membisu, melainkan oleh mereka yang berani berpikir — dan tak gentar bersuara.
Artikel Terkait
-
Bukan Perspektif Antikucing: Sederhana, tapi Bikin Cat Lovers Darah Tinggi
-
Tren Tak Logis Living Together di Tengah Zaman yang Menormalisasi Segalanya
-
5 Rekomendasi Laptop untuk Mahasiswa Harga Rp3 Jutaan, Spek Tinggi Siap Temani Kuliahmu
-
Dua Mahasiswa KKN UGM Tenggelam di Maluku, Begini Suasana Mencekam saat Evakuasi
-
Dua Meninggal di Laut Maluku, Bagaimana Misi Mulia Mahasiswa KKN UGM Berakhir Petaka?
Kolom
-
Bukan Perspektif Antikucing: Sederhana, tapi Bikin Cat Lovers Darah Tinggi
-
Saat Menikah di KUA Jadi Pilihan Gen Z untuk Mulai Membangun Rumah Tangga
-
Reading Tracker dan Obsesi Kuantitas: Apa Kabarnya Kenikmatan Membaca?
-
Squid Game 3 dan Bayi yang Menang, Metafora Paling Manusiawi?
-
Sistem Lemah, Visi Tak Berkembang: Catatan dari Sindrom Nobita
Terkini
-
Anti-Monoton! 4 Ide OOTD Playful ala Lee Yoo Mi yang Bikin Gaya Makin Fresh
-
Masih Menjadi Misteri! Bakal Seperti Apa Skema Gerald Vanenburg di Timnas Indonesia U-23?
-
4 Ide OOTD Chic ala Park Shin Hye, Pas untuk Hangout hingga Acara Formal
-
KARD Menggoda Kita dengan Pesona yang Memikat di Lagu Terbaru 'Touch'
-
Lolos Otomatis ke Piala Asia, Timnas Indonesia U-17 Dapatkan Keuntungan dan Kerugian Sekaligus