Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sam Edy
Ilustrasi buku ‘Mendagangkan Sekolah’ (Dokumen pribadi/Sam Edy)

Sekolah mestinya menjadi tempat yang menyenangkan untuk mencari beragam ilmu pengetahuan. Jangan sampai ada praktik-praktik “tak baik” di dalamnya yang dilakukan oleh pihak pengelola sekolah tersebut.

Praktik “tak baik” yang saya maksudkan di sini misalnya, guru atau kepala sekolah memungut iuran tambahan kepada para wali murid, dengan nominal yang membuat para wali murid merasa sangat keberatan tapi tak mampu berbuat apa-apa selain bersegera membayarnya. 

Jangan sampai keberadaan sekolah-sekolah di negeri ini menjadi ajang perdagangan yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Jangan sampai sekolah menjadi ajang mencari keuntungan oleh pihak yang tak bertanggung jawab.

Bicara tentang pendidikan, memang sudah menjadi sebuah keharusan bagi setiap orang untuk mencari ilmu. Sekolah adalah salah satu tempat yang bisa dijadikan sarana untuk menimba ilmu. Selain sekolah, tentu masih ada lembaga lain seperti madrasah dan pondok-pondok pesantren.   

Dalam buku ‘Mendagangkan Sekolah’ dijelaskan, melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1994 tentang wajib belajar pendidikan dasar, pemerintah membuat terobosan besar dalam sejarah pendidikan Indonesia yakni mewajibkan masyarakat sekolah minimal hingga tingkat SLTP. Konsekuensi kebijakan yang dikenal dengan istilah wajib belajar sembilan tahun ini pemerintah menanggung semua biaya dalam penyelenggara sekolah.

Akan tetapi setelah sekian lama digembar-gemborkan, bukannya gratis, biaya sekolah makin melambung. Jumlahnya banyak dan beragam bahkan, jauh lebih besar dibanding sebelum kebijakan wajib belajar sembilan tahun ini digulirkan. Biaya SPP yang dihapus diganti dengan berbagai jenis pungutan baru bahkan, ada jenis bisaya yang aneh seperti pensiun guru atau kenang-kenangan (hlm. 94).

Menurut pandangan saya, aneka pungutan (terlebih bila jumlahnya besar) yang dilakukan oleh pihak sekolah, akan memberatkan pihak para wali murid, khususnya mereka yang dari kalangan keluarga sederhana atau di bawah garis kemiskinan. Terlebih saat ini kebijakan pemerintah tentang wajib belajar di sekolah sudah berubah, dari sembilan tahun menjadi dua belas tahun, atau minimal anak sekolah sampai SLTA. 

Persoalan pungutan iuran di sekolah adalah termasuk persoalan serius yang harus segera dituntaskan oleh pihak pemerintah. Jangan sampai ada rakyat miskin yang tidak bisa bersekolah hanya gara-gara tidak mampu membayar beragam pungutan atau iuran dari pihak sekolah yang bersangkutan.

Buku terbitan Indonesia Corruption Watch (2004) yang disusun oleh Ade Irawan, Eriyanto, Luki Djani, dan Agus Sunaryanto ini mencoba mengulas tentang Studi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Terdiri dari empat bab. Bab pertama menjelaskan tentang benang kusut pendidikan, meliputi kondisi pendidikan dan sekolah Indonesia, dan lain-lain. 

Bab kedua, tentang Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Bab ketiga tentang latar belakang munculnya MBS. Bab keempat atau terakhir tentang implementasi dan dampak MBS di sekolah (studi kasus DKI Jakarta). Mahalnya biaya sekolah dan korupsi dalam sekolah menjadi pembahasan dalam bab terakhir ini.

Sam Edy